1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Kesejahteraan Perwira dan Penyelamatan Sebuah Generasi

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
17 Januari 2023

Kasus Ferdy Sambo semakin membuka mata publik, bahwa kepentingan perwira tidak lepas dari dua hal: kekuasaan dan kesejahteraan. Opini Aris Santoso.

Perwira polisi Ferdy Sambo kini menjalani proses hukum dalam kasus pembunuhan Brigadir JFoto: Rifkianto Nugroho/detikcom

Ruang publik di tanah air hari-hari ini sedang ramai  membahas kasus terkait Irjen Pol Ferdy Sambo, yang jabatan terakhirnya adalah Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri. Begitu banyak berita mengalir dari berbagasi penjuru, dengan berbagai versi dan konten, termasuk beragam dalam soal validitas. Saya sendiri hanya menyoroti satu hal saja, yaitu terkait aspek kesejahteraan.

Kapolri sebelumnya, yakni Jenderal (Pol) Idham Azis,  ketika baru diangkat sebagai Kapolri  (November 2019), telah mengeluarkan  perintah harian, yakni larangan bagi anggota Polri beserta keluarganya bergaya hidup mewah dan hedonis. Intinya, anggota Polri (termasuk PNS di lingkungan Polri), dilarang memamerkan barang mewah miliknya di ranah publik, termasuk di media sosial.

Sanksi tegas bakal dikenakan pada anggota Polri yang melanggar. Khusus kepada perwira dan unsur pimpinan Polri, diminta memberikan contoh terkait peraturan tersebut. Benar, masalah perilaku harus dimulai dari atasan, percuma ada aturan bila hanya berlaku "tajam” bagi bawahan, sementara tidak ada keteladanan dari pimpinan.

Sementara terkait jenderal polisi yang sedang ramai dibicarakan ini, terlihat dengan cara jelas ketika istrinya, dalam perjalanan dari Magelang ke Jakarta, untuk keperluan sekolah anaknya,  dipandu oleh kendaraan patwal (patroli dan pengawalan) polisi. Pengawalan ini masuk kategori pamer kemewahan, karena untuk istri pejabat, terlebih bukan urusan kedinasan, pemakaian patwal sejatinya tidak sesuai prosedur.

Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Dari kesejahteraan ke filantropi

Peraturan mantan Kapolri tersebut, menemukan momentumnya kembali hari ini. Perintah harian itu bisa dibaca sebagai bagian dari reformasi internal Polri, utamanya di bidang kultural atau perilaku. Secara singkat, perubahan kultural adalah perubahan perilaku anggota Polri, yang mengedepankan jatidiri sebagai polisi sipil. Polisi sipil dimaksud adalah polisi yang menghargai hak-hak sipil, bersahabat, lebih membela kepentingan rakyat ketimbang kepentingan penguasa, dan yang paling utama menjunjung tinggi nilai HAM.

Polisi sipil selain sebagai paradigma, juga merupakan tujuan dari reformasi kepolisian. Pada dasarnya proses reformasi dimaksud tidak bisa dijalankan secara parsial, tetapi secara berkelanjutan. Sehingga akan terjadi percepatan dalam mewujudkan polisi sipil, yang dicirikan dengan transparansi, akuntabilitas, dan konsisten terhadap supremasi hukum.

Kasus Ferdy Sambo semakin membuka mata publik, bahwa kepentingan perwira tidak lepas dari  dua hal: kekuasaan dan kesejahteraan. Dari pengamatan lapangan sekilas,   ada sedikit perbedaan respons antara perwira polisi dan militer saat menghadapi ruang kekuasaan dan kesejahteraan.

Perwira militer (utamanya Angkatan Darat) cenderung lebih tertarik pada kekuasaan. Sementara perilaku polisi, mengingat posisinya selalu inferior dibanding militer, secara alamiah menjadi lebih dekat dengan kesejahteraan. Kira-kira logika yang berlaku di militer adalah, kekuasaan dipegang lebih dahulu, kesejahteraan dengan sendirinya menyusul.

Fenomena ini juga merefleksikan apa yang sebenarnya terjadi pada masyarakat kita hari ini. Bahwa dalam lini kehidupan apapun, ikhtiar memburu kekuasaan dan kesejahteraan menjadi peristiwa biasa. Bila kita melihat politisi sipil, realitasnya jauh lebih mengerikan, mereka ingin menggapai kekuasaan dan kesejahteraan secara instan, dan seolah tidak bertepi.

Sudah umum diketahui, sejak lama terjadi persaingan terselubung antara anggota polisi dan militer, dalam akses menuju korporasi dan jasa hiburan, yang semua ini berujung pada faktor kesejahteraan. Kiranya dengan perintah harian mantan Kapolri tersebut, bila masih berlaku,  ketegangan bisa sedikit menurun.

Untuk menjaga citra yang menunjukkan tren positif, Polri bisa membentuk lembaga filantropi secara permanen, untuk mengimbangi keberadaan lembaga (sejenis) Satuan Tugas Khusus, yang sebelumnya dipimpin Ferdy Sambo.  Perhatian besar publik terhadap kasus Sambo, merupakan sinyal sejatinya Polri masih memperoleh simpati rakyat. Tanpa kawalan publik, salah satunya melalui platform media sosial, bisa jadi pengungkapan kasus tidak secepat sekarang, bahkan mungkin lebih buruk, yaitu dilupakan begitu saja.

Sebagai timbal balik atas perhatian publik, sudah sewajarnya Polri membantu rakyat juga, khususnya bagi warga yang tidak mampu. Benar, salah satu fungsi lembaga filantropi adalah memberikan beasiswa bagi pelajar-pelajar potensial, khususnya yang tinggal di pelosok Nusantara, yang biasa dikenal sebagai kawasan 3T (tertinggal, terdepan, terluar).

Arti penting beasiswa pendidikan yang kelak disiapkan lembaga filantropi Polri, berdasarkan kenyataan, bagaimana keluarga Ferdy Sambo sampai membeli rumah di Magelang, untuk kepentingan pendampingan sekolah anaknya. Bahkan ketika menengok pun, rombongan kendaraannya difasilitasi kendaraan patwal  polda atau polres setempat. Kemudahan dan kemewahan seperti ini tentu juga diperoleh komunitas pati secara umum.

Bandingkan dengan pelajar di wilayah 3T, yang untuk sekolah saja, harus berjalan kaki sekian kilometer, atau naik perahu kecil menembus laut dan sungai besar. Itu sebabnya dibutuhkan kontribusi Polri untuk menyelamatkan sebuah generasi, melalui prakarsa kegiatan filantropi.

Prakarsa pembentukan lembaga filantropi juga untuk menetralisir anggapan  selama ini, bagaimana polisi memiliki sumber finansial beragam, termasuk yang dalam pandangan awam masuk kategori "grey area”. Bagi sebagian orang, termasuk penulis sendiri, tidak terlampau mempermasalahkan sumber keuangan polisi, utamanya bagi perwira yang secara kasat mata, kesejahteraannya di atas rata-rata. Anggap saja itu semacam itu privelese bagi orang yang sedang berkuasa, mengingat fenomena seperti ini acapkali juga terjadi pada birokrasi sipil.

Mencari figur selain Hoegeng

Mengingat tingkat kesejahteraan seperti itu, bisa jadi keteladanan figur Hoegeng tak lagi aktual bagi polisi masa kini dan masa mendatang, oleh karenanya perlu dicari figur lain, dengan model keteladanan yang berbeda pula. Untuk sementara saya mengajukan dua nama, masing-masing adalah Emil Salim dan Nono Anwar Makarim. Kendati tidak terlalu pas, namun rasanya sedikit lebih relevan ketimbang Hoegeng

Dua tokoh tersebut layak diajukan, karena konsep pembangunan keberlanjutan yang mereka anut. Sementara kita sama-sama paham, akumulasi kesejahteraan perwira selama ini,  didapat dengan cara ekstraktif, yakni mengikuti logika proses produksi yang biasa terjadi pada industri tambang dan SDA (sumber daya alam) pada umumnya.

Dua tokoh ini bisa menjadi figur  selaras dengan perkembangan zaman, ketika memasuki era pembangunan berkelanjutan. Nono Anwar Makarim misalnya, dengan kompetensinya sebagai lawyer papan atas, tentu menghasilkan dana yang luar biasa. Yang menjadi klien firma hukumnya, umumnya adalah korporasi multinasional yang beroperasi di Indonesia.

Mungkin masih ada jejak sebagai mantan aktivis mahasiswa (Angkatan 66) dan intelektual publik (pendiri jurnal Prisma), Nono mendonasikan sebagai kekayaan pribadinya pada gerakan filantropi, khususnya dalam bidang literasi, yang mungkin terlalu panjang untuk dijelaskan di sini. Singkatnya, alangkah eloknya bila kekayaan melimpah yang kita miliki, ada pula yang tertransmisi untuk pihak lain.

Like father like son. Kiranya bukan kebetulan juga bila salah satu anaknya, yaitu Nadiem Makarim (kini Mendikbudristek), juga mendirikan perusahaan yang menyerap demikian banyak pekerja, yaitu Gojek. Kontribusi dan filantropi keluarga Makarim kelak akan dikenang sepanjang masa, kira-kira begitu argumentasinya, mengapa Nono Anwar Makarim bisa menjadi tokoh panutan perwira Polri.

Demikian pula Emil Salim, seorang birokrat cum teknokrat, yang sangat layak menjadi referensi perwira tinggi Polri, khususnya bagi mereka yang bersiap menuju posisi strategis. Trajektori Emil Salim sungguh memukau, sebagai ilmuwan lulusan AS (Universitas Berkeley), Emil kemudian menjadi teknokrat andalan di era Orde Baru, termasuk menjadi birokrat, dengan memimpim Bappenas dan sejumlah kementerian. Tentu yang paling monumental adalah saat Emil menjadi menteri terkait isu lingkungan, yang seolah memberi "pencerahan”  bagi beliau.

Dalam sebuah kesempatan, Emil  sendiri mengakui, bahwa perhatiannya terhadap isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, tidak muncul tiba-tiba, mengingat sebagai ekonom (masa itu), model kegiatan ekstraktif belum dipermasalahkan. Tentu berbeda dengan prinsip ekonomi masa sekarang, yang dikenal sebagai "ekonomi hijau”, dimana prinsip berkelanjutan (sustainable) tidak dapat ditawar lagi.

Dari pengamatan sekilas, salah satunya karena latar belakang profesi masing-masing, Nono terlihat lebih sejahtera ketimbang Emil Salim. Namun poinnya bukan di sini, bahwa keduanya, baik secara sendiri-sendiri maupun digabung dapat menjadi panutan perwira Polri.

Bagi rata-rata orang Indonesia, tentu Nono dan Emil masuk kategori sangat sejahtera, sama levelnya dengan perwira tinggi Polri pada umumnya. Namun persoalannya, bagaimana proses mencari kesejahteraan, dan kemudian mau dikemanakan kesejahteraan itu, pada titik ini keteladanan figur Nono Anwar Makarim dan Emil Salim menjadi relevan. Bahwa Polri sebagai lembaga, maupun internalisasi para petingginya, memiliki spirit "keberlanjutan” untuk generasi yang akan datang.

 

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial Terima kasih.

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait