Di tengah sanksi internasional, perekonomian Korea Utara diuntungkan dari kesepakatan bisnis senjata dengan Rusia. Kesepakatan termasuk transfer peluru dan rudal balistik ini tingkatkan stabilitas keuangan Pyongyang.
Iklan
Sebagai negara paling terisolasi di dunia, Korea Utara (Korut) tahun ini diperkirakan akan kembali mengalami pertumbuhan ekonomi, untuk kali pertama sejak sebelum pandemi. Pengiriman senjata untuk mempertahankan kelangsungan invasi Rusia ke Ukraina telah meningkatkan pemasukan ke kas negara komunis itu.
Sejak Agustus 2023, Korea Utara diperkirakan melakukan 10 kali transfer amunisi yang voumenya sekitar satu juta peluru ke Rusia, menurut Badan Intelijen Nasional Korea Selatan. Laporan lain menunjukkan, Pyongyang juga mengirimkan rudal balistik ke militer Rusia, mengutip citra satelit Amerika Serikat.
Baik Pyongyang maupun Moskow membantah adanya transfer senjata tersebut.
Kesepakatan rahasia antara Presiden Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden Rusia Vladimir Putin kemungkinan akan semakin meningkatkan perekonomian Korea Utara yang menurut bank sentral Korea Selatan hanya bernilai €22,6 miliar (sekitar Rp385 triliun) pada 2022.
Kesepakatan dengan Rusia untungkan ekonomi Korut
Kebijakan lockdown akibat COVID-19 telah menghancurkan ekonomi Korut yang sebelumnya sudah sangat lesu, dan mengalami kontraksi sebesar 4,5% pada tahun 2020. Keadaan ini memperparah dampak sanksi sebelumnya yang dijatuhkan tahun 2016 terkait program nuklir Pyongyang dan telah merugikan ekspor utama batu bara mereka ke Cina. Kedua krisis tersebut memperburuk situasi yang sudah sulit di negara yang 60% penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan itu.
Inilah Sanksi PBB Pada Korea Utara
PBB jatuhkan sanksi terhadap Korea Utara sebagai hukuman bagi program senjata nuklirnya. Dewan Keamanan bahkan akan memperberat sanksi. Inilah sejumlah hukuman PBB terhadap Korea Utara:
Foto: Reuters/S. Sagolj
Moneter
Korea Utara dilarang membuka cabang bank di luar negeri. PBB juga melarang anggotanya mengoperasikan institusi keuangan untuk kepentingan Pyongyang. Karena aktivitas itu bisa membuat Korea Utara mengelak dari sanksi. PBB juga meminta negara anggota mengusir siapa pun yang bekerja untuk kepentingan keuangan rezim komunis itu.
Foto: Mark Ralston/AFP/Getty Images
Pelayaran
PBB memerintahkan negara anggota untuk registrasi ulang semua kapal barang yang dimiliki, dioperasikan atau diawaki orang yang berada di bawah perintah Pyongyang. Kapal-kapal Korea Utara juga dilarang menggunakan bendera negara lain, untuk menghindari sanksi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/J. Dumaguing
Penerbangan
Air Koryo, maskapai nasional Korea Utara dilarang terbang ke Uni Eropa dengan alasan standar keamanan penerbangan. Juga AS melarang warganya melakukan bisnis dengan maskapai ini. Air Koryo terutama melayani jalur domestik dan jalur luar negeri ke Cina serta Rusia.
Foto: picture-alliance/dpa/Yonhap
Bahan Bakar
Sanksi PBB melarang penjualan bahan bakar pesawat terbang, jet dan roket ke Korea Utara. Tapi penjualan minyak mentah atau sejenisnya hingga kini masih diizinkan. Yang jarang diketahui Korut juga memproduksi mobil sendiri dengan merk Pyeonghwa, bekerja sama dengan mendiang pendeta Sun Myung Moon yang jadi penasehat spiritual mantan Presiden Park Gyeun he.
Foto: Getty Images/AFP/M. Ralston
Batu bara
BisnIs ekspor batu bara terutama dijalin dengan Cina. Tapi bulan Februari lalu, Cina membatasi impor batu bara dari Korea Utara. Dengan persyaratan ketat, Pyongyang diizinkan mengekspor 7,5 juta ton batu bara ke Cina senila 374 juta euro. Salah satu pembelinya adalah Liaoning Greenland Energy Coal Co.(foto) di Dandong, kota perbatasan Cina dengan Korea Utara.
Foto: Reuters/B. Goh
Rekening Bank dan Properti
Sanksi PBB membatasi hanya satu rekening bank bagi setiap diplomat Korea Utara di luar negeri (foto kedubes Korut di Berlin). Korea Utara juga dilarang memiliki properti apa pun di luar negeri selain gedung kedutaan atau konsulatnya.
Foto: picture alliance/dpa/S.Schaubitzer
Latihan Militer
PBB melarang lembaga keamanan negara anggotanya mengirim pelatih untuk mendidik militer, polisi atau unit paramiliter Korea Utara. PBB hanya mengizinkan pertukaran tenaga medis, tapi hanya memperbolehkan asistensi teknik dan nilai keilmuan.
Foto: Reuters/S. Sagolj
Patung
PBB juga melarang penjualan patung dari Korea Utara, khususnya patung para pemimpin rezim dari dinasti Kim.
Foto: picture alliance/dpa/robertharding
8 foto1 | 8
"Perekonomian telah mengalami penurunan terus menerus selama lima tahun terakhir. Jadi kesepakatan senjata dengan Rusia akan membantu kembalinya pertumbuhan positif sekitar 1% pada 2024,” Anwita Basu, Head of Europe, Country Risk di Fitch Solutions, mengatakan kepada DW.
Basu mengyebutkan angka tersebut hanyalah perkiraan, karena Pyongyang tidak pernah melaporkan data ekonomi mereka. Sebagian besar data statistik diperoleh dari Bank Sentral Korea Selatan dan mitra dagang Korea Utara.
Tahun 2023 lalu, perdagangan Korea Utara dengan Cina, yang sejauh ini merupakan mitra terbesarnya – pulih ke tingkat sebelum pandemi sebesar $2,3 miliar, menurut Beijing. Perekonomian Korea Utara menurun drastis antara tahun 2016 dan 2018 setelah sanksi diberlakukan.
Menggambarkan transfer amunisi sebagai "kesepakatan besar” bagi Pyongyang, Basu mengatakan hal itu jelas adalah "tindakan putus asa” di pihak Rusia, yang semakin terisolasi secara global karena keputusan Moskoew untuk menyerang Ukraina.
Iklan
Sektor pertahanan menggerakkan mesin pertumbuhan
Industri pertahanan adalah salah satu sektor yang menyediakan lapangan kerja terbesar di Korea Utara. Diperkirakan ada dua juta pekerja dari total populasi 26 juta jiwa di sektor ini. Industri pertahanan bersama dengan sektor pertanian, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian negara komunis itu.
Awalnya berproduksi untuk kebutuhan militernya sendiri, Korea Utara telah menemukan beberapa pelanggan utama senjata dan amunisinya di luar negeri, utamanya di negara-negara bekas Uni Soviet atau negara-negara di Afrika sub-Sahara. Sebagian besar suku cadang diimpor dari negara-negara lain yang terkena sanksi berat, termasuk Cina dan Iran.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
"Korea Utara sudah lama menginginkan dua hal: yang pertama adalah legitimasi sebagai sebuah bangsa, yang tidak mereka miliki karena Perang Korea (1950-1953) belum berakhir. Yang kedua adalah sektor pertahanan dan militer yang berkelanjutan, untuk bisa mempertahankan kedaulatannya,” kata Basu, seraya menambahkan bahwa kesepakatan dengan Rusia membantu memperkuat keduanya.
Meskipun demikian, Basu merasa skeptis rakyat Korea Utara akan mendapat manfaat dari kesepakatan senjata ini. Negara ini, selama bertahun-tahun, sangat bergantung kepada bantuan asing untuk memberi makan penduduknya. Banyak orang menderita kekurangan gizi dan masalah kesehatan lainnya.
"Kemungkinan besar mereka (warga negara biasa) tidak akan mendapat banyak manfaat karena Korea Utara masih merupakan negara otokratis dengan banyak korupsi,” kata Head of Europe, Country Risk di Fitch Solutions itu. "Pada saat yang sama, pendapatan tambahan di sektor pertahanan akan meningkatkan kemampuan pendanaan eksternal Korea Utara – sehingga akses terhadap impor pangan dan teknologi bisa menjadi lebih mudah.”
Korea Utara diperkirakan mendapat keuntungan setidaknya $1 miliar dari penjualan peluru artileri ke Rusia, Bloomberg News melaporkan minggu ini. Rudal balistik yang dipesan oleh Moskow biasanya bernilai beberapa juta dolar.
Sejarah Perang Korea 1950-1953
Ambisi Kim Il Sung menguasai Semenanjung Korea tidak hanya merenggut jutaan nyawa, tetapi juga berakhir pahit untuk aliansi komunis di utara. Perang Korea gagal mengubah garis demarkasi yang masih bertahan hingga kini.
Foto: Public Domain
Korea Terbagi Dua
Selepas Perang Dunia II, Korea yang dijajah Jepang mendapat nasib serupa layaknya Jerman yang dibagi dua antara sekutu Barat dan Uni Soviet. Ketika AS membentuk pemerintahan boneka di bawah Presiden Syngman Rhee untuk kawasan di selatan garis lintang 38°, Uni Soviet membangun rezim komunis di bawah kepemimpinan Kim Il Sung.
Foto: Getty Images/AFP
Siasat Kim Lahirkan Perang Saudara
Awal 1949 Kim Il Sung berusaha meyakinkan Josef Stalin untuk memulai invasi ke selatan. Namun permintaan itu ditolak Stalin karena mengkhawatirkan intervensi AS. Terlebih serdadu Korut saat itu belum terlatih dan tidak mempunyai perlengkapan perang yang memadai. Atas desakan Kim, Soviet akhirnya membantu pelatihan militer Korut. Pada 1950 pasukan Korut sudah lebih mumpuni ketimbang serdadu Korsel
Foto: Bundesarchiv, Bild 183-R80329 / CC-BY-SA
Peluang Emas di Awal 1950
Keraguan Stalin bukan tanpa alasan. Sebelum 1950 Cina masih tenggelam dalam perang saudara antara kaum nasionalis dan komunis, pasukan AS masih bercokol di Korsel dan ilmuwan Soviet belum berhasil mengembangkan bom nuklir layaknya Amerika Serikat. Ketika situasi tersebut mulai berubah, Stalin memberikan lampu hijau bagi invasi pada April 1950.
Foto: picture-alliance/dpa/Bildfunk
Kekuatan Militer Korut
Berkat Soviet, pada pertengahan 1950-an Korut memiliki 200.000 serdadu yang terbagi dalam 10 divisi infanteri, satu divisi kendaraan lapis baja berkekuatan 280 tank dan satu divisi angkatan udara dengan 210 pesawat tempur. Militer Korut juga dipersenjatai 200 senjata artileri, 110 pesawat pembom dan satu divisi pasukan cadangan berkekuatan 30.000 serdadu dengan 114 pesawat tempur dan 105 tank
Foto: AFP/Getty Images
Kekuatan Militer Korsel
Sebaliknya kekuatan militer Korea selatan masih berada jauh di bawah saudaranya di utara. Secara umum Korsel hanya berkekuatan 98.000 pasukan, di antaranya cuma 65.000 yang memiliki kemampuan tempur, dan belasan pesawat, tapi tanpa tank tempur atau artileri berat. Saat itu pasukan AS banyak terkonsentrasi di Jepang dan hanya menempatkan 300 serdadu di Korsel.
Foto: picture-alliance/dpa
Badai Komunis Mengamuk di Selatan
Pada 25 Juni 1950 sekitar 75.000 pasukan Korut menyebrang garis lintang 38° untuk menginvasi Korea Selatan. Hanya dalam tiga hari Korut yang meniru strategi Blitzkrieg ala NAZI Jerman merebut ibu kota Seoul dengan mengandalkan divisi lapis baja dan serangan udara. Pada hari kelima kekuatan Korsel menyusut menjadi hanya 22.000 pasukan
Foto: picture-alliance/dpa
Arus Balik dari Busan
Kendati AS mulai memindahkan pasukan dari Jepang ke Korsel, hingga awal September 1950 pasukan Korut berhasil menguasai 90% wilayah selatan, kecuali secuil garis pertahanan di sekitar kota Busan. Dari kota inilah Amerika Serikat dan pasukan PBB melancarkan serangan balik yang kelak mengubur impian Kim Il Sung menguasai semenanjung Korea.
Foto: Public Domain
September Berdarah
Di bawah komando Jendral Douglas MacArthur, pasukan gabungan antara AS, PBB dan Korea Selatan yang kini berjumlah 180.000 serdadu mulai mematahkan kepungan Korut terhadap Busan. Berbeda dengan pasukan Sekutu, Korut yang tidak diperkuat bantuan laut dan udara mulai kewalahan dan dipaksa mundur semakin ke utara.
Foto: Public Domain
Nasib Buruk Berputar ke Utara
Pada 25 September pasukan sekutu berhasil merebut kembali Seoul. Serangan udara dan artileri militer AS berhasil menghancurkan sebagian besar tank dan senjata artileri milik Korut. Atas saran Cina, Kim menarik mundur pasukannya dari selatan. Jelang Oktober hanya sekitar 30.000 pasukan Korut yang berhasil kembali ke utara.
Foto: Public Domain
Intervensi Mao
Ketika pasukan AS melewati batas demarkasi pada 1 Oktober, Stalin dan Kim mendesak Mao Zedong dan Zhou Enlai agar mengirimkan enam divisi invanteri Cina ke Korea. Soviet sendiri sudah menegaskan tidak akan menurunkan langsung pasukannya. Permintaan tersebut baru dijawab pada 25 Oktober, setelah serangkaian perjalanan diplomasi antara Beijing dan Moskow.
Foto: gemeinfrei
Mundur Teratur
Hingga November 1950 pasukan AS tidak hanya merebut Pyongyang, tetapi juga berhasil merangsek hingga ke dekat perbatasan Cina. Kemenangan AS terhenti setelah pasukan Cina yang berkekuatan 200.000 tentara mulai melakukan serangan balik. Intervensi tersebut menyebabkan kekalahan besar pada pasukan AS yang terpaksa mengundurkan diri dari Korea Utara pada pertengahan Desember.
Foto: Public Domain
Berakhir dengan Kebuntuan
Hingga Juli 1951 pasukan Cina dan AS masih bertempur sengit di sekitar perbatasan garis lintang 38°. Baru pada pertengahan tahun kedua pihak mulai mengendurkan serangan yang menyebabkan situasi buntu. Setelah kematian Josef Stalin, sikap Uni Soviet mulai melunak dan pada 27. Juli 1953 kedua pihak menyepakati gencatan senjata yang masih berlaku hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Hilang Nyawa Terbuang
Pada akhir Perang Korea, sebanyak 33.000 pasukan AS dilaporkan tewas dalam pertempuran. Sementara Korsel melaporkan sebanyak 373.000 warga sipil dan 137.000 pasukan tewas. Sebaliknya Cina kehilangan 400.000 serdadu dan Korut 215.000 pasukan, serta 600.000 warga sipil. Secara umum angka kematian yang diderita kedua pihak mencapai 1,2 juta jiwa.
Foto: Public Domain
13 foto1 | 13
Aliansi Rusia-Korut lebih erat?
Ekonom Fitch Solutions itu juga mencatat bagaimana Korea Utara, bersama dengan Rusia, terkenal dengan kemampuan serangan sibernya yang canggih, dan negara tersebut melatih ribuan peretas.
"Ini bisa menjadi bidang lain bagi kedua belah pihak untuk bekerja sama di masa depan,” kata Basu.
Sebagai tanda bahwa kedua negara berupaya untuk lebih meningkatkan hubungan, Putin menyatakan kesediaannya untuk mengunjungi (Korea Utara) dalam waktu dekat, demikian kantor berita negara Korea Utara KCNA melaporkan pekan lalu. Ini akan menjadi kunjungan pertamanya ke Pyongyang setelah lebih dari dua dekade. (ae/as)