“Mereka yang tidak belajar dari sejarah terkutuk akan mengulang kesalahannya.” George Santayana, filsuf. Opini Geger Riyanto.
Iklan
Anda mungkin sempat mendengar kutipan di atas pada suatu tempat dan suatu waktu. Yang saya tahu, para sejarawan sangat gemar mengutipnya, mengulangnya, menjejalkannya kepada para pendengar mereka. Sejarawan yang saya kenal, setidaknya, tak pernah merasa klise menyampaikannya ketika ia merasa harus menjelaskan apa kegunaan sejarah. Sayangnya, saya sendiri ragu pandangan ini menggambarkan nasib para sejarawan yang bergulat dengan isu 1965.
Belum lama ini, Amerika Serikat membuka ribuan dokumen yang dimiliki kedutaan besarnya di Indonesia antara 1963-1966. Fakta yang paling pertama mengemuka dan menjadi buah bibir media adalah pemerintah AS, pada tahun-tahun muram tersebut, tahu, pembantaian besar-besaran terjadi di Indonesia. Mereka tahu, siapa saja yang didakwa komunis dapat secara serampangan dilibas. Dan mereka tahu angkanya yang sangat besar—bahwa dalam dua bulan saja di Bali, jumlah korban pembantaian dapat melesat dari angka 10.000 menjadi 80.000.
Mereka sekadar tahu dan tidak berbuat apa-apa? Tidak. Mereka merayakannya. Mereka menggambarkannya sebagai "peralihan fantastis dalam waktu sesingkat 10 minggu”—demikian tulis sekretaris kedutaan besar, Mary Vance Trent, dalam kabelnya pada 21 Desember 1965.
Sudah lama diketahui para sejarawan
Namun, fakta ini sebenarnya sudah lama diketahui para sejarawan. Lagi pula, tak lama selepas peristiwa tersebut, Richard Nixon, Presiden Amerika Serikat, menyampaikan satu pernyataan yang jelas-jelas gembira terkait perubahan ini. Indonesia, yang terdiri dari ratusan juta penduduk dan gugusan pulau sepanjang 300 mil, menurutnya, adalah hadiah terbaik di Asia Tenggara.
Fakta yang juga mengemuka dari dokumen Kedubes AS di Indonesia tersebut adalah adanya peran kekuatan politik besar di Indonesia yang memuluskan tragedi tersebut. Tetapi, ini pun bukan fakta yang baru diketahui kemarin sore. Penyelidikan Jess Melvin, misalnya, menemukan adanya komando militer yang terstruktur dan rapi yang memantik dan mengarahkan pembersihan komunis di Aceh. Dan tidak ada sejarawan penggiat isu 1965 yang rasanya tak mengetahui kancah Resimen Para Komando Angkatan Darat—satu unit paramiliter yang bergerak ke sana-kemari mempersenjatai kalangan sipil untuk menghabisi komunis dan para simpatisannya.
Maka, arti penting arsip ini seharusnya bukanlah mengungkap melainkan menegaskan fakta. Ia seyogianya memahamkan kepada khalayak yang lebih luas apa yang sudah diketahui jauh-jauh hari oleh para sejarawan bahwa pembantaian 1965 merupakan bagian dari sebuah manuver kekuasaan yang disengaja. Ada peran kekuatan-kekuatan besar berkepentingan di sana, dan banyak yang tak mengetahui apa-apa namun tersambar olehnya.
Rahasia Amerika Terkait Pembantaian 1965
Dokumen rahasia AS mengungkap dosa kolektif Indonesia dalam pembantaian 1965. Selain ABRI, organisasi keagamaan dan warga sipil juga ikut terlibat membunuh simpatisan PKI yang tidak berurusan dengan Gerakan 30 September.
Foto: Getty Images/Keystone
08 Juni 1965
Pejabat konsulat AS di Medan, Robert Blackburn, melaporkan perwira militer membubarkan pemerintahan sipil lokal di bawah komando Dwikora yang dikeluarkan Presiden Sukarno untuk memperkuat ABRI dalam kampanye ganyang Malaysia. Pada 1 Oktober, perwira ABRI menggunakan kewenangan tersebut untuk mendeklarasikan darurat militer dan melancarkan gelombang pembantaian pertama terhadap simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
05 Agustus 1965
Sjafruddin Prawiranegara, tokoh Partai Masyumi, menyurati direktur dana bantuan AS, USAID, Edwin L. Fox, untuk menyampaikan "dukungan antusias" atas perang Vietnam. Menurutnya Washington "mengikuti satu-satunya jalan yang benar untuk menghadang agresi Komunisme." Kemenlu AS menulis surat Sjafruddin "luar biasa" mengingat sikap oposisi kelompok anti-PKI terhadap kebijakan luar negeri AS saat itu.
Foto: Getty Images/P. Christain
12 Oktober 1965
Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green, mengutip duta besar Jerman di Indonesia yang mengklaim "tentara mempertimbangkan kemungkinan mengkudeta Sukarno dan mendekati sejumlah kedutaan negara barat untuk mengabarkan kemungkinan itu." Isu tersebut dibocorkan oleh Mabes ABRI setelah Sukarno menolak permintaan militer yang ingin menunjukkan bukti-bukti "pengkhianatan Gerakan 30 September."
Foto: Imago/Xinhua
23 Oktober 1965
Adnan Buyung Nasution yang ketika itu menjabat sebagai jaksa di usia 31 tahun mengatakan kepada Sekretaris Kedutaan Besar AS Robert Rich bahwa "tentara telah mengeksekusi banyak orang komunis. Tapi fakta itu harus disembunyikan." Dalam percakapan yang dilaporkan melalui telegram kepada Kemenlu AS itu Buyung juga mengklaim "represi tentara terhadap PKI harus disembunyikan dari Soekarno."
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
30 November 1965
Kedutaan AS melaporkan "dalam sejumlah pertemuan dengan tokoh pemuda, Jendral Nasution mengungkapkan tekadnya melanjutkan kampanye represif terhadapn PKI" yang diduga dilakukan atas perintah Suharto. Organisasi pemuda muslim di banyak kota ikut dilibatkan dalam gelombang pembunuhan lanjutan yang diprakarsai oleh ABRI.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
28 Desember 1965
Kawat diplomatik mengungkap pembantaian berlanjut di Jawa Timur, "tapi dalam skala yang lebih kecil dan dirahasiakan." Korban dibawa keluar dari kota untuk dibantai. Kepada Washington, kedubes AS mengabarkan Nahdlatul Ulama ikut membantu "kampanye melenyapkan PKI." Bahkan Kapolda Jawa Timur Sumarsono mengatakan pihaknya "sulit menghentikan gelombang pembunuhan."
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
20 Juni 1967
Sebuah telegram dari kedutaan besar AS di Jakarta kepada Menlu Dean Rusk di Washington merekam sikap kritis Menlu Indonesia terhadap Suharto lantaran menggandeng Partai Nasional Indonesia. Adam Malik meyakini Suharto ingin menggunakan PNI sebagai "kekuatan tandingan" terhadap "organisasi Islam" yang kian berpengaruh dan dianggap mulai mengancam kekuasaan ABRI.
Foto: Getty Images/Keystone
7 foto1 | 7
Dan selanjutnya? Ia, seharusnya, menginsafkan orang-orang dengan kebenaran sejarah dan secara berarti mendorong diwujudkannya keadilan bagi mereka yang menjadi korban dari peristiwa ini.
Akan tetapi, bayangan ideal, yang biasanya dibentangkan para pegiat kemanusiaan tersebut, masih jauh dari genggaman. Terlalu jauh. Konstruksi yang ditanamkan oleh Orde Baru bahwa pembantaian 1965-1966 merupakan reaksi spontan rakyat yang muak terhadap pengkhianatan kelompok "ateis” PKI bukan hanya masih mencengkeram kuat. Dua dekade selepas rezim Orde Baru lengser, narasi ini malah mencengkeram kesadaran masyarakat dengan semakin mantap.
Mengapa?
Penjelasannya sebenarnya tak sulit dijumpai. Berpaling ke satu sisi, kita menemukan citra komunis kini menjadi komoditas politik yang sangat berharga di era demokrasi liberal. Ia, khususnya, menjadi pisau yang sangat ampuh untuk melucuti elektabilitas lawan dalam kontestasi politik. Dan ketika setiap usaha politik mendorong keadilan bagi para penyintas atau membuka kebenaran sejarah diganjar dengan kampanye hitam yang sangat mudah berseliweran di media sosial, mimbar agama, dan ranah keluarga, siapa politisi yang dapat diharapkan mengusung wacana ini secara terbuka ke depan publik?
Keterlibatan Asing dalam Pembantaian 1965
Sejarah mencatat pembantaian simpatisan PKI 1965 adalah buah kotor percaturan politik dunia di era Perang Dingin. Bahkan propaganda anti komunis yang disebarkan di Indonesia pun dirancang dan disusun di luar negeri
Foto: Yoichi Robert Okamoto
Dunia Terbelah Dua
Pada dekade 60an dunia didera konflik ideologi antara Amerika dan Uni Sovyet. Akibatnya perang proksi menjalar ke berbagai belahan Bumi. Jerman terbelah dua dan negara berkembang menjadi lahan lain perseteruan dua adidaya tesebut. Tahun 1963 Amerika Serikat gagal menjatuhkan benteng Komunisme di Kuba. Presiden baru AS, Lyndon B. Johnson, lalu beralih menginvasi Vietnam Utara.
Foto: Getty Images/P. Christain
Adu Jotos di Negeri Orang
Bagaimana kedua adidaya menjadikan negara berkembang sebagai catur politik terlihat dari banyaknya perang proksi. Dekade 1960an mencatat sedikitnya 50 konflik semacam itu, yang terbanyak selama Perang Dingin. Uni Sovyet dan Cina terutama getol memasok senjata buat pemberontak komunis. (Gambar: Pemimpin Cina Mao Tse Tung dan penguasa Sovyet Nikita Khrushchev di Beijing, 1959)
Foto: AP
Pemberontakan Komunis Malaysia
Lima tahun sebelum peristiwa G30S, Malaysia telah mendahului lewat perang antara Malayan National Liberation Army yang didukung Partai Komunis dan tentara persemakmuran pimpinan Inggris. Konflik serupa terjadi di Kongo, India, Bolivia dan Kolombia.
Foto: Public Domain
Primadona Perang Dingin
Indonesia adalah medan perang lain antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Mulai dekade 50an, Presiden Soekarno menjadi primadona politik yang diperebutkan oleh Presiden AS John F. Kennedy dan penguasa Uni Sovyet, Nikita Khrushchev. Saat itu Indonesia sudah menjadi salah satu kekuatan terbesar di Asia Tenggara dan mulai diperhitungkan di dunia.
Foto: Central Press/Hulton Archive/Getty Images
Petualangan di Timur
Soekarno yang mulai menua justru merasa Indonesia cukup kuat untuk menanggalkan asas netralitas dan menghidupkan poros Moskow-Beijing-Jakarta. Memasuki dekade 1960an, Uni Sovyet tercatat sebagai pemberi bantuan terbesar ke Indonesia, melebihi negara lain. Petualangan politik itu kemudian ternyata berujung fatal buat Indonesia
Foto: picture-alliance/Everett Collection
Manuver Sukarno
Hubungan Indonesia dan barat remuk setelah Amerika Serikat membantu pemberontakan PRRI/Permesta tahun 1958. Sebagai balasan Sukarno memerintahkan agresi militer terhadap Malaysia buat menentang pembentukan negara persemakmuran oleh Inggris. Soekarno saat itu beralasan dirinya menentang neo kolonialisme. Realitanya ia menyokong pemberontakan kelompok Komunis Malaysia di Serawak.
Foto: gemeinfrei
Harapan di Tangan Tentara
AS pun mulai berupaya menggembosi Partai Komunis Indonesia. Mereka mengkhawatirkan Soekarno yang mulai tua akan mewariskan tahta kepada PKI. Kendati dimusuhi Jakarta, dinas rahasia barat tetap menjalin kontak dengan TNI yang dianggap satu-satunya harapan memberangus komunisme di Indonesia. Hingga peristiwa 65, AS telah melatih setidaknya 4000 perwira TNI.
Bantuan dari Jerman
Tahun 1971 mingguan Jerman Der Spiegel melaporkan pada 1965 dinas rahasia BND bekerjasama dengan CIA memerangi PKI di Indonesia. BND antara lain membantu TNI dengan memasok senjata api, alat komunikasi dan uang senilai 300.000 DM atau sekitar 700 ribu Euro.
Foto: Imago
Pujian Gehlen buat Suharto
Tahun 1965 BND memiliki seorang agen rahasia, eks perwira NAZI, Rudolf Oebsger-Röder yang menyamar sebagai wartawan di Jakarta. Reinhard Gehlen (gambar), Presiden BND, menulis dalam memoarnya bahwa keberhasilan Suharto "menumpas PKI patut dihargai setinggi tingginya." Gehlen mengaku kehilangan "dua teman dekat" yang ikut dibunuh pada peristiwa G30S, salah satunya Brigjen Donald Isaac Pandjaitan
Foto: picture-alliance/dpa
Propaganda Kiriman Barat
National Security Archive di AS mencatat dinas rahasia Inggris, MI6, yang beroperasi dari Singapura, menggandeng dinas rahasia Australia buat merancang propaganda hitam terhadap PKI, etnis Cina dan Sukarno. MI6 bahkan memanipulasi pemberitaan media asing seperti BBC. Propaganda yang banyak berkaca pada pemberontakan komunis Malaysia itu lalu diadopsi berbagai media Indonesia yang dikuasai TNI
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Daftar Maut Amerika
Tidak banyak kejelasan mengenai keterlibatan langsung dinas rahasia asing terhadap pembantaian simpatisan PKI. Yang jelas sejarah mencatat bagaimana Kedutaan Besar Amerika Serikat menyerahkan daftar berisikan 5000 nama jajaran pimpinan PKI kepada TNI. Dokumen tersebut, kata Robert J. Martens, atase politik di kedubes AS, "adalah bantuan besar buat TNI."
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Darah Disambut Pesta
Di hari-hari pembantaian itu dunia merayakan kehancuran PKI di Indonesia. PM Australia Harold Holt (ki.) berkomentar "dengan dibunuhnya 500 ribu sampai 1 juta simpatisan Komunis, aman untuk berasumsi bahwa reorientasi (di Indonesia) sedang berlangsung." Ironisnya Uni Sovyet cuma bereaksi dingin dengan menyebut pembantaian tersebut sebagai "insiden yang tragis."
Foto: Yoichi Robert Okamoto
12 foto1 | 12
Berpaling ke sisi yang lain, kita dihadapkan dengan keruwetan berjalinkelindannya harga diri banyak kelompok berpengaruh dengan narasi 1965 yang dominan. Kita dihadapkan dengan militer yang harus juga mengakui bahwa institusinya berdiri di atas kebohongan bila mereka mengakui fakta ini. Kita dihadapkan pula dengan agamawan yang akan terdengar tak pada tempatnya bila mereka mengakui kebenaran kabel dari kedubes AS tersebut. Dan, tak lupa, kita dihadapkan dengan kepala keluarga yang kontrolnya terhadap anak-anaknya dibangun dengan menjauhkan mereka dari segala hal berkonotasi komunis.
Maka, memang, cerita-cerita ihwal 1965 kini tidak lagi menjadi mitos yang dikembangkan rezim untuk menjaga kelanggengannya. Tetapi, ia bermutasi menjadi komoditas politik yang menjadikannya malah lebih marak direproduksi di mana-mana. Dalam situasi ini, bagaimana kita mengharapkan adanya pengungkapan terhadap kebenaran sejarah 1965?
Dan dalam situasi ini, karenanya, saya sulit menerima ungkapan Santayana mentah-mentah. Saya lebih percaya satu ungkapan yang disampaikan penulis Peter Lamborn Wilson memelintir Santayana. Mereka yang tidak belajar dari sejarah terkutuk akan mengulang kesalahannya. Mereka yang belajar sejarah terkutuk akan tidak berdaya mencegah orang-orang mengulang kesalahannya.
Penulis:
Geger Riyanto (ap/vlz)
Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.
@gegerriy
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Suara Bisu Perempuan Korban Tragedi 65
Jutaan penduduk menua dengan trauma 65 di pundaknya. Sebagian pernah disiksa dan kehilangan anggota keluarga. Hingga kini mereka menderita dalam diam. Tanpa suara. Tanpa keadilan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Uang saya hanya cukup untuk menyambung nyawa"
Sumilah berusia 14 tahun ketika ia ditangkap tahun 1965. Tuduhannya: Dia adalah anggota dari gerakan perempuan "Gerwani". Aparat menghajarnya sampai pingsan. Mereka kemudian menyekap Sumilah di kamp Plantungan. Di sana baru diketahui bahwa ia korban salah tangkap. Di masa tua, Sumilah hidup di Yogyakarta dengan uang pas-pasan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mereka memukuli ayahku hingga hampir mati"
Ayah Kina diduga merupakan simpatisan Komunis. Ia ditangkap dan tak boleh bekerja. "Itu sebabnya saya mengambil peran sebagai pengganti ayah," kata dia. Kina berpakaian seperti anak laki-laki, bekerja di ladang an mengumpulkan kayu bakar. Masyarakat mengecapnya sebagai "anak komunis". Oleh karena itu, ia dan saudara-saudaranya kehilangan hak atas tanah ayah mereka .
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Masih tersimpan luka di hati saya"
Suami Lasinem ditangkap tahun 1969, disiksa & dikirim ke Pulau Buru. "Suamiku diangkut oleh kawannya sendiri, yang merupakan tentara. Dia dipukuli, punggungnya diinjak-injak sampai luka di sekujur tubuh," papar Lasinem. Perempuan ini ditinggalkan sendirian dengan anak-anaknya. Tahun 1972, mereka menyusul sang kepala keluarga ke Buru. Trauma ketakutan melekat di diri Lasinem hingga saat ini.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Meski dipukuli bertubi-tubipun saya tidak menangis"
Sri adalah seniman dan penyanyi yang tergabung dalam organisasi yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1965 ia ditangkap, disiksa, dan dipenjara. "Depan kamar tidur kami penuh tahi," kenangnya. "Kotoran itu baunya tak tertahankan." Ketika dia dibebaskan pada tahun 1970, rumahnya sudah dirampas keluarga lain. Sri menjadi tunawisma. Di masa tua, ia tinggal bersama keponakannya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Aku harus meninggalkan bayi perempuanku"
Berkali-kali Yohana ditangkap, ditahan, diinterogasi. Ketika ditangkap ke-2 kalinya, ia baru saja melahirkan. Ia dipisahkan dari bayinya masih menyusu. Dua tahun kemudian baru ia bertemu anak perempuannya lagi. "Pengalaman kekerasan itu menghantuiku terus," paparnya. Namun, sepanjang hayatnya, ia tak pernah menceritakan apa yang menimpanya saat itu, bahkan pada keluarganya sekalipun.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mungkin takkan pernah lupa"
Ketika Juriah beumur 7 tahun, ayah diasingkan ke Pulau Buru tahun 1966. Saat menginjak usia 18 tahun, Juriah dipaksa ikut pernikahan massal. Dia harus berjanji tidak pernah meninggalkan Buru. Meskipun penuh penderitaan, ia tetap di sana: "Jika kita datang ke tempat-tempat tertentu, kita akan berbicara tentang masa lalu dan terasa seolah-olah kita tertusuk pisau."
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Orang-orang belum tahu kebenarannya"
"Begitu banyak hilang pada tahun 1965, tanpa pengadilan atau bukti-bukti keterlibatan dengan kasus 65," kata Migelina. Seluruh keluarganya dipenjara pada tahun 1965 - ia kehilangan orang tuanya dan kakaknya. Meski tragedi sudah berlalu berakhir, tetapi ia tetap mendoakan. Migelina percaya bahwa Tuhan memberinya kehidupan lebih panjang, untuk bisa mengetahui apa yang terjadi dengan keluarganya.