1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Sulitnya Hidup Kaum Tunanetra di India Selama Corona

26 Juni 2020

Pasca pelonggaran lockdown, jutaan orang di India yang menderita kebutaan berupaya menelusuri dunia baru. Mereka yang bergantung pada sentuhan kini terhalang oleh aturan jarak fisik.

Polisi bantu pria tunanetra menyeberang jalan
Foto ilustrasi tunanetra di India saat coronaFoto: picture-alliance/NurPhoto/Str

Ketika India mulai melonggarkan kebijakan lockdown dan perlahan menjalani kehidupan seperti biasanya, seorang siswa tunanetra berusia 23 tahun di New Delhi, Jagan Negi memutuskan untuk berjalan mengunjungi Connaught Place di pusat kota. 

Sebagai seseorang yang bergantung pada sentuhan, aturan jarak fisik membuat perjalanan itu menjadi lebih sulit bagi Negi. 

"Saya mengenakan masker tetapi merasa sangat sulit untuk dinavigasi. Sangat sedikit orang yang secara sukarela membantu, dan itu membuat frustrasi," kata Negi kepada DW, menambahkan bahwa di tengah pandemi sangat sedikit yang membantunya menyeberang jalan karena khawatir tertular virus corona

Hal yang sama terjadi pada Jasmine Singh, seorang akuntan. Kegiatan membeli bahan makanan pokok menjadi sulit dan memalukan. "Sebagai seseorang yang tidak bisa melihat, saya harus menyentuh benda dan permukaan lebih dari orang kebanyakan. Saya bisa melihat bahwa orang-orang merasa tidak nyaman karena suara berbisik yang mereka buat," kata Singh kepada DW. 

Vandita Anand, seorang instruktur, menjelaskan bahwa tidak hanya orang lain menganggapnya sebagai pembawa virus, tetapi dia sendiri juga tidak dapat melihat apakah orang lain mematuhi aturan jarak fisik. 

"Beberapa orang melihat saya dalam kategori berisiko tinggi dan orang-orang khawatir berada di sekitar saya. Kenyataan itu harus saya jalani. Saya pun tidak tahu apakah orang lain mengenakan masker dan tetap berada 1,8 meter dari saya," katanya. 

Seruan untuk adanya kebijakan inklusif 

India adalah rumah bagi sepertiga populasi tunanetra dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan India memiliki sekitar 63 juta orang yang buta atau menderita penglihatan rendah. Mayoritas orang buta di India bergantung pada bantuan dari pemerintah atau bekerja sebagai buruh harian informal. 

Bagi jutaan orang India yang menderita gangguan penglihatan, fase new normal menimbulkan tantangan baru bagi kehidupan sehari-hari. 

"Ini memengaruhi pendidikan, pekerjaan, urusan publik, manajemen keuangan, perjalanan, dan akses digital. Ini adalah tantangan baru yang ditimbulkan pandemi untuk orang-orang buta," George Abraham, CEO dari Score Foundation, sebuah organisasi yang membantu para tunanetra. "Kami tidak pernah diperhitungkan dalam skema besar pemerintah, tetapi sekarang kami perlu memastikan bahwa kami didengar. Pihak berwenang perlu diingatkan bahwa kami perlu perawatan," katanya. 

Pandemi memicu digitalisasi 

Pandemi global telah memunculkan digitalisasi di berbagai aspek kehidupan, termasuk belanja, pekerjaan, dan komunikasi. Namun bagi penderita penglihatan rendah dan tunanetra, keharusan menavigasi platform digital bisa menjadi tugas yang menakutkan.

"Banyak orang tunanetra harus menggunakan perangkat lunak ucapan atau pembaca layar untuk dapat menggunakan komputer. Mayoritas situs web tidak dapat diakses dengan perangkat lunak pembaca layar dan ini merupakan penghalang utama untuk transaksi online," Praveen Kumar, inklusi sosial penasihat dari Voluntary Service Overseas (VSO), mengatakan kepada DW. 

Aturan jarak fisik juga menghambat proses ulangan bagi banyak siswa tunanetra. Dalam keadaan normal, asisten khusus akan duduk dekat dengan siswa yang menderita gangguan penglihatan dan menuliskan jawaban ulangan mereka. Di beberapa kota, krisis COVID-19 telah memaksa pendidik untuk berkomunikasi dengan siswa tunanetra dari jarak jauh. 

"Kami meningkatkan upaya untuk menyediakan akses buku digital, literasi digital bersama dengan erangkat lain dalam program subsidi. Berada di sisi yang tepat dalam kesenjangan digital sangat penting untuk bertahan di era COVID-19," kata Dipendra Manocha dari Saksham, sebuah inisiatif untuk membantu kaum muda yang kurang beruntung, kepada DW. 

Pemerintah dinilai lamban 

Ketika India memberlakukan lockdown secara nasional pada akhir Maret, pemerintah dilaporkan telah menginstruksikan otoritas kesehatan untuk menyediakan semua informasi terkait COVID-19 dalam bentuk braille dan audio. "Tapi perintah itu tidak pernah ditindaklanjuti. Ribuan orang yang saya kenal, hidup dalam kesusahan dan kesulitan. Kami hampir tidak mendapatkan informasi karena kami tidak pernah menjadi prioritas," kata Prashant Verma, sekretaris jenderal Asosiasi Nasional untuk Tunanetra kepada DW. 

Untuk mengisi kekosongan ini, jaringan relawan dan LSM pun mengatur agar obat-obatan, ransum, bantuan keuangan, dan hal-hal penting lainnya didistribusikan, terutama kepada mereka yang tinggal di daerah terpencil. 

Banyak orang tunanetra merasa bahwa pihak berwenang perlu mengambil tindakan dan menyediakan ruang yang aman, bebas risiko bagi orang buta di tengah pandemi karena indera peraba sangat penting bagi kelangsungan hidup mereka. 

"Virus ini akan bersama kita untuk sementara waktu dan oleh karena itu kebijakan harus dirancang untuk membantu, bukan menghalangi kita," kata Abraham, menambahkan bahwa masa depan yang tidak pasti masih menunggu. (ha/gtp) 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait