Ketegangan AS-Cina Meningkat Usai Dialog Shangri-La?
3 Juni 2025
Dialog Shangri-La, forum pertahanan dan keamanan terbesar di Asia yang digelar setiap tahun di Singapura dan tahun ini berlangsung dari 30 Mei sampai 1 Juni. Amerika Serikat (AS) memberikan pesan yang jelas bahwa kawasan Indo-Pasifik adalah prioritas utama pemerintahan Donald Trump, di tengah apa yang mereka anggap sebagai sikap agresif dari Cina.
Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth mendesak sekutu-sekutu di Asia untuk meningkatkan pertahanan mereka sebagai respons terhadap peningkatan aktivitas militer Cina di dekat Taiwan, wilayah yang diklaim Beijing sebagai miliknya. Hegseth menyebut Cina lebih dari 20 kali dalam pidato pertamanya di Dialog Shangri-La, dan memberikan peringatan keras soal kemungkinan rencana Beijing untuk menyerang Taiwan.
"Setiap upaya Komunis Cina untuk menaklukkan Taiwan dengan kekuatan militernya akan membawa konsekuensi kehancuran bagi Indo-Pasifik dan dunia. Tidak perlu diperhalus,” ujar Hegseth pada Sabtu (31/05).
"Ancaman dari Cina itu nyata, dan bisa saja terjadi dalam waktu dekat,” tambahnya. "Kami berharap tidak, tapi kemungkinan itu ada.”
Laksamana Muda Hu Gangfeng, pemimpin delegasi Cina dari Universitas Pertahanan Nasional Tentara Pembebasan Rakyat, menyebut pernyataan itu sebagai "tuduhan tidak berdasar”.
Keesokan harinya, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Cina mengeluarkan pernyataan yang memprotes tuduhan Hegseth, dengan mengatakan kehadiran militer AS di wilayah Asia Pasifik adalah penyebab kawasan itu menjadi "mesiu yang siap meledak."
Menhan Cina tidak ikut hadir
Sesi pleno yang biasanya digunakan Beijing untuk memaparkan strategi Indo-Pasifik mereka ditiadakan tahun ini, dan spekulasi soal alasan ketidakhadiran Menteri Pertahanan (Menhan) Cina Dong Jun terus bergulir sepanjang forum yang berlangsung tiga hari itu.
Zhou Bo, peneliti senior di Pusat Keamanan dan Strategi Internasional Universitas Tsinghua, mengatakan kepada DW bahwa ketidakhadiran Menhan Cina itu disebabkan oleh bentroknya agenda perjalanan, bukan karena alasan strategis.
Namun, analis lain berpendapat bahwa Cina mungkin ingin menghindari pertanyaan-pertanyaan soal isu keamanan saat ini. Faktor lainnya, bisa jadi karena Washington untuk pertama kalinya mempresentasikan kebijakan Indo-Pasifiknya di panggung global.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
"Menurut saya, Cina memilih pendekatan yang lebih hati-hati dan defensif kali ini. Mereka menunggu langkah dari AS,” kata Lin Ying-Yu, asisten profesor di Institut Pascasarjana Urusan Internasional dan Studi Strategis Universitas Tamkang, Taiwan.
"Setelah AS menyampaikan pernyataannya, barulah [Cina] akan merespons,” tambahnya.
Terkait adanya kemungkinan upaya balasan dari Cina, Lin menyarankan untuk menunggu Forum Xiangshan di Beijing, sebuah konferensi pertahanan internasional tahunan yang digelar pada September atau Oktober tahun ini.
Lin juga memperingatkan, "Cina bisa saja menggunakan aksi militer terhadap Taiwan sebagai pesan untuk AS, dan itu perlu kita waspadai.”
Bagaimana masa depan hubungan AS-Cina?
Cina, yang kini memiliki armada laut terbesar di dunia berdasarkan jumlah kapal perangnya, dilaporkan telah meningkatkan patroli angkatan laut dan penjaga pantainya di perairan Asia Timur sejak awal Mei.
Zhou, pakar militer Cina, mengatakan kepada DW bahwa nada bicara Hegseth mencerminkan "adanya perubahan hampir 180 derajat” dibandingkan pemerintahan Biden dan "bertentangan dengan pernyataan para pendahulunya.”
Tahun lalu, di podium yang sama, eks Menhan AS Lloyd Austin menekankan bahwa perang dengan Cina tidak akan terjadi dalam waktu dekat, tetapi juga tidak dapat terhindarkan. Ia juga mendorong pentingnya dialog berkelanjutan antara kedua negara demi mencegah kesalahpahaman.
Saat ditanya soal masa depan hubungan Cina-AS, Da Wei, Direktur Pusat Keamanan dan Strategi Internasional CISS di Universitas Tsinghua mengatakan, ia memperkirakan operasi pertahanan sehari-hari dari kedua pihak akan "terlihat lebih konfrontatif,” namun tanpa eskalasi mendadak.
Presiden Prancis peringatkan soal polarisasi dunia
Dalam forum ini, Presiden Prancis Emmanuel Macron menyoroti potensi perpecahan global antara Cina-AS sebagai risiko utama yang kini dihadapi dunia.
"Instruksi yang diberikan kepada semua negara lain adalah kamu harus memilih pihak,” kata Macron di hari pembukaan. "Jika kita melakukan itu, kita akan menghancurkan tatanan global, dan secara sistematis menghancurkan semua lembaga yang kita bangun setelah Perang Dunia II,” tambahnya.
Menanggapi kekhawatiran soal dunia yang terpolarisasi menjadi dua blok besar, Zhou mengatakan kepada DW, "jelas kita belum sampai pada titik itu, yaitu hubungan permusuhan antara dua musuh.”
"Kita masih jauh dari itu dan semoga akan selalu jauh dari itu,” ujarnya.
Ketegangan di sekitar wilayah Taiwan meningkat
Meski Cina terlihat mengambil sikap berhati-hati dalam jalur diplomatiknya, aktivitas Beijing di Selat Taiwan justru semakin agresif.
Sejak Presiden Taiwan saat ini, William Lai, menjabat lebih dari setahun lalu, data resmi Taiwan menunjukkan peningkatan jumlah pelanggaran garis median Selat Taiwan oleh pesawat militer Cina, yaitu garis pembatas tidak resmi antara Cina daratan dan Taiwan, meskipun Beijing secara resmi menganggap seluruh wilayah Taiwan sebagai miliknya. Taiwan juga mencatat adanya peningkatan kehadiran angkatan laut Cina di sekitar perairannya.
Di Singapura, Menhan AS Hegseth memperingatkan bahwa Cina bisa saja siap menyerang Taiwan pada 2027 mendatang, pernyataan yang sejalan dengan penilaian sebelumnya dari otoritas AS.
Cina sebelumnya telah membantah tenggat 2027 tersebut, tetapi tetap menegaskan tujuan reunifikasi dengan Taiwan, baik dengan cara damai maupun tidak.
Meski Taiwan merupakan salah satu titik konflik paling sensitif di dunia, laporan media Taiwan menyebutkan bahwa kehadiran resmi Taiwan dalam forum tersebut sangat minim.
Nama "Taiwan” bahkan tidak muncul dalam daftar peserta resmi, termasuk dua perwakilan Taiwan yaitu I-Chung Lai, CEO lembaga think tank yang berafiliasi dengan pemerintah, dan mantan Menhan Taiwan Andrew Nien-dzu Yang.
Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Khoirul Pertiwi
Editor: Hendra Pasuhuk