Jika pemerintah Indonesia mengklaim mampu menyelesaikan konflik Palestina, mengapa persoalan-persoalan yang dihadapi TKI/TKW di sana tidak mampu diatasi? Berikut kritik pegiat hak buruh migran, Wahyu Susilo
Iklan
Sepekan berkegiatan di Doha, Qatar semakin menegaskan keraguan atas kehadiran negara dalam perlindungan buruh migran Indonesia di luar negeri. Sejak mendarat di bandara, memasuki hotel dan pusat-pusat keramaian yang terdengar adalah percakapan Tagalog dan Hindi yang khas di telinga. Penulis sama sekali tidak pernah melihat keberadaan pekerja rumah tangga migran asal Indonesia yang berada di ruang publik Qatar, bahkan ketika berada di restoran Minang milik orang Indonesia.
Qatar adalah negara yang komposisi penduduknya lebih banyak didominasi oleh kaum pendatang ketimbang penduduk aslinya. Sejak Qatar terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, semakin banyak pekerja pendatang, terutama dari kawasan Asia Selatan (Nepal, Srilanka, Bangladesh dan Pakistan) berdatangan mengisi lapangan kerja sektor konstruksi. Laporan Amnesty International memperlihatkan sudah ribuan buruh migran sektor konstruksi (terutama dari Nepal) meregang nyawa dalam kondisi kerja yang buruk dalam proyek mercu suar pembangunan sarana-sarana pendukung Piala Dunia 2022. Investigasi ini yang memicu desakan masyarakat internasional membatalkan pelaksanaan Piala Dunia 2022 di Qatar.
5 Hal Yang Tidak Boleh Dilakukan Perempuan Arab Saudi
Catatan HAM Arab Saudi tidak bagus. Terutama yang berkaitan dengan perlindungan bagi perempuan dan hak-haknya. Walaupun ada kemajuan, ruang gerak perempuan tetap sangat dibatasi.
Foto: Getty Images/AFP
Menyetir Mobil
Tidak ada UU resmi yang larang perempuan menyetir mobil. Tetapi kepercayaan keagamaan yang mendalam melarangnya. Menurut ulama Arab Saudi, perempuan yang menyetir "tidak mengindahkan nilai-nilai sosial". 2011 sekelompok perempuan mengorganisir kampanye "Women2Drive" dengan menempatkan foto-foto mereka ketika menyetir mobil untuk membangkitkan kesadaran perempuan. Kampanye tidak sukses.
Foto: Jürgen Fälchle/Fotolia
Keluar Rumah Tanpa Didampingi Pria
Perempuan Arab Saudi harus didampingi "pengawal" pria jika meninggalkan rumah. Yang jadi pengawal biasanya pria anggota keluarga. Mereka didampingi ke mana saja, termasuk berbelanja dan ke dokter. Praktek ini didasari tradisi konservatif dan pandangan religius, jika perempuan diberi kebebasan, maka akan mudah berbuat dosa.
Foto: imago/CTK/CandyBox
Mengenakan Baju atau Kosmetik Yang Tonjolkan Kecantikan
"Dress code" diatur berdasarkan hukum Islam dan diterapkan di seluruh negeri, tapi tidak sama ketat di semua tempat. Sebagian besar perempuan diharuskan pakai jubah hitam yang tutupi seluruh tubuh dan penutup kepala. Wajah tidak sepenuhnya harus ditutupi, tapi ada juga yang menuntut. Itu semua tidak hentikan polisi agama tegur perempuan karena katanya pakai baju salah atau gunakan banyak kosmetik.
Foto: Atta Kenare/AFP/Getty Images
Berinteraksi dengan Pria
Perempuan ditutut batasi waktu yang dilewatkan bersama pria yang tidak punya hubungan darah. Sebagiana besar bangunan umum punya jalan masuk berbeda untuk pria dan perempuan, lapor Daily Telegraph. Di kendaraan umum, taman, pantai juga ada pemisahan antara pria dan perempuan. Jika "bercampur" tanpa ijin bisa sebabkan kedua pihak dituntut, tetapi perempuan biasanya hadapi hukuman lebih berat.
Foto: Fotolia/Minerva Studio
Berkompetisi Bebas dalam Dunia Olah Raga
Awal 2015 Arab Saudi mengajukan diri menjadi tuan rumah Olimpiade khusus untuk kaum pria. Pangeran Fahad bin Jalawi al-Saud, yang jadi konsultan bagi komite Olimpiade Arab Saudi mengatakan, masyarakat sulit menerima bahwa perempuan bisa berkompetisi dalam olah raga. Ketika Arab Saudi mengirim atlet perempuan ke London untuk pertama kali, ulama garis keras menyebut mereka sebagai "pelacur".
Foto: Fotolia/Kzenon
5 foto1 | 5
Pemerintah buta akan kerentanan buruh migran
Meskipun secara geografis, Qatar bertetangga dengan negara Arab Saudi, namun secara kultural dan sosiologis, kehidupan masyarakat di Qatar relatif lebih terbuka. Tidak ada pembatasan yang ketat mengenai cara berpakaian dan berkomunikasi. Tentu saja ini karena ekonomi Qatar sebagian besar digerakkan oleh warga ekspatriat (demikian mereka menyebut kaum pendatang berpenghasilan tinggi) dan kaum pekerja rumah tangga, walaupun peran pentingnya (dan situasi ketertindasannya) disembunyikan.
Menurut keterangan dari pihak KBRI di Doha, jumlah warga negara Indonesia yang berada di Qatar sekitar 45.000 orang, sebagian besar bekerja sebagai pekerja rumah tangga migran, jumlah yang lebih sedikit bekerja di sektor pertambangan dan jasa perdagangan. Melihat kondisi sosiologis masyarakat Qatar dan memperbandingkan dengan keberadaan pekerja migran dari negara lain, patut dipertanyakan adanya keterisolasian para pekerja rumah tangga migran asal Indonesia di Qatar. Keterisolasian para pekerja rumah tangga Indonesia di Qatar (dan negara-negara Timur Tengah lainnya) menyebabkan kita dan pemerintah Indonesia buta atas realitas kerentanan yang mereka hadapi.
Upah minimal dan libur kerja
Dalam beberapa kali kesempatan berdialog dengan pekerja migran asal Filipina dan mengkonfirmasi dengan diplomat Filipina yang ada di Qatar -- dikatakan oleh mereka bahwa salah satu syarat dan ketentuan mereka menempatkan pekerja rumah tangga migran di Qatar adalah penentuan upah minimal dan kewajiban libur satu hari dalam satu minggu. Dengan cara tersebut, pemerintah Filipina bisa memantau situasi dan kondisi buruh migran Filipina dan mampu melepaskan buruh migran Filipina dari keterisolasian.
Realitas ini harus menjadi pembelajaran bagi pemerintah Indonesia untuk benar-benar mengkonkritkan makna “negara hadir” dalam perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI), sebagaimana yang menjadi tagline dalam visi-misi Nawacita Presiden Joko Widodo. Mengakhiri keterisolasian buruh migran Indonesia di Qatar (dan juga kawasan lain di Timur Tengah) tidak hanya bermanfaat bagi buruh migran Indonesia yang bekerja di sana, tetapi juga meningkatkan kualitas (leverage) dan posisi tawar Indonesia dalam diplomasi politik kawasan Timur Tengah. Agak menggelikan jika baru-baru ini kita mengelu-elukan “keberhasilan” diplomasi Menlu Retno Marsudi untuk meredakan ketegangan politik Timur Tengah yang dipicu oleh konflik Arab Saudi dan Irak serta berbangga Indonesia bisa menggelar Special Summit OKI untuk isu Palestina awal Maret 2016 ini, tetapi tak mampu berbuat sesuatu untuk mengakhiri keterisolasian PRT migran Indonesia yang bekerja di Timur Tengah
Sudah saatnya keterisolasian buruh migran (utamanya PRT migran) Indonesia di Timur Tengah diakhiri, tidak dengan melarang mereka bekerja tetapi dengan memastikan negara hadir dengan perjanjian bilateral untuk memastikan mereka bekerja dengan upah yang layak, menikmati hari libur dan berkomunikasi dengan leluasa.
Penulis:
Wahyu Susilo, pendiri Migrant CARE, sekaligus bekerja sebagai analis kebijakan di lembaga tersebut. Tahun 2007, meraih Hero-Acting to End Modern Slavery Award dari Department of State USA.
Sebanyak lebih dari 6 juta tenaga kerja Indonesia saat ini bekerja di 146 negara di seluruh dunia. Tujuh di antaranya adalah negara yang paling banyak mempekerjakan buruh asal Indonesia.
Foto: Getty Images
#1. Malaysia
Dari tahun ke tahun Malaysia menjadi tujuan utama tenaga kerja asal Indonesia. Menurut data BNP2TKI, sejak tahun 2012 sudah lebih dari setengah juta buruh migran melamar kerja di negeri jiran itu. Tidak heran jika remitansi asal Malaysia juga termasuk yang paling tinggi. Selama tahun 2015, TKI di Malaysia mengirimkan uang sebesar dua miliar Dollar AS kepada keluarga di Indonesia.
Lebih dari 320.000 buruh Indonesia diterima kerja di Taiwan sejak tahun 2012. Lantaran Taiwan membatasi masa kerja buruh asing maksimal 3 tahun, kebanyakan TKI mendarat di sektor formal. Tahun lalu TKI Indonesia yang bekerja di Taiwan menghasilkan dana remitansi terbesar ketiga di dunia, yakni 821 juta Dollar AS.
Foto: picture-alliance/dpa/D. Chang
#3. Arab Saudi
Sejak 2011 Indonesia berlakukan moratorium pengiriman TKI ke Timur Tengah, terutama Arab Saudi. Namun larangan itu cuma berlaku buat sektor informal seperti pembantu rumah tangga. Sementara untuk sektor formal, Indonesia masih mengrimkan sekitar 150 ribu tenaga kerja ke Arab Saudi sejak tahun 2012. Dana yang mereka bawa pulang adalah yang tertinggi, yakni sekitar 2,5 miliar Dollar AS tahun 2015
Foto: picture-alliance/dpa/M. Irham
#4. Hong Kong
Sedikitnya 137 ribu TKI asal Indonesia diterima bekerja di Hongkong sejak 2012. Uang kiriman mereka pun termasuk yang paling besar, yakni sekitar 673,6 juta Dollar AS. Kendati bekerja di negara makmur dan modern, tidak sedikit TKI yang mengeluhkan buruknya kondisi kerja. Tahun 2014 silam ribuan TKW berunjuk rasa di Hong Kong setelah seorang buruh bernama Erwiana dianiaya oleh majikannya.
Foto: Getty Images/AFP/P. Lopez
#5. Singapura
Menurut BNP2TKI, sebagian besar buruh Indonesia di Singapura bekerja di sektor informal sebagai pembantu rumah tangga. Sejak 2012 sebanyak 130 ribu TKI telah ditempatkan di negeri pulau tersebut. Tahun 2015 saja tenaga kerja Indonesia di Singapura mengirimkan duit remitansi sebesar 275 juta Dollar AS ke tanah air.
Foto: Getty Images
#6. Uni Emirat Arab
Lebih dari 100 ribu tenaga kerja Indonesia ditempatkan di Uni Emirat Arab sejak tahun 2012. Dana remitansi yang mereka hasilkan pun tak sedikit, yakni 308 juta Dollar AS pada tahun 2015.
Foto: picture-alliance/dpa
#7. Qatar
Lantaran moratorium, pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Timur Tengah banyak menurun. Qatar yang tahun 2012 masih menerima lebih dari 20 ribu TKI, tahun 2015 jumlahnya cuma berkisar 2400 tenaga kerja. Sejak 2012 sedikitnya 46 ribu buruh Indonesia bekerja di negeri kecil di tepi Arab Saudi itu. Hampir 100 juta Dollar AS dibawa pulang oleh TKI Indonesia tahun 2015 silam.