Berbicara tentang gerakan kiri di Tanah Air, selalu merujuk pada tiga peristiwa, masing-masing Pemberontakan 1926, Madiun 1948 dan Peristiwa 1965. Tak ada ruang bagi garis kiri? Opini Aris Santoso.
Iklan
Pada pertengahan Mei lalu, Presiden Jokowi kembali menegaskan soal masih berlakunya Tap MPRS (tahun 1966), yang mengatur soal pelarangan PKI serta ajaran marxisme-leninisme. Masih dengan semangat yang sama, Jokowi saat itu sempat meluncurkan ujaran "gebuk” bagi organisasi yang sekiranya bertentangan dengan Pancasila.
Kata "gebuk” itu sendiri, ditujukan pada semua organisasi yang berpotensi melawan Pancasila, namun PKI disebut secara khusus oleh Jokowi. Ini bisa ditafsirkan sebagai sinyal, bahwa praktis tidak ada ruang lagi bagi PKI dan organisasi berorientasi kiri lainnya. Di negeri ini gerakan kiri ibarat kutukan, yang pelarangannya selalu diulang-ulang oleh penguasa mana pun.
Pemberontakan 1926
Berbicara tentang gerakan kiri di Tanah Air, selalu merujuk pada tiga peristiwa. Pemberontakan 1926, Madiun 1948 dan Peristiwa 1965. Paling rancu adalah persepsi publik tentang Pemberontakan 1926, yang posisinya acap kali disamakan dengan dua peristiwa sesudahnya, padahal Pemberontakan 1926 seharusnya dipandang dalam konteks perlawanan terhadap rezim kolonial. Ketidakpedulian publik atas konteks Pemberontakan 1926, menyiratkan satu hal, bahwa resistensi terhadap gerakan kiri tersebar di semua lini. Termasuk juga nalar publik, yang sudah tidak sanggup mencerna obyektivitas posisi Pemberontakan 1926
Perlawanan terhadap gerakan kiri di Indonesia (d/h Hindia Belanda) usianya sudah lebih dari seabad, bahkan lebih tua setahun dibanding Revolusi Bolshevik di Rusia (Oktober 1917), yang selama ini dianggap sebagai tonggak kemenangan gerakan komunisme Dunia. Tonggak perlawanan itu dimulai pada Kongres Nasional Central Sarekat Islam pertama di Bandung tahun 1916, ketika sebagian peserta mempersoalkan keberadaan Sneevliet dan Semaoen di lingkungan Sarekat Islam, mengingat dua figur tersebut memperkenalkan idelogi sosial-demokrasi (baca: marxisme) di Hindia-Belanda. Oleh generasi penerus Sarekat Islam, peristiwa di Bandung tersebut selalu diperingati setiap tahun sampai sekarang.
Demikian juga terkait Peristiwa Madiun 1948 dan Peristiwa 1965, ada fenomena unik yang mungkin luput dari pengamatan kita selama ini, bahwa "perlawanan” terhadap PKI juga dilakukan oleh unsur internal mereka sendiri. Dalam Madiun 1948 misalnya, salah satu komponen utama dari FDR (Front Demokrasi Rakyat) adalah laskar Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), namun sebenarnya tidak ada pernyataan resmi bahwa Pesindo harus bergabung dalam FDR, soal bergabung-tidaknya dikembalikan kepada pilihan anggota Pesindo secara pribadi.
G30SPKI: Dusta di Ujung Nyawa Pahlawan Revolusi
Adegan penyiksaan di film G30SPKI terhadap pahlawan revolusi bertentangan dengan otopsi yang diperintahkan Soeharto sendiri. Tapi demi kampanye anti komunis, bagian tersebut dihilangkan. Inilah hasil otopsi tim forensik
Foto: Davidelit
Kabar Burung di Halaman Muka
Adalah dua harian milik ABRI, Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha yang pertamakali melayangkan tudingan "penyiksaan barabarik" terhadap para jendral korban kudeta Partai Komunis Indonesia, termasuk bahwa mata korban "ditjungkil" dan "kemaluannya dipotong." Suharto sendiri dikutip membenarkan adanya "indikasi penyiksaan" di tubuh korban. Padahal hasil otopsi berkata lain.
Otopsi Dr. Kertopati
Selama delapan jam tim forensik yang dipimpin Dr. Roebiono Kertopati dan Dr. Sutomo Tjokronegoro bekerja hingga dini hari buat mengungkap penyebab kematian ketujuh jendral pahlawan revolusi. Hasil otopsi yang dilakukan atas perintah Suharto sendiri itu kemudian ditemukan lagi oleh sejahrawan Cornell University, Amerika Serikat, Ben Anderson.
Foto: Getty Images/Three Lions
Jendral Ahmad Yani
Jendral Ahmad Yani dikabarkan tewas di kediaman pribadinya setelah diberondong peluru oleh pasukan Tjakrabirawa pimpinan Lettu Doel Arief. Hasil otopsi hanya membenarkan separuh klaim tersebut. Tim forensik cuma menemukan delapan luka tembakan dari arah depan dan dua tembakan dari arah belakang. Yani diyakini meninggal dunia seketika sebelum jenazahnya diangkut oleh Tjakrabirawa.
Foto: Davidelit
Brigade Jendral D.I. Panjaitan
Hal serupa terjadi dengan Brigade Jendral Donald Isaac Panjaitan. Hasil pemeriksaan menyebut dia mendapat tiga tembakan di bagian kepala dan sebuah luka kecil di lengan. Tidak ada bukti penyiksaan pada tubuh seperti yang ditudingkan oleh mabes ABRI kala itu.
Foto: Davidelit
Mayor Jendral M.T. Haryono
Adapun laporan kematian Letnan Jendral Mas Tirtodarmo Haryono masih menimbulkan teka-teki karena tercatat tidak memiliki luka tembakan. Dokter hanya menemukan luka tusukan di bagian perut yang diduga disebabkan oleh bayonet. Luka serupa yang ditengarai tidak fatal juga ditemukan pada punggung dan pergelangan tangan korban yang diduga muncul ketika jenazah dilemparkan ke Lubang Buaya.
Foto: Davidelit
Mayor Jendral Siswondo Parman
S. Parman menderita lima luka tembakan, termasuk dua di kepala yang menyebabkan kematiannya. Tim forensik juga menemukan luka atau retakan pada tengkorak, rahang dan bagian bawah kaki kiri yang disebabkan oleh trauma. Tidak ada yang bisa memastikan penyebab trauma tersebut. Ben Anderson menulis pukulan popor senjata atau benturan pada lantai dan dinding sumur bisa menjadi penyebabnya.
Foto: Davidelit
Letnan Jendral Soeprapto
Letjen Soeprapto meninggal dunia akibat sebelas luka tembakan di berbagai bagian tubuh. Serupa S. Parman, dia juga menderita keretakan tulang di bagian tengkorak dan tiga luka sayatan yang diduga disebabkan oleh bayonet. Keretakan pada tulang korban diyakini sebagai akibat benturan dengan benda tumpul seperti popor senapan atau batu.
Foto: Davidelit
Brigade Jendral Sutoyo Siswomiharjo
Brigjend Sutoyo adalah sosok yang paling ramai dikaitkan sebagai korban penyiksaan PKI. Di dalam film G30SPKI anggota Gerwani ditampilkan menyungkil salah satu matanya. Namun hasil otopsi berkata lain. Sutoyo menderita tiga luka tembakan, termasuk satu luka fatal di kepala, dan trauma di bagian lengan kanan.
Foto: Davidelit
Kapten Czi. Pierre Tandean
Serupa yang lain, Pierre Tandean meninggal dunia akibat empat tembakan oleh pasukan Tjakrabirawa. Dia juga menderita luka dalam di bagian kening dan lengan kiri, serta "tiga luka terbuka akibat trauma di kepala." Tidak seorangpun dari tim dokter forensik bisa memastikan indikasi penyiksaan seperti yang ditudingkan Suharto kala itu.
Foto: Davidelit
9 foto1 | 9
Keberadaan laskar Pesindo memang perlu diberi catatan khusus, mengingat posisi khas Pesindo sebagai satuan bersenjata (combatan). Meskipun bukan tentara reguler, persenjataan satuan ini setara, bahkan melebihi satuan reguler. Kekuatan Pesindo dianggap berpotensi sebagai pesaing bagi satuan tentara regular, oleh sebab itu ketika operasi pembersihan dilakukan satuan dari Divisi Siliwangi (dikenal sangat setia pada pemerintah, khususnya figur Hatta), laskar Pesindo menjadi prioritas untuk dilumpuhkan segera.
Fenomena Pesindo dalam Peristiwa Madiun berulang kembali pada dekade 1960-an, dalam hal ini bagaimana pola hubungan antara PKI dan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Banyak orang tidak tahu, bahwa antara Lekra dan PKI tidak ada hubungan formal, dengan kata lain Lekra tidak masuk dalam struktur organisasi PKI.
Bila ada sebagian anggota Lekra, yang kemudian dekat atau masuk dalam lingkaran elite PKI, itu sifatnya personal. Informasi soal bagaimana sebenarnya hubungan antara Lekra dan PKI, saya dengar langsung dari mantan Sekretaris Umum Lekra Jubar Ayub (meninggal 1996), beberapa saat sebelum beliau meninggal. Singkatnya, yang "meresmikan” Lekra sebagai bagian dari PKI secara organisatoris adalah Orde Baru, berdasarkan tafsir Orde Baru sendiri.
Dihubungkan dengan situasi kekinian, ketika emosi massa tetap membuncah, adakah yang masih bersedia sabar sedikit, untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi pada Pesindo dan Lekra di masa lalu. Bahwa masalahnya tidak sesederhana yang selama ini kita lihat. Namun nalar publik sudah terlanjur tertutup, sebab akses informasi juga sudah tertutup rapat, tidak ada ruang sekadar klarifikasi soal beragamnya fakta terkait Madiun 1948 dan Peristiwa 1965.
Bapak Komunis Marx dan Engels Dalam Peringatan
Pemikiran mereka mengubah dunia. Namun seperti di negara lain, di Jerman, dua "bapak komunisme", Karl Marx dan Friedrich Engels bukan tanpa kontroversi. Meski demikian plakat peringatannya tersebar di berbagai kota.
Foto: AP
Hadiah dari Cina
Di Trier, Jerman tengah jadi perdebatan, apakah perlu mendirikan patung Karl Marx untuk menandai ulang tahun ke-200 putra terkenal dari kota itu. Cina telah menawarkan patung ini sebagai hadiah. Tapi dengan patung setinggi 6,3 meter ini, beberapa warga cemas jika kotanya semakin disesaki wisatawan, terutama dari Cina. Patung "Mega-Marx" dari kayu ini saja sudah gambarkan efek yang dicemaskan itu
Foto: picture-alliance/dpa/H. Tittel
Seberapa besar relevansi Marx kini?
Pada tahun 2013, Kota Trier merayakan ulang tahun Marx yang ke-130. Pada kesempatan itu,seniman Jerman Ottmar Hörl menyuguhkan 500 figur Marx terbuat dari plastik yang dipajang di depan gerbang Porta Nigra. Instalasi Hörl ini memberikan dorongan untuk kembali digelarnya diskusi aktual mengenai Karl Marx dan pemikirannya.
Foto: Hannelore Foerster/Getty Images
Friedrich Engels dalam pose seorang pemikir
Dengan tinggi sekitar empat meter, patung perunggu ‘dedengkot‘ komunisme lainnya, Friedrich Engels, tampak sedikit lebih kecil dari patung Marx yang bakal dipajang di Trier. Tahun 2014, patung Engels diresmikan di tempat kelahirannya di Wuppertal, Jerman. Selain membuat patung raksasa Marx, Cina juga ingin membuat patung Engels dan menghadiahkannya pula ke Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa/H. Kaiser
Saudara dalam jiwa
Monumen Marx-Engels di Berlin. Keduanya menulis buku setebal 30 halaman dengan judul “Manifesto Komunis" yang diterbitkan pertama kali tahun 1848. Tahun 1986, pemerintah Jerman Timur mengizinkan pendirian monumen "bapak komunisme" tersebut. Setelah itu , pada tahun 2010 karena adanya pembangunan, monumen ini tak lagi memandang ke arah timur seperti sebelumnya, melainkan ke barat.
Foto: AP
Batu yang dipahat
Sebuah monumen Marx raksasa berdiri di Chemnitz - kota yang hingga tahun 1990 menyandang namanya. Pada tahun 1971 patung ini diresmikan dengan ketinggian 13 meter dan menjadi patung terbesar kedua di dunia. Di dinding belakang monumen ini tertulis seruan kata-kata Marx dari buku "Manifesto Komunis" dalam bahasa Jerman, Inggris, Perancis dan Rusia: "Kaum buruh di seluruh dunia, bersatulah!"
Foto: picture alliance/Arco Images/Schoening
Marx atau Bismarck?
Dahulu kala, di Fürstenwald, Brandenburg terdapat monumen peringatan Kanselir Otto von Bismarck. Namun sejak tahun 1945, patung pemimpin Prusia itu digantikan oleh Karl Marx. Setelah tanda peringatan itu dicuri, dewan kota mempertimbangkan, apakah akan membuat tanda peringatan Bismarck atau Marx lagi. Pilihan jatuh pada Marx, yang monumennya dapat dilihat sejak tahun 2003.
Foto: picture-alliance/ZB/P. Pleul
Relief potensi konflik
Lebih dari 30 tahun terpampang seni pahat relief perunggu yang menunjukkan wajah Karl Marx di bangunan utama Universitas Leipzig --yang menyandang namanya selama era Jerman Timur. Sejak renovasi tahun 2006, relief itu dibongkar lalu terjadi perdebatan, apakah kemudian relief ini harus dibuka lagi untuk publik. Sejak 2008 relief yang dilengkapi dengan teks penjelasan itu ada di kampus Jahnallee
Foto: picture-alliance/dpa/P. Endig
7 foto1 | 7
Aksi massa ritualistik
Bila publik sedikit mau bersabar belajar sejarah, kegaduhan yang rutin terjadi setiap akhir September menjadi tidak perlu, seperti aksi massa baru-baru ini di halaman depan kantor YLBHI di Menteng, Jakarta Pusat. Logikanya begini, penolakan Lekra untuk selalu dikaitkan dengan PKI, seharusnya membuat kelompok vigilante menjadi sedikit lebih tenang. Energi mereka yang terbuang percuma dalam aksi massa ritualistik tahunan, bisa dialihkan pada kegiatan lain yang lebih bermanfaat bagi orang banyak.
Ini memang tipikal politik Indonesia kontemporer, yaitu kuatnya motif saling menunggangi atau memancing di air keruh. Hal itu bisa berjalan, karena ada pihak yang sengaja mengambil untung dari aksi-aksi berkala seperti itu. Bagi pihak yang ingin mengambil keuntungan, dana bukan lagi masalah, selalu ada pos untuk itu. Bagi mereka isu apa pun akan dibikin gaduh, terlebih isu komunis, yang bisa mudah sekali menyulut histeria massa.
Sudah menjadi pengetahuan umum, kalau sebagian besar partisipan kelompok vigilante merupakan kaum pengangguran tidak kentara, yang sesekali membutuhkan asupan "gizi”. Asupan gizi hanya akan datang bila ada kontroversi politik, semisal mengangkat isu komunis atau isu primordial. Ini sebuah realitas pahit bagi publik sebenarnya, ketika para elitenya gemar menggoreng isu di atas lingkaran setan problem kesejahteraan dan minimnya wawasan rakyat jelata.
Suara Bisu Perempuan Korban Tragedi 65
Jutaan penduduk menua dengan trauma 65 di pundaknya. Sebagian pernah disiksa dan kehilangan anggota keluarga. Hingga kini mereka menderita dalam diam. Tanpa suara. Tanpa keadilan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Uang saya hanya cukup untuk menyambung nyawa"
Sumilah berusia 14 tahun ketika ia ditangkap tahun 1965. Tuduhannya: Dia adalah anggota dari gerakan perempuan "Gerwani". Aparat menghajarnya sampai pingsan. Mereka kemudian menyekap Sumilah di kamp Plantungan. Di sana baru diketahui bahwa ia korban salah tangkap. Di masa tua, Sumilah hidup di Yogyakarta dengan uang pas-pasan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mereka memukuli ayahku hingga hampir mati"
Ayah Kina diduga merupakan simpatisan Komunis. Ia ditangkap dan tak boleh bekerja. "Itu sebabnya saya mengambil peran sebagai pengganti ayah," kata dia. Kina berpakaian seperti anak laki-laki, bekerja di ladang an mengumpulkan kayu bakar. Masyarakat mengecapnya sebagai "anak komunis". Oleh karena itu, ia dan saudara-saudaranya kehilangan hak atas tanah ayah mereka .
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Masih tersimpan luka di hati saya"
Suami Lasinem ditangkap tahun 1969, disiksa & dikirim ke Pulau Buru. "Suamiku diangkut oleh kawannya sendiri, yang merupakan tentara. Dia dipukuli, punggungnya diinjak-injak sampai luka di sekujur tubuh," papar Lasinem. Perempuan ini ditinggalkan sendirian dengan anak-anaknya. Tahun 1972, mereka menyusul sang kepala keluarga ke Buru. Trauma ketakutan melekat di diri Lasinem hingga saat ini.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Meski dipukuli bertubi-tubipun saya tidak menangis"
Sri adalah seniman dan penyanyi yang tergabung dalam organisasi yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1965 ia ditangkap, disiksa, dan dipenjara. "Depan kamar tidur kami penuh tahi," kenangnya. "Kotoran itu baunya tak tertahankan." Ketika dia dibebaskan pada tahun 1970, rumahnya sudah dirampas keluarga lain. Sri menjadi tunawisma. Di masa tua, ia tinggal bersama keponakannya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Aku harus meninggalkan bayi perempuanku"
Berkali-kali Yohana ditangkap, ditahan, diinterogasi. Ketika ditangkap ke-2 kalinya, ia baru saja melahirkan. Ia dipisahkan dari bayinya masih menyusu. Dua tahun kemudian baru ia bertemu anak perempuannya lagi. "Pengalaman kekerasan itu menghantuiku terus," paparnya. Namun, sepanjang hayatnya, ia tak pernah menceritakan apa yang menimpanya saat itu, bahkan pada keluarganya sekalipun.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mungkin takkan pernah lupa"
Ketika Juriah beumur 7 tahun, ayah diasingkan ke Pulau Buru tahun 1966. Saat menginjak usia 18 tahun, Juriah dipaksa ikut pernikahan massal. Dia harus berjanji tidak pernah meninggalkan Buru. Meskipun penuh penderitaan, ia tetap di sana: "Jika kita datang ke tempat-tempat tertentu, kita akan berbicara tentang masa lalu dan terasa seolah-olah kita tertusuk pisau."
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Orang-orang belum tahu kebenarannya"
"Begitu banyak hilang pada tahun 1965, tanpa pengadilan atau bukti-bukti keterlibatan dengan kasus 65," kata Migelina. Seluruh keluarganya dipenjara pada tahun 1965 - ia kehilangan orang tuanya dan kakaknya. Meski tragedi sudah berlalu berakhir, tetapi ia tetap mendoakan. Migelina percaya bahwa Tuhan memberinya kehidupan lebih panjang, untuk bisa mengetahui apa yang terjadi dengan keluarganya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
7 foto1 | 7
Keadilan-sosial
Ketiaadaan ruang bagi gerakan kiri merupakan momentum bagi rezim Jokowi, melalui UKP-PIP (Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila) dalam ikhtiar pembumian nilai-nilai Pancasila, khususnya sila keadilan-sosial. Keberhasilan dalam implementasi sila keadilan-sosial, adalah cara efektif Jokowi untuk membungkam pihak yang selama ini menjadi sponsor aksi massa kelompok vigilante tersebut, yang dengan cara kurang etis, memanfaatkan kegelisahan rakyat miskin kota.
Tidak terlalu sulit untuk membaca agenda di balik aksi berkala tahunan tersebut. Ini semua adalah bagian dari proyek ambisi kekuasaan pihak sponsor (besar). Dalam bayangan mereka, Jokowi hanya mungkin dijatuhkan dengan aksi massa ekstra parlementer skala besar, bila melalui prosedur demokrasi biasa (seperti pilpres), ambisi kekuasaan akan sulit terwujud.
Sila keadilan-sosial juga memberi ruang bagi kaum muda yang dari generasi ke generasi, selalu ada yang terpanggil untuk membela rakyat kecil. Gerakan mahasiswa era 1980-an dan seterusnya, seperti pembelaan terhadap korban pembangunan waduk Kedungombo (Jateng) atau konflik tanah Badega (Jabar), merupakan perwujudan komitmen gerakan mahasiswa atas rakyat yang tertindas.
Di masa Orde Baru, pembelaan terhadap rakyat tertindas sering diberi stigma sebagai gerakan kiri. Melalui sila keadilan-sosial, keberpihakan kaum muda terhadap rakyat, serta menjamur gerakan filantropi oleh lembaga besar maupun individu, memperoleh dasar yang legal, tanpa kekhawatiran munculnya kembali fobia kiri seperti masa lalu.
Penulis:
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
Revolusi Merah Mao Zedong
50 tahun silam Mao Zedong menggulirkan Revolusi Kebudayaan buat membersihkan Cina dari elemen "borjuis." Hasilnya puluhan juta manusia tewas dalam waktu 10 tahun. Kampanye itu menyeret Cina kembali ke masa revolusi
Foto: picture-alliance/dpa/Bildfunk
Perang Mao Melawan Anasir Borjuis
Lima puluh tahun silam Ketua Umum Partai Komunis Cina, Mao Zedong, menggalang revolusi budaya buat menumpas elemen "borjuis" di dalam partai. Hasilnya 1,8 juta manusia tewas dalam waktu 10 tahun. Sementara 36 juta penduduk menjadi korban presekusi hingga kematian sang pemimpin besar tahun 1976.
Foto: picture-alliance/dpa/DB AFP
Perang Ideologi dua Pemimpin
Adalah Liu Shaoqi yang menjadi rival ideologi Mao saat itu. Liu yang merupakan orang kedua terkuat di PKC menilai perjuangan kelas telah berakhir. Ia mengimpikan Cina yang bersatu dan kuat secara ekonomi, serupa seperti wajah Cina saat ini. Mao sebaliknya menginginkan Cina yang selamanya revolusioner dan mendeklarasikan birokrat PKC sebagai musuh negara.
Foto: Imago/Xinhua
Mengungsi Lalu Menyerang
Ketika usulan Mao untuk kembali menghidupkan perjuangan kelas ditolak oleh elit PKC yang digalang Liu dan Deng Xiaoping, ia hijrah ke Shanghai buat melanjutkan perjuangannya. Dengan bantuan militer, Mao menguasai berbagai media massa buat melucuti musuh politiknya di Beijing. Pada April 1965, sebanyak 33.000 serdadu menggeruduk ibukota dan mengambil alih kekuasaan.
Foto: picture-alliance/dpa/Bildfunk/UPI
Maoisasi PKC
Setelah menyingkirkan musuh politiknya dari Politbiro, Mao menempatkan orang kepercayaannya di jabatan terpenting PKC dan menggeser Liu Shaoqi dengan Menteri Pertahanan Lin Bao (ki.). Sang pemimpin besar kerap menggunakan media untuk menyerang Liu dan Deng, serta elit PKC lain yang dia tuding "borjuis."
Foto: Getty Images/Hulton Archive/Keystone
Fase Pertama Revolusi
Bersamaan dengan dominasi Mao di PKC, maka dimulailah fase pertama revolusi kebudayaan. Sebanyak 55 universitas dan lembaga pendidikan didera kerusuhan. Ribuan mahasiswa pro Mao menyerang dosen yang dicap revisionis dan kontra revolusi. Sebagai akibatnya kegiatan belajar mengajar di hampir seluruh penjuru negeri dihentikan.
Foto: picture-alliance/CPA Media
Teror Merah
Kelompok radikal pelajar dan mahasiswa berkumpul dan membentuk pasukan "Garda Merah." Mereka bertugas menghancurkan peninggalan masa lalu, seperti patung, tugu atau naskah kuno serta menyebarkan "teror merah" ke seluruh negeri. Gerilyawan Garda Merah berpatroli di jalan-jalan kota dan mengganti nama jalan sesukanya. Mereka juga menjarah rumah orang kaya dan bahkan gudang senjata milik tentara
Foto: picture-alliance/dpa/Bildfunk
Cerai Berai
Hingga 1967 garda merah berhasil menjatuhkan pemerintahan regional di berbagai daerah. Loyalis Mao bahkan mendesak agar Garda Merah menggantikan Tentara Pembebasan Rakyat. Namun lambat laun kelompok paramiliter itu semakin sering terlibat keributan diantara faksi yang saling curiga.
Foto: picture-alliance/dpa/Bildfunk/UPI
Pendidikan Paksa
Pada Oktober 1967 Mao akhirnya memerintahkan mahasiswa untuk meletakkan senjata dan kembali ke kampus. Militer bahkan harus melucuti paksa sebagian mahasiswa yang enggan menuruti himbauan Mao. Karena banyak mahasiswa yang menolak kembali belajar, Mao memindahkan paksa 16.5 juta pelajar ke desa-desa "untuk belajar dari para petani."
Foto: Getty Images/AFP/J. Vincent
10 Tahun Penuh Bencana
Pemerintah di Beijing hingga kini memberangus semua upaya untuk membahas bagian kelam sejarah Cina tersebut. Tapi dalam sebuah surat pernyataan yang diterbitkan tahun 1981, Partai Komunis Cina menyebut revolusi kebudayaan sebagai "10 tahun penuh bencana." Ironisnya kini Cina menjadi model negara yang justru ingin diperangi Mao, modern dengan ekonomi kuat dan dikuasai kaum elit partai.