1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ketiadaan Ruang Bagi Gerakan Kiri

25 September 2017

Berbicara tentang gerakan kiri di Tanah Air, selalu merujuk pada tiga peristiwa, masing-masing Pemberontakan 1926, Madiun 1948 dan Peristiwa 1965. Tak ada ruang bagi garis kiri? Opini Aris Santoso.

Indonesien Unruhen in Jakarta
Foto: picture-alliance/ZUMAPRESS.com/D. Husni

Pada pertengahan Mei lalu, Presiden Jokowi kembali menegaskan soal masih berlakunya Tap MPRS (tahun 1966), yang mengatur soal pelarangan PKI serta ajaran marxisme-leninisme. Masih dengan semangat yang sama, Jokowi saat itu sempat meluncurkan ujaran "gebuk” bagi organisasi yang sekiranya bertentangan dengan Pancasila.

Kata "gebuk” itu sendiri, ditujukan pada semua organisasi yang berpotensi melawan Pancasila, namun PKI disebut secara khusus oleh Jokowi. Ini bisa ditafsirkan sebagai sinyal, bahwa praktis tidak ada ruang lagi bagi PKI dan organisasi berorientasi kiri lainnya. Di negeri ini gerakan kiri ibarat kutukan, yang pelarangannya selalu diulang-ulang oleh penguasa mana pun.

Penulis: Aris Santoso Foto: privat

Pemberontakan 1926

Berbicara tentang gerakan kiri di Tanah Air, selalu merujuk pada tiga peristiwa. Pemberontakan 1926, Madiun 1948 dan Peristiwa 1965. Paling rancu adalah persepsi publik tentang Pemberontakan 1926, yang posisinya acap kali disamakan dengan dua peristiwa sesudahnya, padahal Pemberontakan 1926 seharusnya dipandang dalam konteks perlawanan terhadap rezim kolonial. Ketidakpedulian publik atas konteks Pemberontakan 1926, menyiratkan satu hal, bahwa resistensi terhadap gerakan kiri tersebar di semua lini. Termasuk juga nalar publik, yang sudah tidak sanggup mencerna obyektivitas posisi Pemberontakan 1926

Perlawanan terhadap gerakan kiri di Indonesia (d/h Hindia Belanda) usianya sudah lebih dari seabad, bahkan lebih tua setahun dibanding Revolusi Bolshevik di Rusia (Oktober 1917), yang selama ini dianggap sebagai tonggak kemenangan gerakan komunisme Dunia. Tonggak perlawanan itu dimulai pada Kongres Nasional Central Sarekat Islam pertama di Bandung tahun 1916, ketika sebagian peserta mempersoalkan keberadaan Sneevliet dan Semaoen di lingkungan Sarekat Islam, mengingat dua figur tersebut memperkenalkan idelogi sosial-demokrasi (baca: marxisme) di Hindia-Belanda. Oleh generasi penerus Sarekat Islam, peristiwa di Bandung tersebut selalu diperingati setiap tahun sampai sekarang.

Demikian juga terkait Peristiwa Madiun 1948 dan Peristiwa 1965, ada fenomena unik yang mungkin luput dari pengamatan kita selama ini, bahwa "perlawanan” terhadap PKI juga  dilakukan oleh unsur internal mereka sendiri. Dalam Madiun 1948 misalnya, salah satu komponen utama dari FDR (Front Demokrasi Rakyat) adalah laskar Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), namun sebenarnya tidak ada pernyataan resmi bahwa Pesindo harus bergabung dalam FDR, soal bergabung-tidaknya dikembalikan kepada pilihan anggota Pesindo secara pribadi.

Keberadaan laskar Pesindo memang perlu diberi catatan khusus, mengingat posisi khas Pesindo sebagai satuan bersenjata (combatan). Meskipun bukan tentara reguler, persenjataan satuan ini setara, bahkan melebihi satuan reguler. Kekuatan Pesindo dianggap berpotensi sebagai pesaing bagi satuan tentara regular, oleh sebab itu ketika operasi pembersihan dilakukan satuan dari Divisi Siliwangi (dikenal sangat setia pada pemerintah, khususnya figur Hatta), laskar Pesindo menjadi prioritas untuk dilumpuhkan segera.

Fenomena Pesindo dalam Peristiwa Madiun berulang kembali pada dekade 1960-an, dalam hal ini bagaimana pola hubungan antara PKI dan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Banyak orang tidak tahu, bahwa antara Lekra dan PKI tidak ada hubungan formal, dengan kata lain Lekra tidak masuk dalam struktur organisasi PKI.

Bila ada sebagian anggota Lekra, yang kemudian dekat atau masuk dalam lingkaran elite PKI, itu sifatnya personal. Informasi soal bagaimana sebenarnya hubungan antara Lekra dan PKI, saya dengar langsung dari mantan Sekretaris Umum Lekra Jubar Ayub (meninggal 1996), beberapa saat sebelum beliau meninggal. Singkatnya, yang "meresmikan” Lekra sebagai bagian dari PKI secara organisatoris adalah Orde Baru, berdasarkan tafsir Orde Baru sendiri.

Dihubungkan dengan situasi kekinian, ketika emosi massa tetap membuncah, adakah yang masih bersedia sabar sedikit, untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi pada Pesindo dan Lekra di masa lalu. Bahwa masalahnya tidak sesederhana yang selama ini kita lihat. Namun nalar publik sudah terlanjur tertutup, sebab akses informasi juga sudah tertutup rapat, tidak ada ruang sekadar klarifikasi soal beragamnya fakta terkait Madiun 1948 dan Peristiwa 1965.

Aksi massa ritualistik

Bila publik sedikit mau bersabar belajar sejarah, kegaduhan yang rutin terjadi setiap akhir September menjadi  tidak perlu, seperti aksi massa baru-baru ini di halaman depan kantor YLBHI di Menteng, Jakarta Pusat. Logikanya begini, penolakan Lekra untuk selalu dikaitkan dengan PKI, seharusnya membuat kelompok vigilante menjadi sedikit lebih tenang. Energi mereka yang terbuang percuma dalam aksi massa ritualistik tahunan, bisa dialihkan pada kegiatan lain yang lebih bermanfaat bagi orang banyak.

Ini memang tipikal politik Indonesia kontemporer, yaitu kuatnya motif saling menunggangi atau memancing di air keruh. Hal itu bisa berjalan, karena ada pihak yang sengaja mengambil untung dari aksi-aksi berkala seperti itu. Bagi pihak yang ingin mengambil keuntungan, dana bukan lagi masalah, selalu ada pos untuk itu. Bagi mereka isu apa pun akan dibikin gaduh, terlebih isu komunis, yang bisa mudah sekali menyulut histeria massa.

Sudah menjadi pengetahuan umum, kalau sebagian besar partisipan kelompok vigilante merupakan kaum pengangguran tidak kentara, yang sesekali membutuhkan asupan "gizi”. Asupan gizi hanya akan datang bila ada kontroversi politik, semisal mengangkat isu komunis atau isu primordial. Ini sebuah realitas pahit bagi publik sebenarnya, ketika para elitenya gemar menggoreng isu di atas lingkaran setan problem kesejahteraan dan minimnya wawasan rakyat jelata.

Keadilan-sosial

Ketiaadaan ruang bagi gerakan kiri merupakan momentum bagi rezim Jokowi, melalui UKP-PIP (Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila) dalam ikhtiar pembumian nilai-nilai Pancasila, khususnya sila keadilan-sosial. Keberhasilan dalam implementasi sila keadilan-sosial, adalah cara efektif Jokowi untuk membungkam pihak yang selama ini menjadi sponsor aksi massa kelompok vigilante tersebut, yang dengan cara kurang etis, memanfaatkan kegelisahan rakyat miskin kota.

Tidak terlalu sulit untuk membaca agenda di balik aksi berkala tahunan tersebut. Ini semua adalah bagian dari proyek ambisi kekuasaan pihak sponsor (besar). Dalam bayangan mereka, Jokowi hanya mungkin dijatuhkan dengan aksi massa ekstra parlementer skala besar, bila melalui prosedur demokrasi biasa (seperti pilpres), ambisi kekuasaan akan sulit terwujud.

Sila keadilan-sosial juga memberi ruang bagi kaum muda yang dari generasi ke generasi, selalu ada yang terpanggil untuk membela rakyat kecil. Gerakan mahasiswa era 1980-an dan seterusnya, seperti pembelaan terhadap korban pembangunan waduk Kedungombo (Jateng) atau konflik tanah Badega (Jabar), merupakan perwujudan komitmen gerakan mahasiswa atas rakyat yang tertindas.

Di masa Orde Baru, pembelaan terhadap rakyat tertindas sering diberi stigma sebagai gerakan kiri. Melalui sila keadilan-sosial, keberpihakan kaum muda terhadap rakyat, serta menjamur gerakan filantropi oleh lembaga besar maupun individu, memperoleh dasar yang legal, tanpa kekhawatiran munculnya kembali fobia kiri seperti masa lalu.

Penulis:

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis