1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Ketika Adzan Meminta Umat Menjauhi Masjid 

Lewis Sanders IV
30 Maret 2020

Wabah Corona memaksa komunitas agama mengurung diri. Namun penutupan rumah ibadah diratapi oleh mereka yang membutuhkan layanan spiritual. Hal ini penting buat menanggulangi dampak psikologis karantina massal

Seorang petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah di Surabaya membersihkan ruang masjid
Seorang petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah di Surabaya membersihkan ruang masjidFoto: Reuters/Antara Foto/Zabur Karuru

Panggilan adzan Jumat dari Masjid Agung di Kuwait City terdengar berbeda dari biasanya. Hari-hari ini, lafal Hayya ala Al Salah yang memanggil umat buat salat berjamaah, diganti dengan kalimat “Al salatu fi Buyutikum,“ meminta jemaah menunaikan ibadah di rumah masing-masing. 

Adzan biasanya dikumandangkan untuk memanggil orang agar ke masjid. Kini panggilan itu diubah untuk mengingatkan jemaah agar tidak mendekati rumah ibadah. Kuwait sendiri sudah membatalkan semua praktik salat berjamaah untuk mencegah eskalasi wabah corona

Pandemi COVID-19 memaksa komunitas keagamaan untuk bertindak menyesuaikan diri. Ulama Syiah Irak, Ayatollah Ali al-Sistani misalnya memfatwakan bahwa “menaati arahan kesehatan” sebagai sebuah kewajiban beragama. Direktur Jendral Kantor urusan Agama Turki, Ali Erbas, mengkampanyekan panduan kesehatan dengan hadis-hadis Nabi Muhammad. 

“Muslim tidak berbeda dengan manusia lain,” kata Rose Aslan, Asisten Profesor untuk Studi Islam di Lutheran University di California, AS. “Kebanyakan muslim juga berdiam diri di rumah seperti orang lain juga.” 

Namun membatasi layanan keagamaan tidak ikut meredam dahaga spiritual umat beragama. Tidak sedikit yang meratapi penutupan rumah ibadah. Sebagian kecil bahkan memaksakan datang ke rumah ibadah meski dilarang otoritas setempat. 

Misa Jarak Jauh 

Di Jerman, kaum lansia yang rajin menyambangi gereja adalah kelompok yang paling membutuhkan layanan pastoral dan sekaligus paling dirugikan oleh penutupan rumah ibadah. Sebab itu kini gereja-gereja di seantero negeri mulai menawarkan layanan jarak jauh.  

“Rutinitas dan kehidupan gereja sedang ditangguhkan,“ kata Christoph Wichmann, seorang pastor di Oberhausen. Tanpa misa atau acara keagamaan, dia kini menghabiskan hari-harinya dengan menjawab telepon dari anggota jemaat, “atau menjawab 25 sampai 30 email sehari.“ 

Dia biasanya memimpin misa selama dua kali sepekan di Gereja St. Pankratius. Lebih dari separuh anggota jemaatnya merupakan kaum lansia. Di tengah ancaman corona, Wichmann menyadari dia mungkin tidak akan bertemu lagi dengan sebagian pengikutnya. 

Maka dari itu dia rajin menyambar gagang telepon buat menghubungi mereka. Wichmann tidak hanya mendengarkan keluh kesah, tetapi juga berusaha menenangkan dan berdoa bersama. 

Kisahnya itu menggema di berbagai komunitas keagamaan di Jerman. Mereka kini mendadak aktif berkirim kabar dan doa via newsletter, atau bahkan kartu pos. Kaum muda gereja juga dikerahkan membantu kaum lansia berbelanja atau hanya untuk sekedar menemani mereka berbicara. 

“Banyak anggota Paroki yang meminta layanan pribadi juga,“ kata Wichmann. Meski bertabur layanan online, “mereka tetap ingin menghadiri misa di gereja sendiri, mendengar loncengnya dan mendengar khotbah dari pastor yang mereka kenal,“ ujarnya. “Ini sangat penting.“ 

Maka misa online menjadi satu-satunya cara mempertahankan layanan keagamaan tanpa menempatkan anggota jemaat dalam risiko tertular virus. 

Sumber Historis sebagai Panduan Teologi 

Hal senada dialami umat muslim di berbagai negara. Buat banyak orang, penutupan masjid menjadi cobaan terbesar karantina massal. Namun menurut Rose Aslan, Asisten Profesor untuk Studi Islam di Lutheran University di California, AS, ada banyak sumber historis di khazanah Keislaman yang bisa digunakan buat membenarkan penutupan rumah ibadah. 

“Karena kita berada dalam kondisi yang kritis, ada banyak ulama Islam yang mengeluarkan fatwa tentang apa yang seharusnya umat lakukan di tengah wabah di masa silam,“ kata dia. “Para ulama masa kini merujuk kepada mereka untuk mempelajari bagaimana para cendikia menghadapi situasi serupa pada masanya dan menggabungkannya dengan pengetahuan medis modern.” 

Tantangan terbesar diyakini sudah di depan pintu, yakni bulan Ramadan yang akan dimulai akhir April mendatang. Hingga kini belum jelas bagaimana tradisi kolektif seperti salat Taraweh atau berbuka bersama bisa dipertahankan di tengah wabah corona

“Ini sangat penting bagi muslim, untuk makan bersama dan berbuka puasa bersama, atau beribadah bersama-sama orang lain dalam kekhusyukan,” kata Aslan. 

“Jadi akan sangat ganjil untuk berbuka bersama secara virtual. Sebagian orang beruntung dikarantina di dalam keluarga besar, sementara ada yang sendirian. Tapi semuanya memang berbeda saat ini.“ 

rzn/vlz 

  

  

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait