Persoalan demi persoalan HAM di tanah air seolah tak penah selesai. Zaky Yamani mempertanyakan mengapa calon presiden dan legislatif absen atas persoalan HAM.
Iklan
Foto: Gunretno/Dewi Chandraningrum
Saat saya duduk di sebuah kedai kopi untuk menulis artikel ini, pemilik kedai itu berkisah tentang petani kopi. Kata dia, ada seorang aktivis warga yang mencoba membuat saluran penjualan biji kopi langsung dari petani kepada konsumen di sebuah daerah di Sumatera. Tujuan aktivis itu hanya satu, agar petani kopi bisa mendapatkan keuntungan yang adil dan tidak bergantung pada tengkulak. Di akhir kisah, si aktivis itu harus mengungsi ke Jawa karena rumahnya dibakar orang-orang tak dikenal, yang diduga adalah suruhan para kartel kopi.
Kisah semacam itu bukan hanya terjadi satu-dua kali saja di Indonesia. Beberapa kawan bahkan mencurigai ada praktik tanam paksa atas komoditas perkebunan terhadap ribuan warga di berbagai daerah di Indonesia.
Kejadiannya persis seperti zaman tanam paksa di era kolonial: warga diminta menanam tanaman tertentu, panennya hanya bisa dijual ke pihak yang meminta dengan harga yang ditetapkan si peminta, kalau menolak petani dan keluarganya diintimidasi.
Penulis: Zaky YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih
Dalam pemberitaan yang mencuat di media massa, kabar-kabar orang tertindas juga tidak pernah sepi. Lihat kasus Heri Budiawan alias Budi Pego, aktivis lingkungan yang menolak tambang emas di Pegunungan Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur, ditangkap dan dituntut di pengadilan dengan tuduhan menyebarkan komunisme, walau dalam persidangan tidak ada bukti untuk tudingan itu.
Saya juga teringat pada percakapan dengan warga sebuah desa di Aceh yang tanah leluhurnya direbut perkebunan sawit. Salah seorang dari mereka bercerita kepada saya, suatu malam terdengar keramaian di sekitar rumahnya. Ketika dia keluar, orang-orang perkebunan kelapa sawit sedang menanami halaman rumahnya dengan pohon-pohon kelapa sawit, dan tiba-tiba saja tanah miliknya itu berada di dalam peta lahan milik perkebunan kelapa sawit.
Daftar Pelanggaran HAM yang Belum Terselesaikan
Sejumlah kasus pelanggaran HAM di Indonesia berat tersandung oleh sikap batu lembaga negara. Kejaksaan Agung seringkali menjadi kuburan bagi keadilan. Inilah sebagian kasus besar yang masih menjadi PR buat pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images/Dewira
Tragedi Trisakti
Pada 12 Mei 1998 demonstrasi mahasiswa menuntut pengunduran diri Suharto memuncak di kampus Universitas Trisakti, Jakarta. Komnas HAM mencatat jumlah korban kekerasan oleh aparat keamanan mencapai 685 orang, sementara tiga meninggal dunia akibat tembakan. Ironisnya berkas penyelidikan yang dikirimkan ke Kejaksaan Agung dinyatakan hilang pada Maret 2008 oleh Jampidsus Kemas Yahya Rahman.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/D. husni
Semanggi Berdarah
Kejaksaan Agung di bawah kendali Hendarman Supandji menjadi jalan buntu pengungkapan kasus pelanggaran HAM 1998. Berkas laporan Komnas HAM terhadap kasus kekerasan aparat yang menewaskan 17 orang (Semanggi I) dan melukai 127 lainnya pada November 1998 menghilang tak berbekas. Setahun berselang tragedi kembali berulang, kali ini korban mencapai 228 orang.
Foto: picture alliance/dpa
Hilangnya Widji Tukul
Satu per satu aktivis pro demokrasi menghilang tanpa jejak menjelang runtuhnya kekuasaan Suharto, termasuk di antaranya Widji Thukul. Ia diduga diculik aparat keamanan setelah dinyatakan buron sejak peristiwa Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli 1996 (Kudatuli). Kasus Widji Thukul mewakili puluhan aktivis yang sengaja dilenyapkan demi kekuasaan.
Foto: Wahyu Susilo
Pembantaian 1965
Antara 500.000 hingga tiga juta nyawa simpatisan PKI melayang di tangan militer dan penduduk sipil setelah kudeta yang gagal pada 1965. Hingga kini upaya pengungkapan tragedi tersebut tidak pernah menyentuh pelaku. Adalah sikap membatu TNI yang melulu menjadi sandungan bagi penuntasan tragedi 1965.
Petaka di Wamena
Tragedi Wamena berawal dari penyerangan gudang senjata oleh orang tak dikenal yang menewaskan 2 anggota TNI pada April 2003. Aksi penyisiran yang kemudian dilakukan aparat menewaskan 9 penduduk sipil, sementara 38 luka berat. Seperti kasus sebelumnya, laporan penyelidikan Komnas HAM ditolak Kejagung dengan alasan tidak lengkap. TNI juga dituding menghalangi penyelidikan kasus tersebut.
Foto: picture-alliance/AP/dpa/A. Vembrianto
Pembunuhan Munir
Sosok yang sukses membongkar pelanggaran HAM berat oleh Tim Mawar dan mengakhiri karir Danjen Kopassus Prabowo Subianto ini meninggal dunia setelah diracun dalam perjalanan menuju Belanda. Pollycarpus Budihari Priyanto dinyatakan bersalah dan divonis 14 tahun penjara. Namun hingga kini kejaksaan sulit memburu tersangka utama yakni Muchdi Pr. yang dikenal dekat dengan Prabowo.
Foto: AFP/Getty Images/Dewira
6 foto1 | 6
Tidak pernah selesai
Kita bisa mengorek-ngorek lebih jauh lagi untuk mencatat daftar panjang kasus-kasus pelanggaran kemanusiaan di negeri ini, mulai dari tengah hutan sampai ke tengah kota, untuk menunjukkan bahwa di Indonesia persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) tidak pernah selesai, karena tidak pernah ada solusi yang menyeluruh untuk menghentikan persoalan-persoalan itu. Tapi dalam situasi itu, kita tak pernah mendengar persoalan HAM jadi perhatian para politisi di musim kampanye ini, apakah dari mulut para caleg untuk DPRD tingkat kabupaten, sampai para calon presiden dan wakil presiden.
Dalam salah satu episode debat calon presiden, kita mendengar bagaimana salah satu calon presiden disindir tentang kepemilikan ribuan hektare lahan miliknya. Lalu kemudian beberapa media menurunkan peta kepemilikan lahan-lahan raksasa yang dimiliki orang-orang di balik layar dua kubu yang sedang bertarung itu. Tapi sekali lagi, potret orang-orang yang tergusur atau yang terpaksa hidup dalam tekanan-tekanan para pemilik lahan raksasa tidak diangkat ke permukaan, juga tidak ada pertanyaan tentang bagaimana para capres itu akan menghargai hajat hidup warga yang selama ini dinistakan.
Kita sering lupa, persoalan HAM bukan semata kekerasan secara fisik. Jika merujuk pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, HAM harus dilihat pada dimensi luas yang meliputi hak ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan politik. Dan karenanya, ketika bicara HAM, kita harus sampai pada sebuah pertanyaan tentang keadilan negara ini bagi seluruh warga negaranya tanpa kecuali.
Lalu kenapa persoalan HAM nyaris absen di dalam kampanye para capres dan caleg? Kalau pun muncul, semata ditujukan pada pelanggaran HAM di masa lalu, yang digunakan sebagai alat menyerang lawan politik, alih-alih ditujukan untuk mencari keadilan.
HAM dan Realita Pahit Kemanusiaan
Pernyataan Umum Hak Azasi Manusia yang dideklarasikan oleh PBB berlaku buat semua negara anggota. Namun jalan panjang dan berliku masih terbentang hingga perlindungan HAM berhasil diterapkan di seluruh dunia.
Foto: picture-alliance/abaca/Depo Photos
Hak atas Kebebasan Berpendapat (18,19,20)
"Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama"(18). "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat" (19). "Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai." (20). Di seluruh dunia lebih dari 350 wartawan dan aktivis online dipenjara, tulis organisasi Reporter Tanpa Batas.
Foto: picture-alliance/dpa
Hak atas hidup dan kebebasan (Pasal 3,4,5)
"Setiap orang berhak atas penghidupan, kebebasan dan keselamatan individu." (3) "Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan." (4) "Tak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, memperoleh perlakuan atau dihukum secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya." (5). Bagi bocah India yang dipaksa bekerja sebagai buruh ini, deklarasi HAM cuma mimpi di siang bolong.
Foto: picture-alliance/dpa
Persamaan Hak untuk Semua (Pasal 1)
"Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama." Kutipan ini diresmikan di dalam sidang umum PBB pada 10 Desember 1948 di Paris dan dikenal dengan sebutan Pernyataan umum HAM. Namun realita berkata lain. Terlihat bocah yang terpaksa menjadi buruh tambang emas di Kongo.
Foto: picture alliance/AFP Creative/Healing
Hak Sipil (Pasal 2)
Semua hak dan kebebasan berlaku buat semua manusia, terlepas dari "ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain." Sayangnya pernyataan ini terbentur realita internasional. Seperti yang harus dialami minoritas Rohingya di Myanmar.
Foto: Reuters
Setara di Hadapan Hukum (Pasal 6-12)
Semua orang setara di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum (6,8,10,12). Ia tidak bersalah selama kejahatannya belum dibuktikan (11). Dan tak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang (9). Penjara Guantanamo di Kuba adalah contoh teranyar bagaimana negara-negara PBB secara sistematis melanggar pernyataan umum HAM.
Foto: Getty Images
Tidak Seorangpun Ilegal (13, 14, 15)
"Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam batas-batas setiap negara." Setiap orang berhak meninggalkan sebuah negara (13). "Setiap orang berhak mencari dan menikmati suaka di negeri lain untuk melindungi diri dari pengejaran." (14). Setiap orang berhak atas satu kewarganegaraan (15). Kenyataannya kini negara-negara makmur membetoni perbatasan untuk mencegah pengungsi.
Foto: customs.gov.au
Kebebasan Memilih Pasangan (Pasal 16)
Perempuan dan laki laki memiliki hak sama di dalam hubungan suami isteri. Sebuah pernikahan "hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai." Lebih dari 700 juta perempuan di seluruh dunia hidup dalam perkawinan paksa, menurut UNICEF. Salah satu contohnya adalah Tehani (ki.) dan Ghada (ka.) yang dinikahkan paksa di Yaman ketika berusia 8 tahun.
Foto: Stephanie Sinclair, VII Photo Agency for National Geographic magazine/AP/dapd
Hak atas Kepemilikan (Pasal 17)
"Setiap orang berhak memiliki harta, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Tak seorang pun boleh dirampas hartanya dengan semena-mena." Namun jutaan orang terusir dari tanah sendiri untuk memberi ruang bagi pembangunan kota dan infrastruktur, seperti yang banyak terjadi di Cina atau Brasil.
Foto: REUTERS
Hak Memilih (Pasal 21, 22)
"Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas." (21). Setiap manusia juga dikarunai dengan "hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan yang sangat diperlukan untuk martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya." (22). Kebebasan semacam itu sayangnya tidak dikenal oleh penduduk Korea Utara.
Foto: Kim Jae-Hwan/AFP/Getty Images
Hak atas Pekerjaan Layak (Pasal 23 & 24)
"Setiap orang berhak atas pekerjaan". "Setiap orang berhak atas pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama". "Setiap orang yang melakukan pekerjaan berhak atas pengupahan yang adil dan baik " dan bergabung dengan serikat pekerja (23). "Setiap orang berhak atas istirahat dan liburan" (24). Saat ini lebih dari 200 juta orang tidak memiliki pekerjaan, tulis Organisasi Buruh PBB, ILO.
Foto: DW
Hidup yang Bermartabat (Pasal 25)
"Setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial". "Ibu dan anak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa." Lebih dari dua miliar manusia di dunia menderita kekurangan gizi, sementara 800 juta orang mengalami kelaparan.
Foto: Roberto Schmidt/AFP/Getty Images
Hak atas Pendidikan (Pasal 26)
"Setiap orang berhak mendapat pendidikan". Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tidak dipungut biaya. "Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta memperkokoh rasa penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi." Lebih dari 780 juta manusia di seluruh dunia tidak bisa baca tulis, kata UNESCO.
Foto: picture-alliance/dpa
Hak Berkarya dan Berbagi (Pasal 27)
"Setiap orang berhak ikut serta secara bebas dalam kehidupan kebudayaan masyarakat, mengecap kenikmatan kesenian dan berbagi dalam kemajuan ilmu pengetahuan". Deklarasi HAM PBB juga melindungi "hak cipta atas karya ilmiah, kesusasteraan dan seni." Konsep hak cipta kini menjadi samar berkat media distribusi internet.
Foto: AP
Hak yang Tidak Tersentuh (28,29,30)
"Setiap orang berhak atas suatu tatanan sosial dan internasional di mana hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang termaktub di dalam Pernyataan ini dapat dilaksanakan sepenuhnya"."Tidak satu pun negara, kelompok ataupun seseorang, berhak melakukan perbuatan yang merusak hak-hak dan kebebasan perorangan" (30). Sementara itu puluhan ribu kaum Yazidi terusir dari tanah sendiri di Irak.
Foto: picture-alliance/abaca/Depo Photos
14 foto1 | 14
Semata tak peduli
Absennya persoalan HAM di dalam musim politik ini membuat saya khawatir. Bukan karena para politisi itu tidak tahu tentang HAM (karena saya yakin di belakang mereka banyak penyokong yang memiliki pengetahuan tentang itu), bukan juga karena mereka tidak tahu tentang bagaimana pelanggaran HAM terjadi di negeri ini dari hari ke hari (karena saya yakin para politisi itu punya jaringan informan di seantero negeri). Yang saya khawatirkan, para politisi itu semata tidak peduli dengan HAM dan persoalan-persoalannya.
Ketidakpedulian itu sedikit banyak tergambar dari bagaimana para politisi dan partai politik membiarkan dirinya mendapatkan sokongan dana dan politik dari siapa pun, tak peduli apakah para penyokong pernah menggusur rakyat dari tanahnya, pernah mengintimidasi, atau menjalankan bisnis yang monopolistik. Bahkan untuk hal yang vulgar sekalipun, seperti perekrutan para caleg yang pernah dihukum dalam kasus korupsi, partai-partai politik menunjukkan ketidakpedulian yang luar biasa.
Kita tahu, banyak aksi pelanggaran HAM—terutama yang berdimensi kekerasan fisik—dilakukan secara horisontal oleh sesama warga, misalnya dalam kasus berlatar agama dan etnis. Biasanya penyelesaian kasus-kasus seperti itu dilakukan dengan pendekatan sosial dan ekonomi, dengan asumsi bahwa orang cepat tersulut amarahnya karena mereka miskin dan tak memiliki saluran aspirasi.
Tapi bagaimana dengan kasus-kasus perampasan tanah dan penggusuran?
Kasus-kasus seperti itu melampaui batasan agama dan etnis. Para pelakunya pun bukanlah orang-orang miskin dan tanpa saluran aspirasi, justru sebaliknya mereka adalah pihak-pihak yang kuat secara ekonomi dan politik, yang bahkan bisa mengendalikan alat-alat negara dan para politisi.
Dengan membaca peta seperti itu, setiap warga sudah sepatutnya merasa khawatir. Ketika persoalan-persoalan HAM tak disinggung dalam kampanye para politisi, ada kemungkinan yang sangat besar bahwa mereka memang tidak peduli akan persoalan itu. Jika demikian, pemilu berisiko hanya jadi alat legitimasi atas kekuasaan yang intimidatif dan menggerogoti hak asasi warga, siapa pun yang jadi pemenangnya.
Jokowi Dikejar Dosa HAM Hingga ke Eropa
Presiden Joko Widodo membidik kerjasama bisnis untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tapi betapapun sang presiden berusaha menghindar, ia tetap dikejar dosa HAM masa lalu
Foto: Reuters/H. Hanschke
Sambutan Kenegaraan
Jerman mempersiapkan upacara kenegaraan buat menyambut Presiden Indonesia Joko Widodo. Di jantung Eropa dia menyisakan waktu tidak barang sehari. Jokowi terutama membidik kerjasama pendidikan kejuruan buat calon tenaga kerja muda. Dengan cara itu sang presiden ingin menempatkan kualitas sumber daya manusia sebagai pondasi pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Foto: DW/R.Nugraha
Dikejar Dosa
Namun Jokowi tidak sepenuhnya bisa melepaskan diri dari isu Lingkungan dan Hak Azasi Manusia. Selama kunjungannya di Berlin sang presiden diiringi aksi demonstrasi berbagai kelompok, antara lain organisasi lingkungan Rettet den Regenwald. Sementara International People Tribunal 65 menyerahkan petisi yang berisikan tuntutan kepada pemerintah untuk menyelesaikan isu HAM masa lalu.
Foto: DW/R.Nugraha
Sentilan Sang Pendeta
Agenda serupa juga menantinya di Istana Bellevue, saat bertemu dengan Presiden Jerman, Joachim Gauck. Gauck yang bekas pendeta itu membahas hak minoritas dan hubungan antar agama di Indonesia. Ia juga menyentil sang presiden ihwal hukuman mati. Jokowi berkilah Indonesia sedang dalam darurat narkoba
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Sohn
Berguru ke Jerman
Setelah bertemu Gauck, Jokowi bergegas menemui Kanselir Angela Merkel yang terpaksa menunggu selama tiga menit di kantor kekanseliran di Berlin. Bersama perempuan paling berkuasa di Bumi itu Jokowi membahas berbagai kerjasama ekonomi, terutama pendidikan vokasi dan juga isu terorisme.
Foto: DW/R.Nugraha
Terjebak Isu HAM
Namun serupa dengan Gauck, Merkel turut membahas "kasus HAM di Indonesia, terutama di Aceh dan Papua." Soal isu pembantaian 1965, Jokowi akhirnya angkat bicara ketika sudah tiba di London. "Saya belum memutuskan apa-apa," ucapnya membantah klaim Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Panjaitan.
Foto: Reuters/H. Hanschke
Bergegas Mengejar Pertumbuhan
Tanpa membuang banyak waktu presiden beserta rombongan langsung terbang ke London, lalu Belgia dan Belanda dengan selang waktu satu hari. Di Eropa Jokowi membidik perjanjian perdagangan bebas yang ia canangkan akan selesai dalam dua tahun. Selain kerjasama pendidikan vokasi dengan Jerman, Jokowi juga menggandeng Inggris untuk membenahi industri kelautan.
Foto: DW/R.Nugraha
6 foto1 | 6
Menguji komitmen
Lalu bagaimana warga bisa menguji komitmen para politisi terhadap pemenuhan HAM? Langkah awal yang bisa dilakukan adalah dengan membalikkan kondisi dari posisi pasif menjadi aktif: warga harus bertanya dan terus mempertanyakan kepada para politisi, alih-alih mendengarkan secara pasif dalam kampanye-kampanye mereka. Sebelum menentukan pilihan politiknya, warga harus berani "menelanjangi” para politisi itu dengan pertanyaan-pertanyaan kritis, sampai terungkap untuk siapa mereka bekerja, dan jika memungkinkan mengungkap siapa saja yang berada di belakang mereka. Dorong mereka untuk berjanji mengedepankan hak asasi seluruh warga negara dalam berbagai dimensinya: ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik.
Selanjutnya, ketika parpol-parpol dan para politisi itu memenangkan pemilu, mereka tidak bisa kita diamkan. Setiap saat janji-janji politik mereka harus ditagih untuk diwujudkan. Kalau mereka abai, kita harus berani protes dengan berbagai bentuk, apakah melalui surat, melalui audiensi, melalui demonstrasi, atau aksi-aksi menarik lainnya. Dengan kata lain setiap warga negara harus aktif menuntut hak semua warga negara.
Dengan cara itulah demokrasi bisa berjalan dengan benar, ketika rakyat banyak yang menentukan siapa yang bisa bekerja dan apa yang harus mereka lakukan demi kepentingan seluruh warga negara.
Zaky Yamani, Jurnalis dan novelis
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.
Kebangkitan Pemimpin Perempuan di Indonesia
Meski hanya memenangkan 15 dari 111 daerah pemilihan, kemunculan pemimpin perempuan di sejumlah daerah menjadi salah satu catatan manis Pilkada 2018. Inilah sejumlah figur yang patut Anda kenal.
Foto: Detik.com
Khofifah Indar Parawansa
Meski awalnya tidak mendapat dukungan besar, Khofifah merebut hati penduduk Jawa Timur dan mengalahkan Saifullah Yusuf yang lebih diunggulkan. Sosokyang juga mantan anak didik bekas Presiden Abdurrahman Wahid ini sejak awal berkecimpung di Nahdlatul Ulama. Ia menjabat ketua umum Muslimat NU selama empat periode berturut-turut. Tidak heran jika Alm. Gus Dur pernah menyebutnya "srikandi NU".
Foto: Detik.com
Tri Rismaharini
Sebanyak 86,34% suara dikumpulkan Risma saat memenangkan masa jabatan kedua dalam Pemilihan Walikota Surabaya 2015 silam. Kinerjanya yang apik dan faktor kesederhanaan membuat walikota perempuan pertama Surabaya ini berulangkali masuk dalam nominasi walikota terbaik di dunia, termasuk memenangkan Lee Kuan Yew World City Prize 2018.
Foto: Detik.com
Haryanti Sutrisno
Didaulat sebagai salah satu bupati terkaya di Indonesia saat ini, Haryanti akan melakoni masa jabatan kedua di Kabupaten Kediri menyusul hasil Pilkada 2018. Namun kemenangannya itu juga turut memperpanjang kekuasaan dinasti Sutrisno di Kediri selama hampir 20 tahun. Suaminya itu juga menjabat sebagai bupati untuk periode 2000-2010.
Foto: Detik.com
Chusnunia Chalim
Dengan usia yang baru menginjak 36 tahun, Chusnunia Chalim atau lebih sering dipanggil Nunik sudah mengantongi riwayat karir yang cemerlang. Ia tidak hanya pernah menjabat sebagai bupati Lampung Timur, tetapi juga memenangkan Pilkada Lampung 2018 sebagai wakil gubernur. Politisi muda Partai Kebangkitan Bangsa ini juga pernah duduk di Dewan Perwakilan Rakyat antara 2009-2014.
Foto: Detik.com
Anna Muawanah
Sejak 2004 Anna Muawanah yang merupakan kader PKB sudah malang melintang sebagai anggota legislatif sebelum memenangkan Pemilihan Bupati Bojonegoro dengan perolehan suara 35,2% pada Pilkada 2018 silam. Dalam kehidupan sehari-hari Anna bekerja sebagai seorang pengusaha yang bergerak di bidang industri logam dan peternakan.
Foto: Detik.com
Mundjidah Wahab
Mundjidah Wahab boleh jadi salah satu pemimpin perempuan paling berpengalaman di Indonesia saat ini. Sejak tahun 1971 ia sudah aktif di DPRD Jombang dan di Jawa Timur, sebelum menjabat wakil bupati Jombang sejak 2013 silam. Dalam Pilkada kemarin Mundjidah yang juga sempat menjadi pengurus MUI memenangkan kursi bupati Jombang untuk lima tahun ke depan.
Foto: Detik.com
Puput Tantriana Sari
Kemenangan Puput Tantriana dalam Pilbup Probolinggo 2018 membetoni kekuasaan keluarganya yang sudah memerintah kawasan tersebut sejak dipegang suaminya, Hasan Aminuddin antara 2003-2013. Dengan usianya yang baru 35 tahun, Puput saat ini tercatat sebagai salah satu bupati perempuan termuda di Indonesia.
Foto: Detik.com
Faida
Sebagai Bupati perempuan pertama di Jember, karir Faida banyak mendapat sorotan selama Pilkada 2018. Pasalnya sebelum terjun ke dunia politik, dia lebih banyak bergelut dengan profesinya sendiri sebagai seorang dokter. Sepanjang karirnya Faida lebih banyak mengurusi rumah sakit al-Huda, Banyuwangi, yang dibangun oleh ayahnya sendiri. (rzn/hp: detik, kompas, tirto, tribunnews)