Takut diasingkan keluarga, atau bahkan dibunuh, banyak eks-Muslim memilih untuk tidak mengumumkan pilihan mereka. Sebuah organisasi Jerman memberi bantuan bagi mereka yang memilih keluar dari agama.
Iklan
Berpaling dari Islam? Minna Ahadi menjelaskan bahwa dirinya tidak merasa aman menggunakan namanya dan istilah 'eks-Muslim' di ranah publik - bahkan di Jerman. Ahadi terus mendapatkan surat tak bernama yang berisi ancaman tembakan, atau peringatan dirinya akan mengalami kecelakaan mobil.
Alasannya, pada tahun 2007 Ahadi adalah salah satu pendiri Dewan Pusat Eks-Muslim, sebuah asosiasi bagi orang-orang di Jerman yang memilih untuk meninggalkan Islam. Dengan melakukan ini, ia ingin mengambil "posisi yang provokatif" terhadap label 'Muslim,' yang hampir selalu otomatis diberikan bagi para imigran dari negara-negara Arab - baik mereka itu sekarang menganut agama Kristen, ateis, atau memang Muslim.
Polisi harus mengawasi rumah Ahadi selama berbulan-bulan. Bahkan sekarang ia tak lagi keluar sendirian. Ia sangat takut seseorang mengenalinya sebagai seorang eks-Muslim.
Mouhanad Khorchide, direktur Pusat Teologi Islam di Münster, mengatakan memang ada kelompok-kelompok dalam Islam, terutama dalam lingkaran Salafiyah yang radikal, yang melafalkan hukuman mati bagi mereka yang murtad.
Namun tidak semua cendekiawan Islam setuju atas langkah ini, ungkap Khorchide. "Al-Qur'an hanya menyatakan bahwa Allah akan menghukum mereka yang murtad di akhirat. Tidak disebut apapun mengenai hukuman di bumi."
'Sebuah dosa besar'
Dan meskipun sejumlah negara Islam, seperti Arab Saudi dan Iran, memberlakukan hukuman mati bagi warga yang keluar dari Islam, Khorchide yakin ancaman terbesarnya datang dari individu yang merasa terpanggil untuk bertindak atas inisiatif sendiri.
Teolog Bekir Alboga dari Persatuan Turki-Islam untuk Urusan Agama (DITIB) mengatakan individu-individu yang dimaksud oleh Khorchide adalah "fundamentalis yang teradikalisasi" yang membentuk minoritas kecil dalam masyarakat Muslim, dan kerap menemukan sendiri ekstremisme Islam melalui internet.
Alboga mengatakan ajaran Islam melarang paksaan: "Firman dalam Al-Qur'an sudah jelas: Siapapun yang mencoba untuk memaksa seseorang untuk menerima Islam, atau bertahan dalam Islam, mereka berbuat dosa besar."
Mengakui bahwa dirinya tidak lagi percaya akan Tuhan adalah sebuah langkah besar, ucap Ahadi. Tidak sedikit orang yang tetap beribadah layaknya penganut agama yang tidak lagi mereka percayai: remaja perempuan memakai jilbab sesaat sebelum tiba di rumah, atau remaja lelaki pergi ke masjid bersama ayah mereka dan pura-pura salat.
Khorchide menilai ini bertentangan dengan kebebasan yang diberikan dalam Al-Qur'an untuk melepaskan keyakinan. Ia mengajarkan kepada anak didiknya bahwa hanya niat tulus yang diterima. "Yang lainnya hanyalah pendidikan menuju kemunafikan."
Ketika Berganti Keyakinan
Mereka pindah agama karena kehendak mereka sendiri. Namun hal ini kerap menuai ketidakpahaman atau bahkan penolakan dari keluarga dan lingkungannya. Demikian pula yang dialami mereka di Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Sebuah langkah besar
Ketika David Stang keluar Gereja Katolik, pada awalnya keluarganya syok. Dulu, waktu remaja, ia bahkan menjadi putra altar di gerejanya. Ia pun rajin membaca Alkitab. Ia merasa tidak cocok. Ia bercerita: "Saya dapat memahami, pastur tidak dapat menceritakan kepada saya tentang pasangan, misalnya."
Foto: DW/K. Dahmann
Tumbuh di hati
Dari kekecewaannya terhadap gereja Katolik, David Stang mulai melakukan pencarian makna pada agama-agama lain. Sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang pengacara Jerman, yang masuk agama Islam. "Dia membuat saya apa mengenal Islam dan nilai-nilai yang terkait dengan itu," kata pria itu. "Dan di sana saya menemukan makna bagi diri saya lagi.“
Foto: DW/K. Dahmann
Sebuah proses yang panjang
Bagi David Stang, masuk agama Islam berarti proses pembelajaran lagi: "Awalnya, saya pikir jika masuk Islam, maka Anda harus menjauhi alkohol, makan babi dan memakai janggut. Tapi pengacara yang memperkenalkannya dengan Islam menunjukkan kepadanya bahwa yang terpenting adalah perasaan betapa menyenangkan untuk menjadi seorang Muslim. Sisanya tinggal mengikuti."
Foto: DW/K. Dahmann
Kompromi iman
Sebagai kaum profesional, sehari-hari David Stang mengalami kemacetan antara Hannover dan kota kelahirannya Bonn. Lima kali sehari untuk berdoa tidak selalu memungkinkan baginya, maka ia kemudian memperpanjang doa di pagi dan sore hari. Untuk alasan profesional janggutanya pun ia pangkas. Yang penting, katanya, "mengintegrasikan iman ke dalam kehidupan."
Foto: DW/K. Dahmann
Penolakan Islam radikal
Terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan kaum Salafi di Bonn pada tahun 2012, atau teroris radikal, ia menjauhkan diri: "Jika agama itu membenarkan apa yang dilakukan teroris, misalnya memasang bom di sekitar leher, saya tak ingin berurusan dengan hal semacam itu.“
Foto: picture-alliance/dpa
Meninggalkan gereja
Ute Lass tumbuh dalam keluarga Katolik, tapi menurutnya gereja membatasinya. Ia bermimpi belajar teologi: “Tapi sebagai seorang teolog, saya tidak bisa berperan banyak dalam Katholik . Ia kemudian pindah gereja.
Foto: DW/K. Dahmann
Rumah baru
Lewat suaminya, yang dibaptis sebagai Protestan, Ute cepat menemukan kontak ke gereja Protestan. Anaknya diikutsertakan dalam kelompok bermain , diapun mencari kontak untuk ikut dalam paduan suara gereja. Namun butuh waktu lima tahun sampai dia memutuskan untuk membuat "langkah besar". Pendeta Annegret Cohen (kiri) dan Nina Gutmann (tengah) menemaninya dalam pertarungan batin ini.
Foto: DW/K. Dahmann
Sikap toleran
Keluarga dan teman-teman bereaksi positif. "Mereka mengatakan , ini jauh lebih cocok! " Bagaimana dengan tempat kerjanya, organisasi bantuan Katholik Caritas? Ute Lass mendapat lampu hijau. Mereka mengatakan, adalah penting bahwa Anda tetap dibaptis sebagai seorang Kristen dan ke gereja.
Foto: picture-alliance/dpa
Disambut
Di gereja Protestan, Ute Lass disambut dengan tangan terbuka. Dengan sukacita ia menangani hal seperti misalnya bazaar gereja. Apakah ia kadang merindukan kehidupannya sebagai umat Katholik?Jawabnya: “Saya memiliki iman yang kuat terhadap Bunda Maria, yang perannya tak seperti di gereja Protestan," katanya. “Tapi untuk beberapa hal, saya tetap seperti itu.“
Foto: DW/K. Dahmann
Memfasilitasi masuknya anggota
Selama bertahun-tahun, gereja-gereja Kristen melaporkan bahwa jumlah jemaatnya menurun: Semakin banyak orang keluar gereja, entah karena alasan agama atau hanya untuk menghindari gereja. Dalam rangka memfasilitasi masuknya anggota baru, gereja-gereja di Jerman menyambut baik, seperti di Fides, Bonn dimana pastur Thomas Bernard (kanan) bekerja.
Foto: DW/K. Dahmann
Akibat skandal?
Gereja Katolik dalam beberapa tahun terakhir mengalami berkurangnya jumlah umat. Banyak orang percaya, ini terjadi setelah sejumlah kasus pelecehan seksual dalam biara. "Skandal yang substansial," Thomas Bernard mengakui. "Kami telah demikian kehilangan daya tariknya." Meskipun berita di media menghancurkan nama gereja, dia yakin: "Iman dapat memberikan dukungan."
Foto: DW/K. Dahmann
Membuka pintu iman
Salah satu alasan mengapa orang bergabung dengan Gereja Katolik saat ini, menurut Thomas Bernard adalah liturgi. "Banyak orang mengagumi perayaan ibadah," katanya. Reformasi di tubuh gereja seperti ynag dilakukan paus yang baru, diharapkan menyebabkan banyak orang yang telah keluar dari Katholik, kembali menemukan gereja.
Foto: DW/K. Dahmann
Permohonan untuk kebebasan beragama
Orang-orang yang telah mengubah agama mereka, pernah ditampilkan dalam sebuah pameran di Munchen. Pameran ini menunjukkan permohonan untuk kebebasan hak asasi manusia, termasuk kebebasan memilih agama.
Foto: Jüdisches Museum München 2013
Bayipun ‘pindah agama‘
Gambar ini menunjukkan nasib putri Jennifer dan Ricky Grossman: Bayi tidak diakui sebagai Yahudi , karena ibunya bukan Yahudi. Oleh karena itu ibunya harus masuk Yahudi dulu, karena itulah syarat untuk bisa diterima sebagai anggota penuh dari komunitas Yahudi.
Foto: Jüdisches Museum München 2013
14 foto1 | 14
'Semua orang berhak menentukan keyakinan'
Saif Al-Basri, seorang mahasiswa kedokteran di Münster, berkisah bahwa dirinya perlu dua tahun untuk jujur kepada keluarganya di Bagdad bahwa ia seorang ateis. Ia mengatakan kepada keluarganya bahwa ia tidak bisa lagi percaya kepada Tuhan. Secara mengejutkan, reaksinya cukup positif: Keluarganya tidak menyetujui keputusannya, tapi menerima. Pamannya berusaha meyakinkan Saif bahwa dirinya cuma bingung, dan harus berpikir ulang, atau ia terancam masuk neraka. "Tapi mereka cukup normal, perbincangannya damai. Di luar harapan saya."
"Tentu perang saudara menjadi satu faktor yang membuat saya berpikir," tutur Saif. Pada akhirnya ketidakcocokan antara agama dan sains menjadi terlalu hebat, ide mengenai Tuhan menjadi tidak masuk akal baginya.
Setiap agama itu berbahaya, kata Saif, karena tidak menawarkan pilihan. "Setiap orang berhak untuk meyakini sesuatu, bahkan kalau mau Monster Spaghetti Terbang - selama tidak menyakiti orang lain." Namun seringkali generasi muda tidak mendapatkan pilihan ini, dan disodorkan gagasan mengenai dosa dan neraka. Kalau sudah begini, menurut Saif, agama menjadi "terorisme."
Saif yang membuat blog di Jerman juga menerima ancaman kematian. "Fanatik ada di mana-mana, bahkan online," tukasnya.
Dan ketakutan semacam ini bukannya tanpa basis: Waleed Al-Husseini, yang menerbitkan blog yang kritis terhadap Islam di Tepi Barat dengan menggunakan nama asli, ditangkap tahun 2010. Ia mendekam di penjara selama 10 bulan. Dan ketika dilepaskan, banyak yang berkata padanya: "Anda tidak diterima lagi di sini." Bahkan muncul seruan untuk menggantungnya di hadapan publik.
Waleed, yang sekarang tinggal di Perancis, mengakui dirinya harus lebih berhati-hati dalam melindungi identitas. "Namun saya tidak tahu kalau saya akan ditangkap hanya karena mengkritik Islam."
Ia mengatakan dirinya kemungkinan besar tidak akan pernah bisa kembali ke wilayah Palestina. Namun ia bersikeras dirinya tidak menyesali perbuatannya. Apabila ia hanya berpura-pura dalam mempercayai Tuhan, katanya, "ini berarti saya berbohong tidak hanya kepada diri sendiri, tapi juga kepada semua Muslim." Dan ini, menurutnya, salah.