1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ketika Pemerintah Tak Bisa Diandalkan

Mochamad Husni20 Juni 2016

Macet, banjir.... Apakah problem semacam itu hal yang sudah dapat Anda terima dan maklumi di Jakarta? Mochamad Husni melihat sisi positif di balik segala carut marut ibukota. Apakah itu? Simak dalam opini berikut:

Foto: cc-by-nc-nd-Bentley Smith

Jika dibandingkan beberapa puluh tahun sebelumnya, pengelolaan Jakarta terasa mengalami kemajuan. Kritik-kritik yang dilontarkan masyarakat, dan terutama pengalaman langsung yang dialami oleh warga kota memang memaksa pemerintah berbenah. Soal transportasi misalnya.

Saya tak terbayang bahwa ibukota akhirnya mengikuti pola-pola seperti yang ditunjukkan negara-negara maju. Mulai dari pembenahan sarana angkutan massal yang sudah lama ada seperti kereta dan bus, maupun pembangunan infrastruktur baru yang sebelumnya hanya berputar sebatas wacana seperti mass rapid transport.

Namun, sesigap apapun pemerintah bekerja, perkembangan zaman tampaknya berlari lebih cepat. Ini diperparah dengan masih tak tergoyahkannya ibukota sebagai magnet yang terus mendorong arus urbanisasi.

Sampai sekarang, tiap kali lebaran media massa masih dipenuhi berita utama tentang munculnya wajah-wajah baru di terminal-terminal maupun stasiun kedatangan. Alhasil, yang namanya kemacetan, masih menjadi problem yang tak terselesaikan.

Bahkan, apa yang pernah dilontarkan gubernur periode sebelumnya (Sutiyoso yang kini menjabat sebagai kepala Badan Intelijen Negara) bahwa orang Jakarta kelak akan terjebak kemacetan sejak keluar garasi rumah, makin mendekati kenyataan.

Penulis: Mochamad HusniFoto: Husni Mochamad

Warga cari solusi sendiri

Ketimbang berteriak-teriak terus atau menunggu jurus-jurus jitu yang seharusnya dilakukan pemerintah -- mengingat kompleksitas masalah-- orang-orang Jakarta akhirnya beradaptasi dengan fakta sulitnya pengelolaan transportasi Jakarta.

Fenomena semacam angkutan online adalah contoh dari proses adaptasi tersebut. Tanpa berharap terlalu banyak pada pemerintah, pengendara di Jakarta saling berkomunikasi sendiri agar perjalanan antara titik kantor dan rumah mereka relatif lebih lancar dan praktis.

Adaptasi-adaptasi semacam ini sebenarnya menunjukkan bahwa di kalangan warga Jakarta ada “kesadaran untuk tidak mengandalkan negara”.

Bahkan, kesadaran untuk tidak mengandalkan negara beserta perangkat-perangkat formal politik, seperti partai maupun lembaga-lembaga perwakilan yang semestinya menjadi penghubung formal antara masyarakat dan negara.

Ke depan, perkembangan kelas menengah di Indonesia akan semakin menguatkan munculnya kesadaran tersebut.

Karena tak bisa andalkan negara

Dalam konteks kenyamanan dan kepastian hidup di kota Jakarta, apakah situasi ini bisa kita lihat sebagai kabar yang menyenangkan?

Bagi saya, yang sejak lahir hingga sekarang ini menetap di Jakarta, menguatnya kesadaran itu menyiratkan kabar menyenangkan. Pertama, ini menandakan bahwa warga Jakarta cenderung menghindari kegaduhan.

Jika ada solusi lain yang bisa ditempuh sendiri, mereka tak mau repot-repot “memelintir” masalah menjadi isu-isu bersama untuk sekadar mempersoalkan keberadaan negara.

Kedua, ini yang paling menyenangkan saya: menguatnya kesadaran itu mengabarkan kepada kita bahwa peluang untuk memperkuat ikatan horisontal di kalangan warga Jakarta yang mandiri dan independen sebenarnya ada. Bahkan, makin terbuka lebar. Warga Jakarta makin terbuka kesadarannya bahwa mereka harus bersatu, tidak bisa mengandalkan negara.

Kedua kabar menyenangkan ini menjadi benih bagi munculnya situasi penting yang banyak dinanti-nanti orang. Minimal, oleh saya sendiri. Saya mendambakan keadaan di mana posisi masyarakat jauh lebih kuat ketimbang negara. Dengan begitu, negara (pemerintah daerah) benar-benar berfungsi sebagai pelayan masyarakat.

 

Penulis:

Mochamad Husni, blogger - warga Jakarta.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

Kami tunggu komentar Anda di sini.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait