Macet, banjir.... Apakah problem semacam itu hal yang sudah dapat Anda terima dan maklumi di Jakarta? Mochamad Husni melihat sisi positif di balik segala carut marut ibukota. Apakah itu? Simak dalam opini berikut:
Iklan
Jika dibandingkan beberapa puluh tahun sebelumnya, pengelolaan Jakarta terasa mengalami kemajuan. Kritik-kritik yang dilontarkan masyarakat, dan terutama pengalaman langsung yang dialami oleh warga kota memang memaksa pemerintah berbenah. Soal transportasi misalnya.
Saya tak terbayang bahwa ibukota akhirnya mengikuti pola-pola seperti yang ditunjukkan negara-negara maju. Mulai dari pembenahan sarana angkutan massal yang sudah lama ada seperti kereta dan bus, maupun pembangunan infrastruktur baru yang sebelumnya hanya berputar sebatas wacana seperti mass rapid transport.
Namun, sesigap apapun pemerintah bekerja, perkembangan zaman tampaknya berlari lebih cepat. Ini diperparah dengan masih tak tergoyahkannya ibukota sebagai magnet yang terus mendorong arus urbanisasi.
Sampai sekarang, tiap kali lebaran media massa masih dipenuhi berita utama tentang munculnya wajah-wajah baru di terminal-terminal maupun stasiun kedatangan. Alhasil, yang namanya kemacetan, masih menjadi problem yang tak terselesaikan.
Bahkan, apa yang pernah dilontarkan gubernur periode sebelumnya (Sutiyoso yang kini menjabat sebagai kepala Badan Intelijen Negara) bahwa orang Jakarta kelak akan terjebak kemacetan sejak keluar garasi rumah, makin mendekati kenyataan.
Warga cari solusi sendiri
Ketimbang berteriak-teriak terus atau menunggu jurus-jurus jitu yang seharusnya dilakukan pemerintah -- mengingat kompleksitas masalah-- orang-orang Jakarta akhirnya beradaptasi dengan fakta sulitnya pengelolaan transportasi Jakarta.
Fenomena semacam angkutan online adalah contoh dari proses adaptasi tersebut. Tanpa berharap terlalu banyak pada pemerintah, pengendara di Jakarta saling berkomunikasi sendiri agar perjalanan antara titik kantor dan rumah mereka relatif lebih lancar dan praktis.
Adaptasi-adaptasi semacam ini sebenarnya menunjukkan bahwa di kalangan warga Jakarta ada “kesadaran untuk tidak mengandalkan negara”.
Bahkan, kesadaran untuk tidak mengandalkan negara beserta perangkat-perangkat formal politik, seperti partai maupun lembaga-lembaga perwakilan yang semestinya menjadi penghubung formal antara masyarakat dan negara.
Ke depan, perkembangan kelas menengah di Indonesia akan semakin menguatkan munculnya kesadaran tersebut.
Wara Wiri Gubernur Petahana
Meski segudang prestasi, gaya kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama di Jakarta banyak mendulang kontroversi. Ini sejumlah skandal yang digunakan musuh politiknya untuk menohok bekas Bupati Belitung Timur tersebut
Foto: picture-alliance/AP Photo/D. Alangkara
Pro dan Kontra
Gayanya yang blak-blakan dan terbuka kerap memicu perang mulut dengan sejumlah politisi atau pejabat di Jakarta. Ahok yang mengincar kursi DKI 1 pada Pilkada 2017 harus menghadapi sejumlah skandal untuk bisa melanjutkan masa jabatannya. Mampukah musuh-musuh politiknya menjungkalkan Ahok?
Foto: picture-alliance/epa/B. Indahono
Singkat Kata Penistaan Agama
Berawal dari pidatonya di Pulau Seribu ihwal politisasi surat Al-Maidah 51, Ahok kini berseteru dengan kelompok Islam konservatif yang digalang FPI buat mencari keadilan di depan meja hijau. Polemik penistaan agama menjadi bola liar pada pilkada, lantaran dampaknya pada elektabilitas yang dinamis dan sulit diukur. Sidang kasus penodaan agama menjadi batu sandungan terbesar ahok menuju kursi DKI 1
Foto: Reuters/B. Indahono/Pool
Reklamasi Sarat Kontroversi
Simpang siur soal kewenangan pemberian izin reklamasi pantai utara Jakarta adalah batu sandungan terbesar buat Ahok jelang Pilkada 2017. Sang gubernur diyakini menyalahi aturan soal pemberian izin. Proyek raksasa tersebut akhirnya ditunda setelah pemerintah turun tangan. KPK menangkap anggota DPRD DKI Sanusi dan Direktur Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja, atas dugaan kasus suap reklamasi.
Foto: Fotolia/aseph
Sumber Waras Tanah Bertulah
Berawal dari audit Badan Pemeriksa Keuangan, pembelian lahan di rumah sakit Sumber Waras memicu kontroversi karena diindikasikan sarat korupsi. Kasusnya hingga ditangani KPK. Negara ditengarai merugi sekitar 191 miliar Rupiah lantaran pembengkakan harga tanah. Tapi pemerintah daerah DKI meragukan keabsahan audit BPK karena dinilai menghitung harga tanah di jalan yang salah.
Foto: Gacad/AFP/Getty Images
Tumbang Luar Batang
Dengan rencana menata kampung Luar Batang dan Pasar Ikan di Jakarta Utara untuk dijadikan Kawasan Wisata Bahari Sunda Kelapa, Ahok menggusur rumah penduduk yang berdiri di atas tanah ilegal. Penggusuran itu mendulang kritik karena dinilai merugikan kaum miskin. Pemda DKI berkilah telah menyediakan rumah susun yang lebih layak untuk penduduk Luar Batang.
Foto: Reuters/Beawiharta
Darah Kurban di Jalur Hijau
Menjelang hari raya Idul Adha ratusan massa Front Pembela Islam menyantroni Gedung DPRD DKI Jakarta. Mereka mengecam Ahok karena telah melarang penyembelihan dan penjualan hewan kurban. Pemda DKI sebaliknya mengatakan cuma menjalankan peraturan daerah yang melarang penjualan hewan kurban di jalur hijau.
Foto: Reuters/Darren Whiteside
Geger Kalijodo
Selama berpuluh tahun Kalijodo dibiarkan menjadi sarang prostitusi gelap. Ahok nekad menggusur kawasan tersebut untuk dijadikan jalur hijau. Langkah pemda DKI disambut gugatan di PTUN oleh sejumlah tokoh masyarakat Kalijodo. Ahok juga dikritik lantaran menyertakan 1000 tentara dan polisi untuk mengawal penggusuran. Kisruh langsung mereda setelah penggusuran berakhir.
Foto: Imago/Xinhua
Kisruh Bantar Gebang
Berawal dari keluhan DPRD Bekasi soal sampah Jakarta, kisruh seputar TPS Bantar Gebang kembali bergulir. Ahok sebaliknya menuding pengelola TPS, PT. Godang Tua wanprestasi. Hasilnya truk-truk sampah DKI dihadang massa tak dikenal. Ahok pun bentrok dengan DPRD. Kisruh berakhir setelah Presiden Joko Widodo turun tangan.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Anggaran Siluman
Akhir 2014 Ahok murka lantaran menemukan dana siluman sebesar 8,8 trilyun dalam rancangan APBD 2015 yang telah digodok DPRD DKI. Setelah coret sana-sini, APBD kembali diserahkan kepada parlemen untuk dibahas. Namun DPRD memilih berpolemik karena merasa tudingan Ahok soal adanya indikasi mafia anggaran tidak berdasar. APBD DKI akhirnya baru disahkan bulan Februari dengan menggunakan pagu ABPD 2014.
Foto: Imago
9 foto1 | 9
Karena tak bisa andalkan negara
Dalam konteks kenyamanan dan kepastian hidup di kota Jakarta, apakah situasi ini bisa kita lihat sebagai kabar yang menyenangkan?
Bagi saya, yang sejak lahir hingga sekarang ini menetap di Jakarta, menguatnya kesadaran itu menyiratkan kabar menyenangkan. Pertama, ini menandakan bahwa warga Jakarta cenderung menghindari kegaduhan.
Jika ada solusi lain yang bisa ditempuh sendiri, mereka tak mau repot-repot “memelintir” masalah menjadi isu-isu bersama untuk sekadar mempersoalkan keberadaan negara.
Kedua, ini yang paling menyenangkan saya: menguatnya kesadaran itu mengabarkan kepada kita bahwa peluang untuk memperkuat ikatan horisontal di kalangan warga Jakarta yang mandiri dan independen sebenarnya ada. Bahkan, makin terbuka lebar. Warga Jakarta makin terbuka kesadarannya bahwa mereka harus bersatu, tidak bisa mengandalkan negara.
Kedua kabar menyenangkan ini menjadi benih bagi munculnya situasi penting yang banyak dinanti-nanti orang. Minimal, oleh saya sendiri. Saya mendambakan keadaan di mana posisi masyarakat jauh lebih kuat ketimbang negara. Dengan begitu, negara (pemerintah daerah) benar-benar berfungsi sebagai pelayan masyarakat.
Penulis:
Mochamad Husni, blogger - warga Jakarta.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Kami tunggu komentar Anda di sini.
Geger Pacinan: Sejarah Kelam Batavia 1740
Tumpahnya darah etnis Tionghoa di Batavia tahun 1740 menjadi bagian sejarah kelam ibukota metropolitan yang gemerlap ini.
Foto: Public Domain
Membangun Batavia
Awal abad ke-17, Belanda membutuhkan bantuan dalam pembangunan kota pesisir di Hinda Belanda. Kaum migran Tionghoa bekerja sebagai tukang bangunan, buruh pabrik gula dan berdagang. Sebagian tinggal di dalam tembok Batavia, sisanya di luar tembok. Beberapa di antara mereka menjadi kaya karena berdagang, namun tidak sedikit yang miskin dan dimanfaatkan oleh VOC.
Foto: Public Domain
Merosotnya pendapatan VOC
Awal awad ke 17, Kamar Dagang VOC kalah bersaing dengan maskapai dagang Inggris, Britisch East India Company. Alhasil VOC pusat menekan VOC Hindia Belanda untuk menaikkan pendapatan. Meningkatnya imigran Tionghoa yang masuk ke Batavia bukan lagi dianggap bantuan, melainkan ancaman. Tahun 1719, jumlah etnis Tionghoa lebih dari 7500 jiwa, sementara tahun 1739 melonjak jadi lebih dari 10 ribu.
Foto: public domain
Gula dunia merosot
Di pasar dunia, harga gula yang menjadi andalan VOC menurun, akibat banyaknya ekspor gula ke Eropa. Hal ini menyebabkan pabrik gula di Hindia Belanda terus merugi. Angka pengangguran termasuk para buruh gula Tionghoa di Batavia pun meningkat.
Foto: public domain
Aturan izin tinggal diperketat
Gubernur Jendral Hindia Belanda saat itu Adriaan Valckeneir memberlakukan aturan izin tinggal yang ketat. Ancamannya: penjara, denda atau di deportasi. Para etnis Tionghoa kaya merasa diperas. Semenatara itu isu berkembang, jika aturan izin tinggal tak dipenuhi, para buruh dan pengangguranTionghoa dikirim ke Zeylan (Sri Lanka). Etnis Tionghoa didera kecemasan.
Foto: Public Domain
Korupsi merajalela
Sementara kaum Tionghoa terdiskriminasi oleh pembatasan itu, oknum pejabat diduga memanfaatkan aturan untuk meraup duit ke kocek mereka sendiri. Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan terjadi tanggal 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gula, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia keesokan harinya.
Foto: Public Domain
Konflik internal di Dewan Hindia
Kebijakan pembatasan etnis Tionghoa sebenarnya ditentang keras oleh beberapa kalangan lain di Dewan Hindia, misalnya mantan gubernur Zeylan, Gustaaf Willem baron van Imhoff, yang datang kembali ke Batavia tahun 1738. Namun Valckeneir tetap mengambil tindakan tegas dan mematikan dalam mengatasi kerusuhan di bawah otoritasnya.
Foto: Public Domain
Pecah pemberontakan
Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan memuncak pada tanggal 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gul, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia kesokan harinya.
Foto: Public Domain
Pembumihangusan rumah kaum Tionghoa
9 Oktober 1740, tentara VOC mengatasi pemberontakan, berbalik mengejar pemberontak. Rumah-rumah & pasar warga Tionghoa dibumihanguskan. Ratusan warga Tionghoa lari ke kali, diburu & dibantai tanpa ampun. Kali Angke & Kali Besar banjir darah. Razia etnis Tionghoa berlanjut. Bahkan Dewan Hindia menjanjikan hadiah per kepala etnis Tionghoa yang dipancung. Hal itu memancing etnis lain ikut memburu.
Foto: Public Domain
Gustaaf Willem van Imhoff gantikan van Valkeneir
Diperkirakan hanya sekitar 600 hingga 3000 etnis Tionghoa yang selamat akibat insiden itu. Valckeneir ditarik kembali ke Belanda dan tahun 1742 ia digantikan Gustaaf Willem Imhoff yang berhasil meyakinkan pemegang saham utama VOC, bahwa Valckenier yang memicu pembantaian di Batavia.