Setelah Indonesia sukses tampil sebagai Tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair pertengahan Oktober dan mendapat pujian luas dari media Jerman, diam-diam budaya sensor kembali diterapkan.
Iklan
Panitia Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) mendapat tekanan dan ancaman untuk membatalkan beberapa acara yang berkaitan dengan peristiwa pembantaian massal 1965/1966.
Beberapa acara yang direncanakan terpaksa dibatalkan, antara lain diskusi, peluncuran buku dan pemutaran film. Film yang dilarang tayang adalah Senyap (The Look of Silence) arahan sutradara AS Joshua Oppenheimer, yang sudah memenangkan berbagai penghargaan internasional.
Acara lain yang dibatalkan adalah pameran foto yang dikurasi oleh Asia Justice and Rights (AJAR) dan peluncuran tiga buku terbitan Herb Feith Foundation (HFF) dari seri: ‘Translating Accounts of 1965-66 Mass Violence in Indonesia', suntingan Katharine McGregor dan Jemma Purdey. Beberapa panel tentang karya-karya sastra berlatar belakang peristiwa 1965 juga dibatalkan.
Tiga buku terbitan HFF yang dilarang didiskusikan, adalah: - Forbidden Memories: Women's experiences of 1965 in Eastern Indonesia, Editor: Mery Kolimon, Liliya Wetangterah and Karen Campbell-Nelson - Breaking the Silence: Survivors Speak about 1965–66 Violence in Indonesia, Editor Putu Oka Sukanta - Truth Will Out: Indonesian Accounts of the 1965 Mass Violence, Editor Dr Baskara T Wardaya SJ.
Panitia UWRF mengumumkan pembatalan acara-acara terssebut hari Jumat lalu (23/10/15), karena jika tidak, polisi lokal mengancam akan membatalkan seluruh acara, sekalipun acara tersebut sudah mendapat ijin dari kepolisian nasional.
Sebelum penyensoran di Festival Ubud, terjadi juga pembredelan majalah mahasiwa LENTERA di Salatiga.
Penyensoran di Ubud dan Salatiga ramai dibicarakan di media sosial, tapi hanya mendapat sedikit tempat dalam pemberitaan media nasional. Penulis-penulis Indonesia yang baru saja tampil di Frankfurt Book Fair dengan buku berlatar belakang peristiwa 1965 seperti Leila S Chudori dan Laksmi Pamuntjak, mengecam keras praktek sensor itu.
Laksmi Pamuntjak menulis dalam status Facebooknya, penyensoran di Ubud dan Salatiga. "Sangat memprihatinkan terjadinya re-militerisasi dalam praktek pemerintahan, 17 tahun setelah dikotomi antara pemerintah versus masyarakat sipil mulai pupus. Lagi-lagi retorika anti komunis menjadi preteks untuk penindasan, sesuatu yang kita pikir sudah hilang kekuatannya setelah kejatuhan Suharto -- ternyata kembali!"
Greget Indonesia di Pameran Buku Frankfurt
Sebagai tamu kehormatan, Indonesia menyihir publik Jerman di pameran buku terbesar sejagad, Frankfurt Book Fair 2015. Selain karya sastra, tuan rumah juga disuguhi musik, desain dan kuliner dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Rasa, Bahasa dan Telinga
Untuk pertamakalinya publik Jerman bisa mencicipi Indonesia secara intim, yakni lewat Frankfurt Book Fair. Untuk itu komite nasional menyiapkan lebih dari 300 acara dan sebuah paviliun yang menyapa panca indera pengunjung yang ada.
Foto: DW/R. Nugraha
Suasana Mistis di Pavilun
Paviliun Indonesia yang diracik Muhammad Thamrin mengusung desain beraroma mistis, dengan lampu temaram kebiruan yang membuat setiap pengunjung seakan figur yang terbuat dari bayangan dan siluet, layaknya wayang Jawa.
Foto: DW/R. Nugraha
Membau Indonesia
Thamrin berupaya menghadirkan pengalaman unik buat pengunjung Jerman. Selain memanjakan mata dan telinga, publik juga disajikan aroma bumbu dan rempah khas Indonesia. Untuk itu panitia membawa ekstra 400 kilogramm bumbu dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Pulau Budaya di Lautan Kata-kata
Ketika mendapat tanggungjawab mendesain paviliun, Muhammad Thamrin diberi tugas menghadirkan laut dan kepulauan Indonesia dalam desainnya. Setelah berpikir lama, ia akhirnya mendesain lautan lampion bertuliskan puisi dan kutipan prosa dengan tujuh pulau yang dibedakan sesuai jenisnya, seperti Island of Tales yang menyajikan dongeng anak, atau island of images yang dihias dengan gambar-gambar komik
Foto: DW/R. Nugraha
Dendang Tsunami
Salah satu yang paling mengejutkan publik Jerman adalah penampilan grup musik Aceh, Rafly Kande. Hentakan rebana, gitar akustik dan alunan serunai Kalee yang dipadu dengan suara Rafly yang dinamis dan emosional menjadi pengalaman spesial buat pengunjung. Kekaguman penonton meledak ketika Rafly menjelaskan isi lagu yang berkisah tentang hutan gunung leuser, Tsunami dan semangat hidup.
Foto: DW/R. Nugraha
Merdu Puisi Sapardi
Penampilan lain yang tidak kalah menarik adalah musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono oleh Reda Gaudiamo dan Ari Malibu. Merdu suara kedua musisi merangkai bait-bait sederhana puisi Sapardi dalam lagu yang ringan dan menyentuh. Ini pun bisa dikatakan pengalaman baru buat publik Jerman yang hadir.
Foto: DW/R. Nugraha
Indonesia Lewat Imajinasi Jompet
Seniman Indonesia Jompet Kuswidananto turut menghadirkan karyanya dengan judul "Power Unit" yang dipajang di galeri seni Kunstverein, Frankfurt. Instalasinya itu mengingatkan akan aksi demonstrasi yang ramai dan meriah jelang pemilihan umum.
Foto: DW/R. Nugraha
Eko Menggugat
Seniman lain yang turut hadir adalah Eko Nugroho. Karyanya terkesan banal dengan gaya yang mirip sebuah oret-oretan grafiti. Tapi warna-warni dan pesan pada setiap karya seniman asal Yogyakarta ini membuktikan sebaliknya.
Foto: DW/R. Nugraha
"Bukan Politik, Tapi Takdir"
Salah satu gambar Eko berjudul "Bukan Politik, tapi Takdir," yang menyoal pengungsi. Pesan yang disampaikan Eko bahwa "setiap orang bermigrasi" sangat mengena dengan problematika kekinian yang dihadapi publik Jerman.