Ketua Dewan Muslim Jerman: Antisemitisme Adalah Dosa Besar
24 April 2018
Ketua Dewan Muslim Jerman Aiman Mazyek mengatakan, antisemitisme, rasisme dan kebencian adalah dosa besar dalam ajaran Islam. Tidak boleh ada toleransi untuk hal-hal seperti itu.
Iklan
Ketua Dewan Muslim Jerman (Zentralrat der Muslime in Deutschland, ZMD) Aiman Mazyek menegaskan, sikap antisemitisme di Jerman terutama berasal dari kalangan ekstrem kanan. Belakangan muncul kecenderungan antisemitisme yang berasal dari kalangan Islam, terutama setelah makin banyaknya pengungsi yang datang dari kawasan Timur Tengah.
Aiman Mayzek mengatakan, komunitas Islam di Jerman harus bekerja keras untuk menanggulangi fenomena itu.
„Anti semitisme, rasisme dan kebencian adalah dosa-dosa besar dalam Islam, karena itu kami tidak akan menoleransinya”, kata Mayzek kepada harian Jerman Rheinische Post.
Ketua Dewan Muslim Jerman itu menanggapi pernyataan Kanselir Jerman Angela Merkel dalam wawancara dengan televisi Israel Channel 10. Merkel dalam wawancara itu mengatakan: „Pengungsi dan orang-orang lain yang berasal dari kawasan Arab membawa bentuk lain dari antisemitisme ke negara kami".
Chancellor Merkel "saddened" that Jewish institutions in Germany still need police protection
01:14
Aiman Mayzek menyatakan, dia menghargai pandangan Kanselir Angela Merkel yang disebutnya "bernuansa”. Dia mengakui memang ada masalah itu di kalangan komunitas Islam. Namun dia juga menegaskan, antisemitisme sudah ada di Jerman sebelum para pengungsi datang.
"Kami menganggap ini masalah serius, bahwa sebagian pengungsi masih membawa sikap antisemitisme”, kata Mayzek. Dewan Muslim saat ini sudah memprakarsai rangkaian pertemuan antara kalangan Yauhdi di Jerman dan para pengungsi. Dewan Muslim juga menjalankan berbagai program pendidikan ekstra kurikuler, termasuk kunjungan ke bekas kamp penampungan Nazi.
Dalam wawancara dengan televisi Israel, Kanselir Angela Merkel mengatakan dia prihatin atas munculnya beberapa kasus serangan berlatar bekalang antisemitisme yang dilakukan warga Muslim belakangan ini. Kasus terakhir adalah serangan di Berlin terhadap seorang pemuda Israel yang memakai penutup kepala khas Yahudi, sekalipun warga Israel itu bukan orang Yahudi, melainkan keturunan Arab.
Dia diserang seorang pemuda pengungsi asal Suriah berusia 19 tahun, yang kemudian menyerahkan diri kepada polisi, setelah rekaman peristiwa itu tersebar di media sosial dan jadi berita besar di televisi Jerman.
Menyusuri Jejak Islam di Jerman
Beragam masjid dan komunitas Islam, sebagian kecil tempat menarik yang dikunjungi 14 intelektual Muslim Indonesia saat studi trip "Life of Muslims in Germany". Lokasi mana saja yang mereka singgahi? Berikut rangkumannya.
Foto: Privat
Singgah di Masjid Indonesia
Masjid Al-Falah, nama masjid milik warga Indonesia yang terletak di Berlin. Masjid yang dikelola Indonesische Weisheits und Kulturzentrum (IWKZ) dulunya merupakan pub. Para Intelektual muda yang mengikuti study trip Goethe tersebut tiba tepat Sholat Jumat sehingga bisa menikmati kuliner indonesia yang dijual untuk membiayai operasional masjid. Tiap tahun 4000 Euro harus dikumpulkan secara swadaya.
Foto: DW
Mengapa Warga Indonesia Berbeda?
Ketua IWKZ Dimas Abdirama menceritakan bahwa kegiatan di Masjid lebih berfokus sebagai ruang belajar bagi mahasiswa. "Dibandingkan pendatang lainnya, kita mempunya daya pikat kepada pemerintah Jerman yang membutuhkan banyak tenaga ahli," ujar ahli bioteknologi medis itu. Ada sekitar 4000 mahasiswa Indonesia studi di Jerman. Potensi ini menurut Dimas membuat orang Indonesia mudah diterima.
Foto: DW
Melihat Toleransi di Neukölln
Lewat program "Life of Muslims in Germany", 14 kaum intelektual muda Indonesia tidak hanya diajak berkenalan dengan Muslim Indonesia. Mereka juga diajak ke Neukölln untuk melihat bagaimana umat Muslim dari beragam aliran dapat hidup berdampingan. Masjid Al-Salam NBS milik aliran Sunni itu menurut Syekh Muhammad Thaha tidak hanya digunakan sebagai tempat keagamaan tapi juga kegiatan kemanusiaan.
Foto: DW/K. Salameh
Masjid yang Terbuka
Meski mayoritas umatnya adalah Sunni, namun menurut Syekh Thaha, masjid Al-Salam terbuka untuk seluruh jamaah, termasuk Syiah. "Kami tidak memaksakan ajaran tertentu, siapapun bisa datang ke masjid ini,"katanya. Masjid ini juga terbuka bagi seluruh warga Jerman yang ingin mengenal Islam atau warga imigran yang ingin belajar bahasa Arab.
Foto: DW
Alevi, Minoritas yang Mudah Diterima
Di Jerman, mayoritas umat Islam adalah Sunni (74%), namun di posisi ke dua ditempati kelompok asal Turki bernama Alevi (13%). Menurut Claudia Dette, pemandu perjalanan kami, Alevi kelompok yang paling mudah berintegrasi setelah Ahmadiyah. Rahasianya menurut Kadin Sahir adalah karena Syariah bagi Alevi adalah tunduk mengikuti konstitusi yang ada di negara di mana mereka berada.
Foto: DW
Masjid Dalam Gereja
Ibn-Ruysd Goethe, "Masjid Liberal" yang mengakui imam perempuan di Jerman dan terletak di gereja turut disambangi rombongan. "Masjid ini hadir sebagai bentuk protes atas paham ekstrimis di Jerman. Mereka menyebut diri liberal untuk memahami Islam pada konteks sekarang. Pada titik ini mungkin kita bisa sepakat dalam rangka mengaktualkan Islam," kata Ahmad Muttaqin, salah seorang peserta study trip.
Foto: Getty Images/S. Gallup
Menangkal Radikalisme Lewat Masjid
Sebanyak 50,6% 2,2 juta umat Islam di Jerman memiliki latar belakang keturunan Turki, itulah sebabnya di salah satu masjid terbesar milik warga Turki di Berlin, masjid Sehitlik, program yang ditawarkan lebih khusus lagi. Para peserta yang disambut Pinar Cetin, pemimpin Bahira menjelaskan organisasinya bertugas untuk melakuan konsultasi demi mencegah anak muda Muslim terhindar dari paham radikal.
Foto: DW
Mari Belajar Bersama
Tak melulu mengunjungi masjid. Peserta "Life of Muslims in Germany" juga singgah ke lembaga swadaya Morus14. Sebanyak 100 sukarelawan dari berbagai latar belakang budaya dan kelompok meluangkan waktunya mendampingi dan mengajar anak-anak berlatarbelakang imigran. Program seperti ini bertujuan untuk menanggulangi masalah integrasi yang kerap menjadi pekerjaan besar di Jerman.
Foto: DW
Merawat Ingatan
Beberapa museum yang dikunjungi terkait dengan Islam, namun di Museum The Story of Berlin, para peserta berkenalan dengan sejarah Jerman. Kisah Jerman Barat dan Timur serta diskirimasi di era NAZI jadi pengingat bagaimana perbedaan dapat memicu konflik. "Kita kerap melihat sejarah hal yang jauh dari kehidupan. Sementara bagi mereka sejarah hidup bersama kita sekarang," kata Heychael berkomentar.
Foto: DW
Mudah dan Nyaman
Selama berkeliling di Berlin, para peserta hilir mudik menggunakan beragam alat transportasi, seperti kereta bawah tanah. Jadwal yang teratur serta tempat yang nyaman menjadi pengalaman berbeda yang didapat bila dibandingkan dengan transportasi di tanah air. Tak sedikit yang terheran-heran ketika mengetahui sebagian besar tahanan di Berlin justru penumpanjg yang tertangkap tidak membeli tiket.
Foto: DW
Life of Muslims in Germany
Selama hampir 2 minggu, 14 intelektual muda Muslim Indonesia dari berbagai latar belakang komunitas Islam dan profesi di Indonesia tersebut diajak merasakan seperti apa kehidupan umat Muslim di Jerman. Lewat study trip "Life of Muslims in Germany" yang digagas Goethe Insitut Indonesia, peserta dapat mengenal kebijakan Jerman atas 4,7 juta warga Muslim yang hidup di negeri itu. (ts/rzn) Ed:ap