Ketua IEA Desak Tindakan Global yang Nyata Terhadap Iklim
12 Oktober 2021
Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional, Fatih Birol, sebut perlu ada tindakan global yang nyata dan bukan sekadar kata-kata terkait krisis iklim. Komitmen 2050 untuk capai nol bersih emisi masih jauh dari target.
Iklan
Sebagai kepala organisasi yang memberi nasihat kepada negara-negara tentang kebijakan energi, Fatih Birol punya pesan yang blak-blakan kepada pemerintah menjelang KTT iklim. Dia menginginkan "tindakan global yang nyata”, bukan hanya sekadar kata-kata.
"Saya ingin melihat sebuah rencana,” ujar Birol, direktur eksekutif Badan Energi Internasional, kepada AFP.
Dalam sebuah wawancara, dia membahas harapannya untuk pertemuan COP26 berdurasi dua minggu, yang akan diadakan di Skotlandia mulai 31 Oktober mendatang.
"Ada tiga hasil utama yang saya harap bisa dilihat. Yang pertama adalah: ketika kita melihat negara-negara hari ini, yang membuat komitmen untuk nol bersih (emisi) pada tahun 2050, bahwa meskipun komitmen itu terpenuhi, kita bahkan masih jauh dalam mencapai target tujuan iklim kita. Oleh karena itu, saya berharap ada penguatan dari komitmen tersebut,‘‘ katanya.
World Cities Day: Upaya Kota-kota Dunia Atasi Perubahan Iklim
Jumlah orang yang tinggal di perkotaan diperkirakan akan membengkak pada dekade mendatang, menambah tekanan pada kota metropolitan untuk mengurangi jejak karbon. Jadi, bagaimana upaya mengatasinya?
Foto: Reuters/S. Pamungkas
Tantangan pertumbuhan berkelanjutan
Menurut PBB, wilayah perkotaan menghabiskan lebih dari dua pertiga energi dunia dan bertanggung jawab atas 70% emisi karbon. Kota juga merupakan rumah bagi lebih dari separuh penduduk planet ini. Dengan perkiraan peningkatan populasi perkotaan, upaya kota-kota ini menangani air, polusi, limbah, transportasi dan energi menjadi sangat penting unguk mengatasi perubahan iklim.
Foto: Getty Images/AFP/T. Aljibe
Kopenhagen: Komitmen netralitas iklim
Kopenhagen berencana menjadi kota netral karbon pertama di dunia pada tahun 2025. Untuk sampai pada tujuan ini, ibu kota Denmark ini ingin 75% perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki, bersepeda atau dengan transportasi umum. Harga parkir mobil pun dinaikkan dan diinvestasikan untuk ratusan kilometer jalan sepeda. Sistem pemanas kota juga beralih menggunakan biomassa ramah lingkugnan.
Foto: Alexander Demianchuk/TASS/dpa/picture-alliance
Bogota: Mobilitas bagi jutaan orang
Data PBB menunjukkan bahwa sistem angkutan cepat bus di ibu kota Kolombia yang diluncurkan sejak tahun 2000 ini berhasil menurunkan emisi CO2 dan meningkatkan kualitas udara. Jaringan TransMilenio di Bogota mengangkut 2,4 juta penumpang setiap harinya dan mencakup 85% wilayah kota. Pemerintah berencana membuka metro pada 2022 dan mengganti bus diesel dengan bus hybrid dan lsitrik pada 2024.
Foto: Transmilenio Colombia
Johannesburg: Bertani di kota
Afrika dengan pertumbuhan kota tercepatnya di dunia menjadi tatanngan baru terkait permasalahan iklim seperti kerawanan pangan dan air. Di Johannesburg, Afrika Selatan, penduduk seperti Lethabo Madela menanam tanaman obat dan sayuran. Pejabat mengatakan kepada Reuters bahwa ada 300 pertanian semacam ini di kota berpenduduk 4,4 juta ini - di atap rumah, halaman belakang dan tanah kosong.
Foto: Guillem Sartorio/Getty Images
Singapura: Ruang hijau
Selain menyediakan makanan, taman juga dapat mendinginkan kota, menyerap CO2 dan mencegah banjir. Pusat bisnis Singapura terkenal akan jaringan area hijau dan taman yang mengesankan, termasuk Gardens by the Bay yang ikonik. Semua bangunan baru di negara-kota padat penduduk ini harus memiliki beberapa bentuk vegetasi, seperti taman gantung atau atap hijau.
Foto: picture-alliance/robertharding/B. Morandi
Oslo: Fokus kepada kualitas udara
Ibu kota Norwegia ingin mengatasi polusi udara dengan membuat semua mobil bebas emisi pada 2030. Oslo, dengan penduduk sekitar 690.000 orang, saat ini memiliki jumlah kendaraan listrik per kapita tertinggi di dunia. Pengemudi mendapatkan fasilitas seperti kredit pajak, akses jalur bus dan perjalanan gratis di jalan tol. Ketika polusi tinggi, kota dapat melarang sementara penggunaan mobil diesel.
Foto: DW/L.Bevanger
Seoul: Berurusan dengan sampah
Seoul berhasil kurangi limbah secara dramatis sejak tahun 1990-an dengan sistem "bayar saat membuang". Kota padat penduduk di Korea Selatan ini mendaur ulang 95% limbah makanannya, misalnya dengan tempat sampah otomatis yang menimbang dan menagih penduduk atas apa yang mereka buang dengan kartu identitas yang bisa dipindai. Limbah makanan kemudian diubah menjadi kompos, pakan ternak atau biofuel.
Foto: CC BY 2.0 kr
Rotterdam: Air dan pasang naik
Rotterdam rentan terhadap ancaman iklim seperti pasang naik karena berada di bawah permukaan laut. Untuk berlindung dari banjir, telah dibangun taman di puncak gedung untuk menyerap limpasan air, "alun-alun air" untuk menampung air hujan dan garasi parkir yang dirancang sebagai waduk. Pemerintah juga membangun struktur terapung - termasuk peternakan sapi ini - untuk menahan air yang merambah.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Corder
Reykjavik: 100% energi terbarukan
Islandia dapat menghasilkan energi terbarukan dengan cukup murah berkat melimpahnya sumber daya hidro dan panas bumi. Ibu kotanya, Reykjavik, adalah kota Eropa pertama yang sepenuhnya mengandalkan listrik terbarukan untuk menghangatkan rumah dan kolam renang. Bahan bakar fosil masih digunakan untuk transportasi dan perikanan, tetapi kota ini berharap dapat menghapus emisi tersebut pada tahun 2040.
Foto: picture-alliance/U. Bernhart
Vancouver: Bangunan hijau
Bangunan merupakan sumber utama emisi di kota karena daya yang mereka gunakan untuk penerangan, pendinginan dan pemanas. Vancouver ingin menjadikan semua bangunan baru netral karbon pada tahun 2030 dan bangunan lama pada tahun 2050. Contohmya Vancouver Convention Center yang memiliki atap hijau dengan 400.000 tanaman untuk mengisolasi panas dan menggunakan air laut untuk pemanasan dan pendinginan.
Foto: robertharding/Martin Child/picture-alliance
Surabaya: Sampah botol plastik untuk tiket bus
Sampah plastik merupakan salah satu permasalahan utama. Kota terbesar kedua di Indonesia ini terpilih oleh Guangzhou Institute for Urban Innovation sebagai salah satu kota paling berkelanjutan. Pemerintah kota meluncurkan proyek bus 'Suroboyo' yang memungkinakan penumpang membayar tiket dengan botol plastik bekas dan berhasil mengumpulkan hingga 250 kg sampah plastik tiap harinya. (Ed.: st/ae)
Foto: Reuters/S. Pamungkas
11 foto1 | 11
Peningkatan investasi energi bersih di negara berkembang
Yang kedua, menurutnya kesalahan besar dari seluruh perdebatan iklim adalah tentang masalah pengalokasian investasi pembiayaan energi bersih di negara-negara berkembang.
Iklan
''Lebih dari 80 persen emisi dalam 20 tahun mendatang akan datang dari negara-negara berkembang, dan hanya kurang dari 20 persen investasi energi bersih ditujukan ke negara-negara berkembang. Inilah mengapa sangat mendesak bagi negara dengan ekonomi maju, termasuk negara-negara G20, untuk memastikan bahwa pembiayaan investasi energi bersih di negara-negara berkembang jadi salah satu hasil utama dari pertemuan COP26,‘‘ tambahnya.
Sementara yang ketiga lebih bersifat politis, bahwa "para pemimpin pemerintahan yang menghadiri pertemuan COP harus memberikan sinyal yang tepat kepada para investor di seluruh dunia dengan mengatakan ‘Anda investor, jika Anda berinvestasi di sumber energi lama, Anda berisiko kehilangan uang'.
Birol juga menambahkan bahwa ada momentum politik yang luar biasa di seluruh dunia dari Cina ke Amerika Serikat, dari negara-negara Eropa ke Afrika. ''Tapi sekarang, momentum politik ini harus diubah menjadi tindakan nyata global, bukan inisiatif sporadis pemerintah di sana sini," katanya.
Biro menilai untuk memiliki target-target semacam itu sangatlah bagus , tetapi yang ingin ia lihat adalah "tonggak pencapaian untuk mencapai target-target itu dan bagaimana mereka membiayainya.''
Kota Hidrogen: Solusi Jangka Panjang bagi Indonesia?
03:32
Masalahnya ada di Asia, khususnya Cina, India, dan Indonesia
Birol mengatakan bahwa ia ingin melihat para pemegang kebijakan membuat perencanaan energi. ''Tentu saja, janji ini adalah awal yang baik, yakni memiliki komitmen untuk 2050. Tapi bagaimana ini akan diwujudkan?"
"Bagaimana cara kita menangani batu bara? Hari ini sepertiga dari emisi berasal dari penggunaan batu bara dalam pembangkit listrik. Ini adalah masalah utama,‘‘ tambahnya.
Dia menambahkan bahwa masalahnya ada di Asia, khususnya Cina, India, dan Indonesia. Menurutnya, dua negara besar membuat (naik emisi) hampir mendekati setengah dari populasi dunia dan lebih dari 60 persennya berasal dari batu bara.
''Bagaimana kita menyudahinya (pabrik batu bara) sebelum investasi dibayar kembali? Ini adalah masalah utama," jelas Birol.
"Ada kepercayaan umum bahwa setelah Covid, manusia akan menjadi orang yang lebih baik, dan kami mengatakan pada saat itu, jika tidak ada kebijakan pemerintah, kebijakan yang benar, kita akan melihat rebound besar dari jumlah emisi kita." tambahnya.
Lebih jauh Birol menjelaskan bahwa emisi global tahun ini akan meningkat ke level tertinggi kedua dalam sejarah. Oleh karena itu, hasil yang baik menurutnya tidak akan bisa didapatkan tanpa mengubah kebijakan pemerintah. ''Janji itu baik, retorika itu baik, tetapi kami tidak ingin melihat ada kesenjangan besar antara retorika dan kehidupan nyata,'' jelasnya.
"Saya tidak ingin mengejutkan siapa pun. Alasannya agar lebih banyak negara membuat 2050 nol bersih (komitmen), dan kami ingin menempatkan cermin di depan mereka: jika Anda mencapainya, ini yang harus dilakukan. Kami ingin menunjukkan kepada dunia bahwa itu adalah tugas yang sangat besar."