Pasca keputusan pengadilan arbitrase internasional, kaum nasionalis Cina meluapkan amarah pada Amerika Serikat. Untuk itu mereka memilih dua merek yang dianggap paling mewakili negeri paman sam itu, KFC dan Apple
Iklan
Restoran waralaba asal Amerika Serikat, Kentucky Fried Chicken (KFC) dan produsen komputer Apple, ikut terimbas oleh konflik Laut Cina Selatan. Kaum nasionalis Cina dikabarkan menggelar protes di depan cabang-cabang KFC dan menyerukan aksi boikot terhadap produknya.
Selain itu juga media sosial Cina mulai dipenuhi foto kaum muda mengenakan penutup wajah sedang menghancurkan ponsel Apple, iPhone.
Amarah kaum nasionalis bersumber pada keputusan pengadilan arbitrase internasional di Den Haag yang memenangkan gugatan Filipina atas klaim Cina di kepulauan Spratly. "KFC dan Apple adalah yang paling dekat diasosiasikan dengan Amerika Serikat. Mereka cuma mencari simbol terdekat yang bisa diprotes," tutur James Roy, Peneliti China Market Research Group.
Konsumen Politis
Aksi tersebut menegaskan fenomena unik di Cina, di mana konsumen kerap bereaksi atas situasi politik aktual. 2012 silam penjualan mobil Jepang misalnya menurun drastis setelah Tokyo dan Beijing bersitegang ihwal sebuah pulau di Laut Cina Timur.
Namun begitu kantor berita pemerintah, Xinhua, mengritik aksi tersebut. "Ini bukan cara yang baik buat mengekspresikan patriotisme. Jingoisme bertentangan dengan karakter bangsa," tulis media tersebut.
Seorang saksi mata melaporkan, sebuah kelompok beranggotakan "20 orang, termasuk anak-anak, menerobos masuk ke restoran dan mengusir semua pengunjung," tuturnya. Warga Cina yang masih membeli produk KFC dinilai bekerjasama dengan musuh.
Sebaliknya konsumen KFC menantang kaum nasionalis dengan memuat gambar ayam KFC di media sosial.
Dilema Cina di Selat Malaka
Cina mati-matian mempertahankan klaimnya di Laut Cina Selatan. Padahal pasang surut perekonomian negeri tirai bambu itu bergantung pada Selat Malaka. Kelemahan tersebut coba dimanfaatkan AS dan India
Foto: picture-alliance/ChinaFotoPress/Maxppp
Surutkan Pengaruh
Dengan segala cara pemerintah Cina berupaya mencaplok Laut Cina Selatan (LCS). Faktor ekonomi dan militer adalah motivasi terbesar di balik langkah sarat konflik itu. Ironisnya bukan pada Laut Cina Selatan perekonomian Cina bergantung, melainkan pada Selat Malaka. Manuver Beijing dalam konflik LCS justru melenyapkan sisa pengaruh Cina di jalur laut antara Indonesia dan Malaysia itu
Foto: Getty Images/AFP/R. Rahman
Blokade Laut
Sebanyak 80% impor energi Cina diangkut dengan kapal melewati selat Malaka. Tanpanya mesin ekonomi negeri tirai bambu itu akan cepat meredup. Serupa dengan strategi Iran di Selat Hormuz, berbagai negara besar yang berkonflik dengan Beijing telah mengadopsi blokade laut ke dalam strategi militernya untuk menundukkan Cina.
Foto: AP
Neraka Logistik
Blokade laut masuki masa kejayaan pada era Perang Dunia II dilanjutkan pada Perang Dingin dan Perang Irak 1991. Cara ini terbukti efektif memutus suplai logistik sebuah negara yang terlibat dalam perang. Saking efektifnya, diktatur NAZI Jerman Adolf Hitler perintahkan armada kapal selamnya buat menyerang semua kapal dagang yang berlayar dari AS ke Inggris.
Foto: Getty Images/AFP/K. Kasahara
India di Gerbang Selat Malaka
Sebab itu AS telah meracik strategi buat memblokir pasokan energi Cina di Selat Malaka. Baru-baru ini India bahkan menempatkan pesawat pengintai dan sejumlah kapal perang di Kepulauan Andaman dan Nicobar di gerbang utama Selat Malaka di Teluk Bengal. Jarak antara pulau Great Nicobar yang dijadikan pangkalan militer India dengan Selat Malaka cuma berkisar 650 kilometer
Foto: Getty Images
Jalur Kuno di Era Modern
Tidak heran jika Beijing sejak lama berupaya mencari jalan lain untuk mengimpor energi tanpa harus melewati selat Malaka. Untuk itu Cina berpaling dari laut dan fokus menggarap proyek infrastruktur di daratan. Rencana tersebut bukan hal baru. Beijing berniat menghidupkan kembali jalan sutera yang dulu aktif digunakan sebagai jalur dagang hingga abad ke-13.
Berpaling ke Myanmar
Salah satu wujudnya adalah proyek pembangunan pipa minyak seharga 2,5 milyar Dollar AS yang menghubungkan pelabuhan Kyaukphyu di Myanmar dengan Kunming di provinsi Yunan. Pipa sepanjang 2800 kilometer itu mampu mengalirkan 12 milyar ton minyak mentah per tahun. Proyek ini dituntaskan 2014 silam.
Pipa ke Teluk Persia
Proyek lain adalah menghubungkan pelabuhan Gwadar di Pakistan dengan provinsi Xinjiang. Koridor ekonomi itu buka akses Cina langsung ke negara produsen minyak di Teluk Persia. Tapi opsi ini tidak murah. Lantaran kondisi geografis yang didominasi pegunungan, biaya pembangunan pipa antara kedua wilayah bakal menambah ongkos 10 Dollar AS untuk setiap barrel minyak mentah.
Foto: picture-alliance/dpa
Gas dari Utara
Beijing juga berharap pada Rusia. Tahun 2014 silam kedua negara menyepakati pembangunan pipa minyak dan gas sepanjang 4800 km dari Angarsk menuju Daqing. Proyek seharga 400 milyar Dollar AS itu direncanakan bakal mampu mengangkut 1,6 juta barrel minyak per hari. Tapi Rusia menangguhkan pembangunan menyusul anjloknya harga minyak.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Fulai
Membelah Thailand
Cina bahkan mengusulkan pembangunan kanal laut di Thailand dengan mencontoh Terusan Panama. Proyek seharga 25 milyar US Dollar itu bakal menghubungkan Samudera Hindia dengan Teluk Thailand. Namun rencana ini ditolak oleh pemerintah di Bangkok lantaran masalah keamanan.
Opsi Terbatas
Analis berpendapat, rencana Cina membangun koridor darat untuk mengamankan pasokan energi justru menegaskan peran tak tergantikan Selat Malaka. Upaya Beijing diyakini cuma akan menambah keragaman jalur pasokan energi, tapi tidak akan mengurangi ketergangtungan Cina terhadap Selat Malaka.