1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Khawatir Invasi Cina, Taiwan akan Evakuasi Koleksi Museum

William Yang
18 Agustus 2022

Museum di Taiwan sedang mengerjakan rencana untuk mengevakuasi koleksi terpenting mereka jika Cina menginvasi pulau itu. Beberapa bahkan telah memulai latihan respons masa perang.

Museum Istana Nasional di Taipei
Museum Istana Nasional Taiwan di Taipei menyimpan lebih dari 700 ribu artefak yang berasal dari peradaban lampau di Cina daratanFoto: David Chang/EPA/dpa/picture alliance

Pada Juli lalu, Museum Istana Nasional Taiwandi Taipei mengadakan "latihan tanggap perang" untuk melatih staf tentang apa yang harus dilakukan jika terjadi perang.

Legislatif Taiwan telah mendesak museum untuk menetapkan protokol sejak Maret, tak lama setelah Rusia menginvasi Ukraina, agresi Moskow telah menimbulkan kekhawatiran Beijing melakukan invasi serupa ke Taipei.

Direktur Museum Istana Nasional Mi-Cha Wu mengatakan kepada anggota parlemen bahwa lembaga tersebut bekerja dengan badan keamanan nasional untuk mencari tempat aman guna menyimpan koleksi museum jika perang terjadi.

Selama konferensi pers pada 8 Agustus 2022, juru bicara DPR Taiwan You Si-kun mengatakan cabang eksekutif pemerintah akan memimpin rencana untuk memperkuat perlindungan dan kemungkinan evakuasi koleksi museum.

Apakah koleksi museum di bawah ancaman invasi Cina?

Menyusul kunjungan Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi ke Taiwan awal bulan ini, Cina mengadakan latihan militer tujuh hari di perairan sekitar Taiwan. Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) menembakkan rudal balistik sambil berulang kali mengirim pesawat militer dan kapal angkatan laut melintasi garis tengah Selat Taiwan. Tindakan ini menjadi sebuah demarkasi tidak resmi antara Cina dan Taiwan. Cina telah lama memandang Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan Beijing tidak melepaskan opsi untuk melakukan reunifikasi dengan kekerasan jika perlu.

Di tengah meningkatnya tekanan militer dari Cina, rumor mulai beredar di jagat maya Cina bahwa Taiwan berencana untuk memindahkan koleksi Museum Istana Nasional Taiwan ke Jepang dan AS. Museum membantah rumor ini dalam sebuah pernyataan dan mendesak orang Taiwan untuk tidak memercayai kabar itu.

Museum tidak akan membagikan rincian protokol evakuasi dengan DW, dan menyebutnya sebagai protokol "sangat rahasia." Sementara media AS, CNN, melaporkan bahwa latihan protokol itu melibatkan sekitar 90.000 buah artefak dari  700.000 item koleksi milik museum.

Patricia Huang, seorang ahli dalam studi museum di Universitas Pendidikan Nasional Taipei, mengatakan kepada DW bahwa sulit untuk menentukan tempat dan metode tertentu untuk mengangkut benda-benda tersebut.

"Sejujurnya, saya tidak tahu di mana, atau bahkan bagaimana, kami dapat mengirimkan harta itu dengan aman dan tenang pada saat ini," katanya.

Salah satu koleksi berharga Museum Istana Nasional Taiwan berupa seni lukis di era dinasti Song (960-1279)Foto: EPA/National Palace Museum/dpa/picture alliance

Sebagian besar museum di Taiwan memiliki rencana tanggap darurat yang membantu museum untuk menilai dan mengelola risiko, seperti kebakaran, banjir, atau serangan teroris, tetapi evakuasi masa perang belum menjadi prioritas, tambahnya.

Huang mengatakan prioritas museum selama perang adalah selalu keselamatan koleksi dan staf mereka. "Sebagian besar museum terletak di pusat kota dan itu berarti mereka kemungkinan besar akan terpengaruh jika ada konflik militer. Pemboman dan penjarahan adalah dua masalah terbesar," katanya.

"Semua barang yang dapat rusak akibat ledakan disarankan untuk dikeluarkan dari kotak kaca, dibungkus, dan disimpan di tempat yang aman. Mengangkut barang berharga memiliki risiko yang besar, tetapi terkadang memindahkan koleksi adalah satu-satunya pilihan yang layak. Setiap museum perlu mengevaluasi situasinya sendiri dengan hati-hati," tambah Huang.

Museum besar lainnya di Taiwan, Museum Nasional Taiwan, mengatakan kepada DW bahwa lembaga tersebut menerapkan rencana evakuasi.

Rencana tersebut mencakup daftar barang yang harus dievakuasi berdasarkan keunikannya dan rencana tempat menyimpan koleksi tersebut dengan aman. Museum itu mengatakan pihaknya berencana untuk mengadakan latihan tanggap perang pertama sebelum Desember 2022.

Museum di Taiwan sebagai simbol sejarah

Hampir 700.000 artefak budaya di Museum Istana Nasional Taiwan yang ada saat ini karena relokasi masa perang. Selama tahun 1930-an, pemerintah Cina yang dipimpin kelompok nasionalis memutuskan untuk memindahkan artefak budaya dari lokasi asli museum di Kota Terlarang di Beijing ke Shanghai dan Nanjing, saat Jepang bersiap untuk menyerang Beijing.

Museum Istana Nasional Taiwan menyimpan ragam artefak bersejarah yang dievakuasi dari daratan Cina saat perang saudara antara kelompok nasionalis dan komunis pecahFoto: David Chang/EPA/dpa/picture alliance

Kemudian, pada akhir tahun 1930-an, pemerintah Cina terpaksa memindahkan kembali harta karun tersebut ke beberapa lokasi di Provinsi Sichuan di bagian barat. Pada tahun 1947, koleksi museum dipindahkan kembali ke Nanjing dan kemudian ke Beijing.

Namun, di tengah perang saudara antara partai nasionalis, Kuomintang (KMT) yang berkuasa dan Partai Komunis Tiongkok, pasukan KMT membawa hampir 700.000 artefak dan barang-barang budaya atau bersejarah penting lainnya ketika mereka mundur ke Taiwan pada tahun 1948.

"Ketika koleksi Museum Istana Nasional dikemas pada tahun 1933, Cina barat daya tampak jauh lebih aman daripada Beijing. Hal yang sama dapat dikatakan tentang keputusan relokasi koleksi dari Beijing ke Taiwan pada tahun 1948," kata pakar studi museum Huang. "Setidaknya, ke sanalah pemerintah bersiap jika kalah perang saudara."

Museum di Taipei menjadi lembaga penting bagi para ahli Barat yang mempelajari budaya atau sejarah Cina kuno, karena Cina sebagian besar tetap tertutup bagi dunia selama tahun 1960-an dan 1970-an.

"Museum Istana Nasional adalah perwakilan penting dari budaya Cina, dan banyak cendekiawan yang ingin mempelajari lebih lanjut tentang peninggalan Cina kuno datang ke Taiwan untuk melakukan penelitian mereka,” Ya-hwei Hsu, seorang profesor sejarah seni di Universitas Nasional Taiwan, mengatakan kepada DW.

(rs/ha)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait