Khawatir Tekanan Rusia, Ukraina Berupaya Galang Dukungan AS
1 September 2021
Presiden Ukraina berkunjung ke Washington untuk bertemu dengan Joe Biden. Lawatan ini diyakini sebagai upaya untuk menggalang dukungan melawan agresi Rusia yang dikhawatirkan meningkat pascaperang di Afganistan.
Iklan
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky berencana meminta dukungan terkait modernisasi militer kepada Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden pada Rabu (01/09). Hal ini dilakukan menyusul munculnya kekhawatiran akan meningkatnya tekanan dari Rusia setelah penarikan pasukan AS dari Afganistan.
Para pejabat Rusia sebelumnya telah menyatakan bahwa apa yang terjadi di Afganistan adalah pelajaran bagi Ukraina, yang dinilai mengandalkan Barat dalam perang tujuh tahun mereka melawan kelompok separatis yang terkait dengan Moskow. Namun, Biden di sisi lain bersikeras bahwa mundurnya pasukan AS dari Afganistan adalah untuk mengakhiri distraksi berbiaya mahal guna menghadapi ancaman yang lebih besar, yakni Rusia dan Cina.
Zelensky sebelumnya telah berkunjung ke Pentagon pada Selasa (31/08), beberapa jam setelah pasukan terakhir AS lepas landas meninggalkan Kabul. Dalam kesempatan itu, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengatakan kepada Zelensky bahwa AS berkomitmen untuk terus menuntut Rusia agar "berhenti mengabadikan konflik” di Ukraina timur dan meninggalkan Krimea, semenanjung yang direbut Rusia dari Ukraina pada tahun 2014.
"Kami akan terus membantu Anda dalam menghadapi agresi Rusia ini,” kata Austin.
Austin juga menyoroti paket bantuan baru senilai $60 juta untuk militer Ukraina. Menurutnya, AS telah berkomitmen sebesar $2,5 miliar untuk pertahanan Ukraina sejak 2014, yaitu ketika Rusia melakukan intervensi karena Ukraina semakin mendekat ke Barat.
Ukraina galang dukungan AS
Saat berbicara pada Selasa malam, Zelensky mengatakan bahwa dirinya lebih ingin memperhatikan kebutuhan mendesak yang diperlukan oleh Ukraina, termasuk kebutuhan pasukannya di Laut Hitam. Menurutnya, lebih dari 13.000 orang telah tewas akibat konflik di kawasan itu.
Sengketa Wilayah Paling Berdarah di Bumi
Ribuan orang harus melepas nyawa demi mempertahankan atau berebut sepetak tanah di Bumi. Inilah konflik perbatasan paling mematikan di dunia saat ini.
Foto: Marco Longari/AFP/Getty Images
Laut Cina Selatan
Enam negara berebut dua gugusan pulau di Laut Cina Selatan: Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei dan Taiwan. Konflik seputar salah satu jalur dagang paling gemuk di dunia ini belakangan semakin memanas. Kepulauan Spratly pernah dua kali menjadi medan pertempuran antara Cina dan Vietnam, yakni tahun 1974 dan 1988. Terakhir kali kedua negara bertempur, Vietnam kehilangan 64 serdadunya.
Foto: imago/Westend61
Nagorno Karabakh
Sejak Perang Dunia I Armenia dan Azerbaidjan sudah saling bermusuhan. Perseteruan itu berlanjut saat kedua negara berebut Nagorno Karabakh, wilayah subur seluas pulau Bali. Antara 1988 dan 1992, Armenia dan Azerbaidjan terlibat konflik yang menewaskan lebih dari 35.000 serdadu dan warga sipil. April 2016 perang kembali berkecamuk selama empat hari. Lebih dari 100 orang dinyatakan tewas
Foto: Getty Images/B. Hoffman
Kashmir
Sejak 1989 India berperang melawan kelompok bersenjata yang disokong Pakistan di Jammu Kashmir. Sejak saat itu lebih dari 21.000 gerilayawan tewas dan sekitar 5000 pasukan India gugur dalam tugas. Perang di Jammu Kashmir merefeleksikan konflik wilayah antara India dan Pakistan yang sebagiannya juga direcoki oleh Cina. Hingga kini konflik Kashmir masih berlanjut tanpa jalan keluar
Foto: picture-alliance/dpa/J. Singh
Semenanjung Krimea
Semenanjung di Laut Hitam ini sebenarnya kenyang konflik. Kekaisaran Rusia pernah bertempur melawan koalisi Kesultanan Usmaniyah yang didukung Inggris dan Perancis di abad ke19. Pada 2014 silam Rusia kembali unjuk gigi dengan menyokong pemberontakan melawan Ukraina. Kini Krimea menyatakan diri merdeka dan menjadi negara boneka Moskow.
Foto: picture-alliance/ITAR-TASS
Preah Vihear
Kamboja dan Thailand saling serang berebut kawasan Preah Vihear antara 2008 hingga 2011. Lebih dari 40 orang tewas, termasuk warga sipil. Wilayah di sekitar candi Preah Vihear ini sudah menjadi sengketa sejak Perang Dunia II. Tahun 1962 pengadilan internasional mengakui klaim Kamboja atas kompleks candi yang dibangun pada abad ke 11 itu. Namun Thailand tetap mengklaim kawasan di sekitarnya
Foto: picture-alliance/dpa
Dataran Tinggi Golan
Wilayah pegunungan yang membelah Israel dan Suriah ini sudah sering membuahkan perang antara kedua negara. Pertama tahun 1967 pada Perang Enam Hari, dan terakhir tahun 1973 ketika Israel bertempur melawan koalisi Arab dalam Perang Yom Kippur. Dataran Tinggi Golan diminati karena letaknya yang strategis. Sejak 1967 kawasan subur ini dikuasai oleh Israel.
Foto: Reuters/B. Ratner
Sahara Barat
Sejak 46 tahun Maroko bertempur melawan Republik Sahrawi yang mengklaim seluruh Sahara Barat sebagai wilayahnya. Hingga kini sebagian besar kawasan sengketa seluas dua kali pulau Jawa ini masih dikuasai Maroko. Menurut catatan sejarah, sejak awal perang sudah 21.000 nyawa melayang.
Foto: DW/A. Errimi
Pulau Malvinas/Falkland
Digerakkan oleh rasa nasionalisme, Argentina 1982 menduduki pulau Malvinas yang dikuasai Inggris. Akibatnya perang berkecamuk dan hampir 1000 serdadu meninggal dunia. Malvinas alias Falkland adalah konflik peninggalan era kolonialisme. Kepulauan seluas Nusa Tenggara Barat itu sudah diperebutkan oleh Spanyol dan Inggris sejak abad ke18
Foto: picture alliance/dpa/F. Trueba
Osetia Selatan & Abkhazia
Lebih dari 500 serdadu dan warga sipil tewas ketika Rusia mencaplok wilayah Georgia dan mendeklarasikan negara boneka. Abkhazia sudah bertempur demi kemerdekaan sejak awal 90an. Saat itu kelompok separatis melakukan pembersihan etnis Georgia. Lebih dari 10.000 orang tewas dan ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi. Perang etnis juga terjadi di Osetia Selatan antara 1989 hingga 1998.
Foto: Marco Longari/AFP/Getty Images
9 foto1 | 9
"Kami tidak punya waktu untuk memikirkan strategi. Kami harus menyediakan perlindungan sebanyak mungkin untuk benar-benar mencegah semakin kuatnya agresi [Rusia],” kata Zelensky.
"Ukraina membutuhkan armada modern dan untuk ini kami membutuhkan mitra,” katanya. "Saya ingin mendiskusikan ini dengan Presiden Biden,” tambahnya.
Pada awal tahun ini, Rusia telah mengumpulkan sekitar 100.000 tentara di perbatasan Ukraina dan di Krimea, memicu kekhawatiran akan terjadinya invasi di awal masa jabatan Biden.
Pasukan Rusia kemudian dilaporkan mundur pada bulan April. Namun, sebagian besar peralatan militer mereka masih tetap berada di sana. Sementara itu, Zelensky juga sempat menyuarakan kekhawatiran terkait September yang "berbahaya” ketika Rusia menggelar latihan militer dengan Belarus.
Zelensky mengatakan Ukraina saat ini masih bergantung pada peralatan Soviet yang sudah tua. Itulah sebabnya, ia ingin Ukraina menjadi mitra produksi yang lebih besar dengan Amerika dan bekerja sama lebih erat dalam keamanan siber dan mencegah disinformasi.
"Kami tidak meminta hadiah apa pun,” kata Zelensky. "Kami membutuhkan peluang untuk para spesialis kami.”
Iklan
Situasi Afganistan peringatan bagi Ukraina?
Menurut Alyona Getmanchuk, direktur New Europe Center di Kiev, Ukraina sejatinya jauh lebih sedikit bergantung pada dukungan Barat dibanding bekas pemerintah Afganistan.
Meski begitu, penarikan pasukan Amerika dari Afganistan telah memicu lonceng alarm di seluruh Ukraina dan menjadi peringatan bagi mereka yang percaya bahwa dukungan Barat yang berkelanjutan dapat diandalkan tanpa batas waktu, demikian tulis Getmanchuk dalam sebuah blog untuk Dewan Atlantik yang berbasis di Washington.