Di saat banyak ulama dan tokoh Muslim sibuk urus aliran, sekte, mazhab, pandangan, dan pemikiran keagamaan dan keislaman orang lain, kiai eksentrik ini sibuk urus lingkungan hidup yang kian terancam akibat ulah manusia.
Iklan
Kiai Tantowi Jauhari Musaddad dari Garut, Jawa Barat, adalah salah seorang ulama yang tergolong langka di Indonesia. Bukan karena ilmu dan wawasannya karena banyak ulama yang berilmu tinggi dan berwawasan luas di negara-kepulauan ini. Tetapi lantaran pandangan, pemikiran, dan praktik keagamaannya yang cukup unik. Di saat banyak ulama dan tokoh Muslim yang sibuk mengurusi aliran, sekte, mazhab, pandangan, dan pemikiran keagamaan dan keislaman orang lain, kiai eksentrik ini malah sibuk mengurusi alam dan lingkungan hidup yang kian terancam kelestariannya karena kebodohan, kecerobohan, dan keserakahan umat manusia.
Menurut Kiai Tantowi, "Alam kini sedang menggeliat sehingga sering kali menimbulkan bencana, baik gempa, banjir, tanah longsor, angin topan, dlsb. Alam marah karena tingkah laku manusianya yang sudah berada di ambang batas normal. Maksiat, korupsi, penebangan liar, industrialisasi tanpa wawasan lingkungan, dan perbuatan buruk lainnya manusia telah membuat alam ini murka.”
Karena itu, menurutnya, masyarakat harus menjaga lingkungan hidup secara baik dan manusia harus mampu mengubah sikap hidup secara Islami dengan mengamalkan ajaran-ajaran Islam dan perintah Al-Qur'an yang menekankan pentingnya menjaga lingkungan hidup dan merawat alam semesta serta menghindari perbuatan yang berpotensi merusak alam dan lingkungan.
Menggagas fatwa lingkungan
Pernah suatu saat "kiai lingkungan hidup” ini mengadakan musyawarah para ulama guna membicarakan masalah krisis lingkungan sekaligus untuk menghasilkan sebuah "fatwa lingkungan”. Sidang para ulama itu memutuskan beberapa keputusan penting, antara lain, tentang kewajiban memelihara dan melestarikan lingkungan hidup. Sebaliknya, haram hukumnya bagi siapa saja yang melakukan tindakan atau kegiatan perusakan alam dan lingkungan.
Kiai Tantowi—dan para ulama Garut—juga memfatwakan bahwa penanaman pohon untuk penghijauan, pelestarian lingkungan dan pencegahan banjir merupakan salah satu bentuk shadaqah jariyah yang akan mendapatkan limpahan pahala dari Tuhan. Mereka juga menyerukan bahwa pelestarian lingkungan merupakan salah satu wahana mendapat ampunan dari Allah SWT. Akhirnya para ulama Garut mengatakan kepada orang-orang yang berdosa besar dan hendak bertobat tidak perlu mojok di dalam masjid, membaca istighfar ribuan kali, tetapi cukup dengan mengadakan penghijauan!
Peliharalah, Bukan Merusak
Baik Islam, Buddha. Hindu, Kristen, Katholik dan Yahudi, memiliki kitab suci yang memberikan petunjuk dalam kehidupan. Di dalamnya mengajarkan para pengikut agama tersebut untuk merawat bumi dan lingkungannya.
Foto: Jody McIntryre / CC-BY-SA-2.0
Melestarikan Ciptaan
Adam dan Hawa di Taman Eden: Kristen dan Yahudi meyakini memelihara ciptaan Tuhan adalah satu tugas yang Tuhan percayakan kepada manusia: "Dan Tuhan menempatkannya di Taman Eden untuk bekerja dan memelihara taman itu" .(Alkitab: Kejadian 2: 15)
Foto: Jonathan Linczak / CC BY-NC-SA 2.0
Yahudi dan Kristen Alkitab berbagi pesan kunci
Kisah penciptaan diceritakan dalam perjanjian lama Kitab Musa. Kitab pertama Musa adalah bagian dari kitab Taurat, bagian pertama dari kitab Yahudi, yang disebut Tanakh.
Foto: Lawrie Cate / CC BY 2.0
Buku paling laku di dunia
Kisah penciptaan juga bagian sentral dari Perjanjian Lama dalam kitab suci umat Kristen, yang menjalin bagian-bagian dari teks-teks suci Yahudi. Alkitab adalah teks tertulis yang paling banyak digunakan dan paling sering dipublikasikan di dunia.
Foto: Axel Warnstedt
"Aturan ketertiban" manusia
"Dan Allah memberkati mereka, lalu berfirman: Beranakcuculah dan bertambah banyak, memenuhi bumi dan menaklukkannya. Berkuasalah atas ikan-ikan di laut, dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi "(Alkitab, Kejadian 1: 28).
Foto: Axel Warnstedt
Bekerja dengan berhati-hati atas ciptaannya
Dalam Islam, ciptaan Allah harus dilindungi. Manusia dapat memanfaatkannya, tapi dengan secara baik: "Matahari & bulan beredar menurut perhitungan, bintang-bintang dan pohon-pohon tunduk pada-Nya. Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca keadilan. Jangan ganggu keseimbangannya. Tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu menguranginya". (Al Qur‘an, Surat 55, 3-10)
Foto: sektordua / CC BY 2.0
Jangan sebabkan kerusakan di muka bumi
Al-Qur'an berisi petunjuk khusus dan rinci bagi umat Muslim. Banyak petunjuk di dalamnya yang langsung berkaitan dengan masalah lingkungan dan alam. Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". (Al Qur'an, Surat Al-Baqarah: 2, 11)
Foto: Axel Warnstedt
Hindu dalam siklus abadi
Dalam semuanya bergerak dalam siklus di mana masing-masing komponen – kelahiran atau kematian, terlihat atau tidak terlihat – semua terulang secara terus-menerus. Manusia adalah bagian dari dunia ini, statusnya sama seperti makhluk hidup lainnya.
Foto: public domain
Selalu menjaga keseimbangan
Keseimbangan alam harus dipertahankan. Siapa yang sudah mengambil sesuatu, harus mengembalikannya. Dewa mengurus berbagai kebutuhan hidup: "…dengan pengorbanan, Dewa akan memberkati apa yang kamu butuhkan. Ia yang menikmati apa yang para dewa beri, tanpa memberi imbalan sesungguhnya adalah pencuri . "(Bhagavad Gita 3:12)
Foto: Jody McIntryre / CC-BY-SA-2.0
Semua saling terkait
Dalam bahasa Pali pada kitab awal Buddha, terdapat tulisan mengenai segala sesuatu yang saling ketergantungan dan keterkaitan: "Sesuatu yang ada, memiliki keberadaan. Eksistensi muncul dari keberadaannya. Jika sesuatu tidak ada, maka eksistensinya pun tiada. Dengan terhentinya sesuatu, maka hal ini akan selesai. "(Pali, Samyutta Nikaya II, 12:21)
Foto: Mixtribe-Photo / CC BY 2.0
9 foto1 | 9
Fatwa ini tentu saja "sangat ekstrem”. Tetapi pesan penting yang ingin disampaikan Kiai Tantowi dan para ulama Garut adalah; bencana alam bukanlah sebuah takdir Tuhan, akan tetapi berkaitan erat dengan masalah moral atau akhlak manusia. Disinilah komunitas agama memiliki tanggung jawab untuk berteriak tentang pentingnya pemeliharaan lingkungan dan bahaya pengrusakan alam bagi kehidupan ekosistem dan bumi tempat berpijak dan berkehidupan ini. Bukannya menghindar dari tanggung jawab dan malah "cuci tangan” serta menganggapnya sebagai "takdir Tuhan”.
Luput dari perhatian
Masalah lingkungan atau wawasan ekologi ini hampir-hampir luput dari pembahasan para ulama dan sarjana Muslim. Mereka mampu berbicara panjang lebar dan detail mengenai "dunia lain” (alam akhirat beserta isinya: surga, neraka, malaikat, bidadari, dlsb), ibadah ritual (salat, puasa, zikir beserta pernik-perniknya), teologi (sifat Tuhan, zat Tuhan dan seterusnya), moralitas individual, dlsb. Tetapi hampir-hampir tidak menyinggung masalah dunia ekologi dan lingkungan hidup. Padahal lingkungan adalah masalah yang sangat fundamental dalam kehidupan kita. Akibat orang tidak mengindahkan lingkungan, penyakit dan malapetaka terjadi di mana-mana.
Dunia dewasa ini tidak hanya terjangkit krisis ekonomi, krisis moneter, krisis minyak, krisis moral, krisis politik, krisis iptek, krisis budaya, dlsb tetapi juga krisis lingkungan. Lihatlah pemandangan memerihkan hati yang sering muncul dewasa ini: banjir, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, polusi, badai, cuaca yang labil dlsb hampir datang bertubi-tubi silih berganti. Alam di jagat raya ini seolah mengamuk dan mengancam kehidupan manusia penghuni bumi. Sudah tidak terhitung lagi berapa nyawa yang melayang, berapa jumlah anak yatim-piatu atau orang tua yang kehilangan buah hatinya yang masih tersisa, berapa jumlah harta benda dan properti lain yang amblas ditelan bencana.
Bersembayang dengan Cara Ekologis
Pakar lingkungan India menemukan cara baru untuk mengolah bunga yang dipersembahkan di kuil. Bunga-bunga yang digunakan dalam upacara keagamaan biasanya dibuang ke sungai, menyebabkan polusi sampah organik.
Foto: DW
Negara dengan Ribuan Kuil dan Sungai
Upacara keagamaan di ribuan kuil punya dampak buruk bagi banyak sungai India. Ribuan umat berbondong-bondong pergi ke kuil seperti Birla Mandir Laxminarayan di New Delhi yang tampak pada foto. Mereka tiap hari berdoa, mencium wewangian kemenyan dan menemukan ketenangan di tengah keributan kota yang sibuk.
Foto: picture alliance/DINODIA
Mengatakannya dengan Bunga
Sejalan dengan doa-doa mereka, umat juga memberikan persembahan berupa bunga kepada dewa-dewi, untuk menunjukkan keterikatan dan cinta kepada mereka. Kebiasaan memberikan bunga berakar pada semua agama di India. Bunga bisa ditemukan di kuil Hindu, di Gurudwara yang didatangi kaum Sikh dan di tempat umat Islam beribadah. Ini adalah kebiasaan yang sudah dikenal sejak kecil.
Foto: DW/A. Ashraf
Dari Pemujaan Menjadi Polusi
Jika umat sudah memberikan persembahan bunga mereka, sebagian membawa pulang untuk digunakan lagi di altar-altar kecil di rumah tinggal. Jika bunga sudah kering, mereka membuangnya ke sungai. Sebagian besar dari mereka tidak memikirkan dampak tindakan mereka terhadap lingkungan.
Foto: DW/A. Ashraf
Persembahan Bertumpuk
Di New Delhi saja ada 23.000 kuil, dan penjual bunga mudah ditemukan di jalanan. Studi yang dilakukan organisasi lingkungan hidup ORM Green menyingkap, setiap harinya sekitar 20.000 kg bunga dibuang dari kuil-kuil New Delhi. Itu sekitar separuh jumlah sampah organik di kota metropolitan tersebut. Sekitar 80% dari bunga kemudian membusuk di sungai Yamuna.
Foto: DW/A. Ashraf
Masalah Polusi
Warga India yang beragama Hindu menganggap sungai sesuatu yang suci, tetapi banyak sungai India yang sangat tercemar. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah India sudah mengeluarkan dana sekitar 20 milyar Euro untuk membersihkan sungai Yamuna. Tetapi hasilnya tidak tampak akibat korupsi. Pada foto tampak seorang anak kecil memilih sampah di sungai Tawi, India utara.
Foto: picture alliance / dpa
Ide-Ide Baru
Karangan bunga warna-warni yang indah di kuil adalah kontras yang jelas terhadap isu polusi yang membebani sungai-sungai India. Tetapi kebiasaan bisa berubah, kata Anita Kalsi, wakil presiden ORM Green. Organisasi non pemerintah ini sudah mengajukan beberapa cara baru untuk mengolah kembali bunga, dan membuat ritual doa lebih ramah lingkungan.
Foto: DW/A. Ashraf
Dari Bunga Jadi Bensin
Kalsi dan kolega-koleganya dari organisasi ORM Green mengembangkan mesin untuk memproses kuncup dan bunga hasilnya bisa dijadikan batang kemenyan dan bahan bakar bio untuk memasak. Pembuatan mesin itu butuh waktu setahun, dan dana 10.000 Euro untuk mendesain prototipenya, yang diberi nama "bunga yang diberkati". Prototipe itu sekarang ada di kuil Sai Baba di New Delhi.
Foto: DW/A. Ashraf
Meningkatkan Kesadaran
Dalam beberapa tahun ke depan, ORM Green ingin menjangkau banyak kuil lainnya dengan menempatkan sedikitnya 30 mesin daur ulang bunga di seluruh New Delhi. Mereka juga berencana memperbaiki mesin untuk mengolah batang dan daun tumbuhan. Kendaraan seperti ini sudah disiapkan untuk mengumpulkan bunga setelah digunakan untuk persembahan dan meningkatkan kesadaran akan proyek itu.
Foto: DW/A. Ashraf
Spiritual dan Terbarukan
Umat di Sai Baba Mandir setujui cara baru untuk gunakan kembali persembahan bunga "pooja". Beberapa dari mereka juga gunakan cara sendiri untuk mendaur ulang, misalnya memakai bunga yang sudah busuk untuk menjadi pupuk bagi tanaman mereka. Dengan dukungan administrator kuil dan massa, ORM Green sebarkan teknologi ini ke seluruh India, menyatukan spiritualitas dengan kelangsungan dalam hal praktis.
Foto: DW
9 foto1 | 9
Kenapa umat beragama (termasuk umat Islam) tidak menganggap penting masalah lingkungan sebagaimana ibadah ritual-individual? Kenapa umat Islam jarang tertarik melakukan penghijauan, menjaga kebersihan dan melakukan kegiatan lain yang bernuansa "ramah lingkungan” dan mencegah berbagai madlarat (ekses negatif) yang mungkin ditimbulkan dari alam yang tidak sehat?
Selalu menyalahkan Tuhan?
Sebaliknya, kenapa umat Islam lebih bergairah mengikuti aktivitas rohani: pengajian, dzikir nasional, istighatsah dan semacamnya? Meskipun tentu saja tidak ada salahnya mengikuti berbagai aktivitas ini. Kenapa pula, meskipun bencana alam sudah terjadi sejak zaman purba bersamaan dengan kehidupan manusia, umat beragama tidak kunjung merenovasi wawasan keagamaan dan teologinya—sebuah wawasan keagamaan atau teologi yang berbasis ekologi atau katakanlah wawasan "eko-teologi”?
Dan kenapa pula setiap terjadi bencana atau malapetaka, umat beragama dengan enteng tanpa beban dan perasaan dosa menganggap (menuduh?) sebagai takdir Tuhan? Sebagai cobaan atau azab dari Tuhan. Tuhan selalu "dikambinghitamkan” setiap terjadi malapetaka. Hampir-hampir tidak pernah, kita, menuduh diri kita sendiri sebagai subyek yang bertanggung jawab terhadap malapetaka dan bencana tadi.
Karena adanya keyakinan bahwa setiap malapetaka sebagai "siksa” atau "cobaan” dari Tuhan, maka setiap kali terjadi peristiwa yang menyayat kalbu itu, yang dilakukan umat beragama adalah berdo'a, mohon ampun, istighatsah, menggelar zikir nasional sambil nangis-nangis dan seterusnya. Saya tidak meremehkan aktivitas ritual batin semacam ini akan tetapi "terapi spiritual” jenis ini di samping merendahkan (bahkan "mengolok-olok”) martabat Tuhan karena menganggap-Nya sebagai zat yang "Maha Buas”, juga dengan cara demikian berarti kita hendak "cuci tangan”—melepaskan tanggung jawab—dari musibah kemanusiaan itu.
Pohon-pohon ini Sungguh Aduhai
Pohon memberi banyak arti bagi kehidupan manusia. Setiap pohon punya keunikan tersendiri. Beberapa di antaranya dikagumi karena keindahannya. Bahkan jika berada di dekatnya, kita bisa tenang melakukan refleksi.
Foto: Getty Images/C. McQuillan
Pohon Wisteria, Cina
Sungguh menawan pohon westeria ini. Pohon yang dikenal dengan sebutan pohon Fuji ini bisa mencapai usia di atas seratus tahun. Karena panjang menjuntai, dahan dan rantingnya bisa diatur menjadi terowongan bunga. Pohon ini banyak ditemukan di Cina dan Jepang.
Foto: Picture-alliance/ZB/F. Schuhmann
Pohon Maple, Oregon, AS
Indah bagai lukisan. Pohon-pohon Maple yang indah ini ditanam di Taman Jepang di Portland, Oregen, Amerika Serikat dan menjadi salah satu daya tarik wisatawan. Keindahan amat mencuat pada musim gugur, dimana daun-daunnya berwarna kuning, merah serta orange keemasan.
Foto: Imago/D.Delimont
Pohon Sakura, Bonn, Jerman
Di kota Bonn tempat kantor DW berlokasi, sepanjang jalanan kawasan kota tua dipenuhi pohon Cherry. Saat Cherry Blossom alias musim bunga Sakura, biasanya di bulan April-Mei, deretan pohon ini memamerkan kecantikannya. Wisatawan biasanya memenuhi jalanan untuk berfoto dan menikmati keinmdahan bunga Sakura..
Foto: Anke Staudacher
Pohon Angel Oak, di South Carolina, AS
Perhatikan batangnya yang merambah kemana-mana. Pohon Angel Oak di South Carolina, Amerika Serikat ini tampak unik. Tingginya bisa mencapai 20 meter. Sedangkan usianya bisa mencapai 1400 tahun.
Foto: Imago/Danita Delimont/J. Wells
Pohon Flamboyan, Mauritius
Flamboyan adalah tanaman yang khas dengan batang besar dan bunga merah cerah. Pohon ini menyebar di berbagai negara tropis, seperti Indonesia atau Brazil. Sementara, yang tampak dalam foto ini terdapat di Mauritius.
Foto: Imago
Pohon Sequoia, Kalifornia, AS
Besarnya luar biasa. Pohon Sequoia, yang tumbuh di Kalifornia dalam foto ini termasuk yang diameternya paling besar sedunia dan diberi nama General Sherman. Tingginya bisa mencapai 84 meter. Diameternya mencapai lima meter. Usia pohon raksasa ini bisa mencapai di atas 2500 tahun.
Foto: MLADEN ANTONOV/AFP/Getty Images
Pohon Rainbow Eucalyptus, Hawaii
Sekilas batangnya tampak seperti dicat. Tapi ini alami. Pohon ini batangnya memang berwarna-warni layaknya pelangi. Pohon ini sejenis pohon kayu putih (Eucalyptus). Tapi Rainbow eucalyptus tidak menghasilkan minyak kayu putih. Pohon ini bisa ditemukan di beberapa wilayah di Indonesia seperti di Pulau Seram dan Sulawesi. Namun yang tampak dalam foto ini berada di Hawaii.
Foto: Imago
Jacaranda, Marikana Afrika Selatan
Jika berbunga, warnanya ungu. Jacaranda adalah genus dari 49 spesies tanaman berbunga dalam keluarga Bignoniaceae. Aslinya dari daerah tropis dan subtropis dari Amerika Tengah dan Selatan. Tapi ditanam luas di Asia, terutama di Nepal. Pohon Jacaranda juga bisa dijumpai di Afrika Selatan, seperti dalam foto.
Foto: Getty Images/M.Safodien
Pohon Baobab, Madagaskar
Keunikan Pohon Baobab, di Madagaskar ini adalah batangnya yang gendut bisa menampung air, yang tentu saja amat bermanfaat di musim kering.
Foto: Imago/Mint Images
Pohon Dark Hedges, Irlandia Utara
Pohon Dark Hedges mulai ditanam di Irlandia Utara pada abad ke 18. Tumbuh di sepanjang jalan, pepohonan ini membentuk terowongan yang menakjubkan.
Foto: Getty Images/C. McQuillan
10 foto1 | 10
Padahal, jika kita menggunakan perspektif Schumacher dalam A Guide for the Perplexed, masalah krisis lingkungan ini sangat terkait dengan krisis kemanusiaan, dengan moralitas sosial serta krisis orientasi kita terhadap Tuhan! Mengikuti kerangka berpikir Schumacher ini, maka seharusnya kita—manusia—yang dipersalahkan dan bukannya Tuhan yang "dikambinghitamkan”. Kitalah yang melakukan berbagai tindakan destruktif terhadap alam semesta. Perusakan lingkungan, penebangan liar, eksploitasi properti alam secara besar-besaran dan segala tindakan merusak alam lain merupakan "sumber” malapetaka dan bencana tadi.
Bukankah Al-Qur'an sendiri juga telah mengingatkan bahwa "Kerusakan di darat dan di laut adalah akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab”? Jika Al-Qur'an sendiri menganggap manusia sebagai "otak” dari kerusakan lingkungan, lalu kenapa kita justru menyalahkan Tuhan? Bukankah, kita umat manusia—jika mengikuti alur cerita kitab-suci Agama Semit—pada dasarnya "terlempar” ke dunia yang gersang dan tandus ini juga akibat kecerobohan Adam yang tidak mengindahkan ajaran fundamental Tuhan, yakni kearifan ekologis? Sebab Adam dan Hawa (Eva) telah memakan dan merusak "pohon kekekalan”.
Perlunya restorasi nalar pemikiran
Beberapa masalah di atas, yang menimpa hampir semua agama tidak hanya Islam saja, sangat terkait dengan "wawasan teologis” umat beragama itu sendiri. Dalam perspektif Islam, wawasan teologis yang dibangun selama ini hanyalah hal-ihwal yang berkaitan dengan akhirat, kurang memberi respons proporsional mengenai masalah keduniaan. Wawasan teologi umat Islam memandang masalah ibadah hanyalah yang berhubungan dengan ruang privat (bukan ruang publik); bahwa pahala-dosa adalah berkaitan moralitas individual (bukan moralitas sosial); bahwa ibadah yang "wajib ain” hanyalah yang berkenaan dengan ritual-individual (bukan sosial-komunal) dan seterusnya.
Pemahaman demikian hampir-hampir sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia kaum Muslim: agama, dengan begitu, sudah menjadi bagian dari kebudayaan umat Islam. Inilah kira-kira yang dimaksud Emile Durkheim ketika ia berteori bahwa "agama dan masyarakat” merupakan dua entitas yang tidak bisa dipisahkan.
Mindset demikian tentu saja sangat sulit untuk ditembus dan dilawan. Padahal jika kita teliti dengan cermat, pemahaman keislaman seperti tadi merupakan produk dari pemahaman atau wawasan keislaman yang dibentuk masa imperium Islam di Abad Pertengahan, bukan berangkat dari semangat dan wawasan keislaman yang diusung Nabi Muhammad dan juga tidak dibangun dari cita-cita etik Al-Qur'an.
Kita tahu watak, semangat dan mentalitas sebuah monarkhi adalah "stabilitas”. Logika "stabilitas” selalu menempati urutan pertama dari sebuah rezim politik, bukan keadilan, persamaan, kemaslahatan, kecerdasan dan seterusnya. Sementara spirit profetik dan cita-cita etik Al-Qur'an jelas terciptanya sebuah sistem atau tatanan kehidupan yang demokratis dalam segala hal, termasuk demokratis terhadap alam. Bukankah "motto Islam” adalah rahmatan lil alamin—rahmat bagi sekalian alam? Kata alam di sini jelas bukan hanya mahluk hidup seperti manusia dan binatang saja tetapi juga alam semesta.
Taman Langit untuk Kota Masa Depan
Ketika diluncurkan 2014 silam Urban Skyfarm menjadi model pengembangan ruang terbuka hijau buat kawasan urban. Ide yang dicetuskan di Korea Selatan itu menggabungkan berbagai konsep hijau untuk kota masa depan.
Foto: aprilli.com
Keterbatasan Ruang
Efisiensi ruang adalah kalimat magis yang mendefinisikan tata kota masa depan. Pasalnya keterbatasan ruang membuat fasilitas publik seperti taman sering dikorbankan untuk pembangunan. Ketika ruang menyusut, maka langit adalah satu-satunya arah pembangunan. Resep yang sama berlaku untuk ruang terbuka hijau.
Foto: aprilli.com
Lokalisasi Produksi
Masalah lain kota masa depan adalah pasokan makanan yang saat ini masih bergantung pada struktur distribusi nasional atau global. Untuk memangkas jejak karbon, produksi makanan harus dilokalisasi pada lingkup desa atau kota. Untuk itu taman kota yang awalnya cuma bersifat ruang hijau dan hiburan, harus diubah menjadi ruang produksi.
Foto: aprilli.com
Menara Hijau
Berdasarkan kedua pola pikir tersebut Aprilli Design Studio mengembangkan konsep Urban SkyFarm untuk ibukota Korea Selatan, Seoul. Taman langit yang berbentuk menara ini tidak cuma berfungsi sebagai ruang terbuka hijau, tetapi juga sebagai lahan berkebun dan paru-paru kota.
Foto: aprilli.com
Desain Alam
Pohon adalah sumber inspirasi terbesar buat Urban SkyFarm. Dengan menyontek desain alam, arsitek Aprilli bisa memanfaatkan perbedaan karakter masing-masing komponen pohon seperti akar, cabang, batang dan daun untuk berbagai jenis perkebunan. Bagian dahan dan daun misalnya cocok untuk menanam pohon yang membutuhkan banyak matahari. Sementara bagian batang bisa dibuat kebun hidroponik.
Foto: aprilli.com
Energi Bersih
Konsep SkyFarm disempurnakan dengan menambah produksi energi hijau. Selain panel surya seluas 3.200 meter persegi, menara hijau ini juga menggunakan turbin angin untuk memproduksi energi. Listrik yang dihasilkan bisa digunakan untuk pencahayaan dan pemanas di malam hari.
Foto: aprilli.com
Efisiensi Sumber Daya
SkyFarm juga menampung air hujan, memanfaatkannya untuk tanaman, mengolah limbahnya hingga bersih dan mendistribusikan air yang telah diolah ke saluran umum. "Taman ini dikonsep untuk menjadi pusat agrikultur buat komunitas lokal yang menyediakan ruang untuk kehidupan sosial dan ekonomi."
Foto: aprilli.com
Ruang Sosial
Jantung utama SkyFarm terletak pada konsep ruang sosial untuk publik umum. Hasil panen misalnya akan langsung dijual di pasar makanan yang terletak di lantai dasar. Konsepnya yang bersifat terbuka memungkinkan penduduk untuk bercocok tanam demi konsumsi pribadi, barter atau dijual. Aprilli ingin menjaga karakter sosial sebuah perkebunan kolektif pada Urban SkyFarm.
Foto: aprilli.com
Solusi Masa Depan
"Urban Skyfarm menciptakan ekosistem mini yang mengembalikan keseimbangan pada komunitas urban," tulis Aprilli dalam situsnya. Kendati desainnya mulai menua, konsep Urban SkyFarm yang mengubah lanskap urban menjadi ruang produksi hijau, paru-paru kota dan taman vertikal kini menjadi solusi paling ideal untuk kota masa depan.
Foto: aprilli.com
8 foto1 | 8
Sayang, pemahaman dan watak demokratis Islam yang ramah lingkungan ini tidak merembes menjadi sebuah "tradisi yang hidup” (living tradition, menurut Syed Hosen Nasr) dalam masyarakat Islam pasca kenabian. Bahkan tragisnya para ulama fiqih tidak menjadikan masalah ekologi sebagai bagian dari maqashid al-syari'ah, yakni tujuan disyariatkannya Islam. Imam Abu Ishaq al-Syathibi (w. 1388) misalnya dalam kitabnya yang sangat populer, al-Muwafaqat, merumuskan "maqashid al-syari'ah” menjadi lima hal: menjaga atau memelihara agama ( hifdz al-din), menjaga jiwa (hifdz al-nafs), memelihara akal (hifdz al-aql), memelihara harta (hifdz al-mal) dan memelihara keturunan (hifdz al-nasl). Ada yang menambahkan memelihara martabat (hifdz al-‘irdh). Pendapat ini yang terus-menerus dijadikan sebagai pegangan dalam ber-ijtihad untuk memecahkan masalah sosial-kemanusiaan.
Sementara masalah lingkungan luput dari perhatian ulama fiqih dan umat Islam tentunya. Mungkin hanya Syaikh Yusuf Qardlawi yang menjadikan pemeliharaan lingkungan (hifdz al-alam) sebagai bagian dari maqashid al-syari'ah. Itupun sangat tidak populer bahkan dianggap kontraproduktif.
Di sinilah perlunya melakukan restorasi nalar pemikiran keislaman. Tahapan yang mesti ditempuh terlebih dahulu adalah, pertama, menjelaskan hikmah perennial Islam (scientia sacra) tentang tatanan dan struktur alam, signifikansi religius dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan manusia. Kedua, menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran ekologis yang berspektif teologis (eco-theology) atau membangun teologi yang berbasis kesadaran dan kearifan ekologis.
Dalam konteks ini, maka para ulama dan fuqaha harus berani melakukan terobosan penting mengenai pemahaman keislaman yang digali langsung dari teks-teks otoritatif utama Islam: Al-Qur'an dan Hadis seperti yang dilakukan oleh Kiai Tantowi ini, dan juga oleh almarhum Kiai Sahal Mahfudh yang sangat brilian dalam menggali nilai-nilai dan "pesan universal” Islam serta memahami masalah-masalah dan problem sosial-kemasyarakatan. Wallahu ‘alam bi-shawwab.
Konsep Desa Masa Depan
Sebuah desa utopia di Belanda berusaha memproduksi energi dan makanan sendiri secara lokal dengan teknologi ramah lingkungan. Konsep ini diharapkan bakal menyebar ke seantero Eropa dan mungkin dunia.
Foto: EFFEKT
Hijau dan Mandiri
ReGen Village adalah sebuah desa swasembada yang dibangun oleh pengusaha real estate James Ehrlich. Mimpinya adalah mewujudkan pemukiman yang mandiri dalam memenuhi kebutuhan energi dan makanan. Proyek pertama yang dibangun di Almere, Belanda, menyediakan 100 rumah di lahan seluas 15.500 meter persegi.
Foto: EFFEKT
100% Daur Ulang
Rahasia ReGen Village adalah menggabungkan semua teknologi hijau yang ada, mulai dari rumah ramah energi, produksi beragam jenis energi terbarukan, penyimpanan energi ramah lingkungan, produksi makanan organik, perkebunan vertikal dan pertanian Akuaponik. ReGen sendiri kependekan dari "Regenerative."
Foto: EFFEKT
Lokalisasi Produksi
Saat ini 40 persen lahan di Bumi digunakan untuk memproduksi makanan, kata salah satu pendiri ReGen Village Sinus Lynge. "Produksi makanan adalah sumber terbesar gas rumah kaca dan mendorong deforestasi." Sebab itu menurutnya, lokalisasi produksi makanan hingga ke taraf desa untuk menjamin swasembada pangan adalah solusinya.
Foto: EFFEKT
Hunian di Balik Kaca
Semua rumah di ReGen Village berada di dalam rumah kaca untuk melindungi gedung dari iklim yang dingin dan basah. Setiap unit juga memiliki pemanas pasif dan sistem pendingin, panel surya, sebuah taman dan kolam air. Sampah rumah tangga nantinya akan dibuat kompos atau diubah menjadi gas biomassa.
Foto: EFFEKT
Sistem Terpadu
Integrasi cerdas antara berbagai aspek kehidupan di desa sangat krusial agar sistemnya berjalan sempurna. Contohnya sebagian limbah rumah tangga yang dibuat kompos akan menjadi makanan buat serangga. Serangga seperti lalat itu nantinya menjadi pakan ikan. Sementara limbah perikanan dibuat pupuk untuk tanaman dalam sistem Akuaponik. Sirkulasi yang sama berlaku untuk hewan ternak, air, dsb.
Foto: EFFEKT
Solusi Masa Depan?
Pengembang ReGen Village saat ini telah membidik negara lain seperti Arab Saudi, Malaysia, India dan Cina. Desa 2.0 itu terutama cocok untuk kawasan yang jauh dari jaringan listrik dan infrastruktur yang memadai. "Jika misalnya kelas menengah di India mengidamkan kawasan urban seperti yang ada saat ini, planet Bumi tidak akan selamat," kata James Ehrlich.
Foto: EFFEKT
6 foto1 | 6
Penulis: Sumanto Al Qurtuby
Dosen Antropologi Budaya dan Kepala Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London& New York: Routledge, 2016)
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis