Dalam sebuah pertemuan akhir tahun pada Kamis (28/12/23), pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mendesak partainya untuk mempercepat persiapan perang, termasuk pengembangan program senjata nuklir dan pertahanan sipil.
Iklan
Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong Un mendesak partainya untuk mempercepat persiapan perang, termasuk terkait pengembangan program nuklir di Korea Utara. Hal itu terungkap dari laporan media pemerintah, KCNA, pada hari Kamis (28/12/23).
Kim meminta partai untuk "mempercepat persiapan perang" di berbagai sektor, termasuk senjata nuklir dan pertahanan sipil, demikian bunyi laporan kantor berita Korut tersebut.
Kim menyampaikan pernyataan tersebut dalam sebuah pertemuan akhir tahun Partai Buruh Korea Utara yang berlangsung pada Kamis (28/12/23) di Pyongyang. Dia juga diprediksi akan membahas sejumlah kebijakan penting Korut untuk tahun 2024 dalam acara tersebut.
Pernyataan terbaru dari Kim ini muncul hanya sepekan setelah ia memperingatkan bahwa Pyongyang tidak akan ragu-ragu untuk melancarkan serangan nuklir jika "diprovokasi".
Menurut Kim, ketegangan di Semenanjung Korea terus meningkat karena konfrontasi anti-Korea Utara yang "belum pernah terjadi sebelumnya" dengan Amerika Serikat (AS).
Iklan
AS, Korsel, Jepang, tingkatkan kerja sama pertahanan
Seoul, Tokyo, dan Washington baru-baru ini telah meningkatkan kerja sama pertahanan dalam menghadapi serangkaian uji coba senjata oleh Pyongyang. Mereka juga telah mengaktifkan sebuah sistem untuk berbagi data secara real-time tentang peluncuran rudal Korea Utara.
Pada awal bulan ini, kapal selam bertenaga nuklir AS juga dilaporkan telah berlabuh di kota pelabuhan Busan, Korea Selatan, dan dalam latihan gabungan dengan Seoul dan Tokyo, Washington juga turut menerbangkan pesawat pengebom jarak jauhnya.
Korea Utara sebelumnya menggambarkan partisipasi aset strategis AS, seperti pesawat pengebom B-52, dalam latihan gabungan di Semenanjung Korea itu sebagai "langkah provokatif perang nuklir yang disengaja oleh AS."
Sejarah Perang Korea 1950-1953
Ambisi Kim Il Sung menguasai Semenanjung Korea tidak hanya merenggut jutaan nyawa, tetapi juga berakhir pahit untuk aliansi komunis di utara. Perang Korea gagal mengubah garis demarkasi yang masih bertahan hingga kini.
Foto: Public Domain
Korea Terbagi Dua
Selepas Perang Dunia II, Korea yang dijajah Jepang mendapat nasib serupa layaknya Jerman yang dibagi dua antara sekutu Barat dan Uni Soviet. Ketika AS membentuk pemerintahan boneka di bawah Presiden Syngman Rhee untuk kawasan di selatan garis lintang 38°, Uni Soviet membangun rezim komunis di bawah kepemimpinan Kim Il Sung.
Foto: Getty Images/AFP
Siasat Kim Lahirkan Perang Saudara
Awal 1949 Kim Il Sung berusaha meyakinkan Josef Stalin untuk memulai invasi ke selatan. Namun permintaan itu ditolak Stalin karena mengkhawatirkan intervensi AS. Terlebih serdadu Korut saat itu belum terlatih dan tidak mempunyai perlengkapan perang yang memadai. Atas desakan Kim, Soviet akhirnya membantu pelatihan militer Korut. Pada 1950 pasukan Korut sudah lebih mumpuni ketimbang serdadu Korsel
Foto: Bundesarchiv, Bild 183-R80329 / CC-BY-SA
Peluang Emas di Awal 1950
Keraguan Stalin bukan tanpa alasan. Sebelum 1950 Cina masih tenggelam dalam perang saudara antara kaum nasionalis dan komunis, pasukan AS masih bercokol di Korsel dan ilmuwan Soviet belum berhasil mengembangkan bom nuklir layaknya Amerika Serikat. Ketika situasi tersebut mulai berubah, Stalin memberikan lampu hijau bagi invasi pada April 1950.
Foto: picture-alliance/dpa/Bildfunk
Kekuatan Militer Korut
Berkat Soviet, pada pertengahan 1950-an Korut memiliki 200.000 serdadu yang terbagi dalam 10 divisi infanteri, satu divisi kendaraan lapis baja berkekuatan 280 tank dan satu divisi angkatan udara dengan 210 pesawat tempur. Militer Korut juga dipersenjatai 200 senjata artileri, 110 pesawat pembom dan satu divisi pasukan cadangan berkekuatan 30.000 serdadu dengan 114 pesawat tempur dan 105 tank
Foto: AFP/Getty Images
Kekuatan Militer Korsel
Sebaliknya kekuatan militer Korea selatan masih berada jauh di bawah saudaranya di utara. Secara umum Korsel hanya berkekuatan 98.000 pasukan, di antaranya cuma 65.000 yang memiliki kemampuan tempur, dan belasan pesawat, tapi tanpa tank tempur atau artileri berat. Saat itu pasukan AS banyak terkonsentrasi di Jepang dan hanya menempatkan 300 serdadu di Korsel.
Foto: picture-alliance/dpa
Badai Komunis Mengamuk di Selatan
Pada 25 Juni 1950 sekitar 75.000 pasukan Korut menyebrang garis lintang 38° untuk menginvasi Korea Selatan. Hanya dalam tiga hari Korut yang meniru strategi Blitzkrieg ala NAZI Jerman merebut ibu kota Seoul dengan mengandalkan divisi lapis baja dan serangan udara. Pada hari kelima kekuatan Korsel menyusut menjadi hanya 22.000 pasukan
Foto: picture-alliance/dpa
Arus Balik dari Busan
Kendati AS mulai memindahkan pasukan dari Jepang ke Korsel, hingga awal September 1950 pasukan Korut berhasil menguasai 90% wilayah selatan, kecuali secuil garis pertahanan di sekitar kota Busan. Dari kota inilah Amerika Serikat dan pasukan PBB melancarkan serangan balik yang kelak mengubur impian Kim Il Sung menguasai semenanjung Korea.
Foto: Public Domain
September Berdarah
Di bawah komando Jendral Douglas MacArthur, pasukan gabungan antara AS, PBB dan Korea Selatan yang kini berjumlah 180.000 serdadu mulai mematahkan kepungan Korut terhadap Busan. Berbeda dengan pasukan Sekutu, Korut yang tidak diperkuat bantuan laut dan udara mulai kewalahan dan dipaksa mundur semakin ke utara.
Foto: Public Domain
Nasib Buruk Berputar ke Utara
Pada 25 September pasukan sekutu berhasil merebut kembali Seoul. Serangan udara dan artileri militer AS berhasil menghancurkan sebagian besar tank dan senjata artileri milik Korut. Atas saran Cina, Kim menarik mundur pasukannya dari selatan. Jelang Oktober hanya sekitar 30.000 pasukan Korut yang berhasil kembali ke utara.
Foto: Public Domain
Intervensi Mao
Ketika pasukan AS melewati batas demarkasi pada 1 Oktober, Stalin dan Kim mendesak Mao Zedong dan Zhou Enlai agar mengirimkan enam divisi invanteri Cina ke Korea. Soviet sendiri sudah menegaskan tidak akan menurunkan langsung pasukannya. Permintaan tersebut baru dijawab pada 25 Oktober, setelah serangkaian perjalanan diplomasi antara Beijing dan Moskow.
Foto: gemeinfrei
Mundur Teratur
Hingga November 1950 pasukan AS tidak hanya merebut Pyongyang, tetapi juga berhasil merangsek hingga ke dekat perbatasan Cina. Kemenangan AS terhenti setelah pasukan Cina yang berkekuatan 200.000 tentara mulai melakukan serangan balik. Intervensi tersebut menyebabkan kekalahan besar pada pasukan AS yang terpaksa mengundurkan diri dari Korea Utara pada pertengahan Desember.
Foto: Public Domain
Berakhir dengan Kebuntuan
Hingga Juli 1951 pasukan Cina dan AS masih bertempur sengit di sekitar perbatasan garis lintang 38°. Baru pada pertengahan tahun kedua pihak mulai mengendurkan serangan yang menyebabkan situasi buntu. Setelah kematian Josef Stalin, sikap Uni Soviet mulai melunak dan pada 27. Juli 1953 kedua pihak menyepakati gencatan senjata yang masih berlaku hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Hilang Nyawa Terbuang
Pada akhir Perang Korea, sebanyak 33.000 pasukan AS dilaporkan tewas dalam pertempuran. Sementara Korsel melaporkan sebanyak 373.000 warga sipil dan 137.000 pasukan tewas. Sebaliknya Cina kehilangan 400.000 serdadu dan Korut 215.000 pasukan, serta 600.000 warga sipil. Secara umum angka kematian yang diderita kedua pihak mencapai 1,2 juta jiwa.
Pyongyang juga telah mendeklarasikan diri sebagai kekuatan nuklir dalam konstitusinya tahun lalu, dan telah berulang kali mengatakan bahwa mereka tidak akan pernah melepaskan program nuklirnya, karena dianggap penting bagi pertahanan negara.
Pyongyang pada tahun ini juga dilaporkan telah berhasil meluncurkan satelit pengintai dan menguji coba rudal balistik antarbenua ICBM yang paling canggih yang ada di gudang senjatanya.
Badan Energi Atom Internasional, IAEA, pada pekan lalu bahkan telah menyatakan bahwa reaktor kedua di fasilitas nuklir Yongbyon Korea Utara tampaknya telah beroperasi, dan menyesalkan pengaktifan reaktor tersebut.
Sementara itu, AS dan Korea Selatan pada awal bulan ini, telah mengadakan pertemuan kedua di Washington guna membahas opsi penangkalan nuklir jika terjadi konflik dengan Korea Utara.
Mereka memperingatkan bahwa setiap serangan nuklir dari Pyongyang ke Washington atau Seoul akan mengakibatkan berakhirnya rezim Kim.
Merespons hal ini, seorang juru bicara Kementerian Pertahanan Korea Utara pun mengecam rencana sekutu untuk memperluas latihan militer gabungan tahunan dengan memasukkan latihan operasi nuklir tahun depan. Ia menyebutnya sebagai "deklarasi terbuka konfrontasi nuklir".
ha/gtp (AFP)
Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!