Kisah Bocah Bernama Hatf dan Pesantren Teror di Bogor
7 September 2017
Pesantren Ibnu Mas'ud di Bogor sejak lama dikenal sebagai wadah radikalisasi dan tempat persembunyian tersangka teroris. Namun begitu pemerintah belum mampu menutup pesantren teror tersebut.
Iklan
Hatf Saiful Rasul baru menginjak usia 11 tahun ketika ia meminta izin untuk pergi ke Suriah kepada ayahnya yang seorang terpidana teroris. Dia bermimpi bisa berjuang di bawah panji kekhalifahan Islamic State.
Hatf kerap mengunjungi ayahnya di penjara ketika masa istirahat sekolah. Dia menimba ilmu di pesantren Ibnu Mas'ud di Bogor. Kisah sang bocah diabadikan sang ayah dalam sebuah esai sepanjang 12.000 kata. "Awalnya saya tidak bereaksi dan cuma menganggap permintaannya sebagai lelucon," tulis Syaiful Anam. "
"Tapi pandangan saya berubah ketika Hatf menegaskan keinginannya itu berulang kali."
Hatf menyiarkan niatnya itu kepada beberapa teman dan gurunya di pesantren. "Dia ingin menjadi syahid di sana," tulis Syaiful. Tak sampai hati dia lalu mengizinkan Hatf pergi. Toh pesantren Ibnu Mas'ud dikelola oleh "ikhwan yang memiliki ideologi yang sama," tuturnya.
Anak Mantan Teroris Merajut Masa Depan di Pesantren al-Hidayah
Seorang mantan teroris mendidik anak-anak terpidana terorisme agar menjauhi faham radikal. Mereka kerap mengalami diskriminasi lantaran kejahatan orangtuanya. Kini mereka di tampung di pesantren al-Hidayah.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Ujung Tombak Deradikalisasi
Seperti banyak pesantren lain di Sumatera, pesantren Al-Hidayah di Deli Serdang, Sumatera Utara, didirikan ala kadarnya dengan bangunan sederhana dan ruang kelas terbuka. Padahal pesantren ini adalah ujung tombak program deradikalisasi pemerintah.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Mantan Teroris Perangi Teror
Perbedaan paling mencolok justru bisa dilihat pada sosok Khairul Ghazali, pemimpin pondok yang merupakan bekas teroris. Dia pernah mendekam empat tahun di penjara setelah divonis bersalah ikut membantu pendanaan aktivitas terorisme dengan merampok sebuah bank di Medan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Tameng Radikalisme
Bersama pesantren tersebut Al-Ghazali mengemban misi pelik, yakni mendidik putra mantan terpidana teroris agar menjauhi faham radikal. Radikalisme "melukai anak-anak kita yang tidak berdosa," ujar pria yang dibebaskan 2015 silam itu. Jika tidak dibimbing, mereka dikhawatirkan bisa terpengaruh ideologi teror.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Derita Warisan Orangtua
Saat ini Pesantren al-Hidayah menampung 20 putra bekas teroris. Sebagian pernah menyaksikan ayahnya tewas di tangan Densus 88. Beberapa harus hidup sebatang kara setelah ditinggal orangtua ke penjara. Menurut Ghazali saat ini terdapat lebih dari 2.000 putra atau putri jihadis yang telah terbunuh atau mendekam di penjara.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Uluran Tangan Pemerintah
Pesantren al-Hidayah adalah bagian dari program deradikalisasi yang digulirkan pemerintah untuk meredam ideologi radikal. Untuk itu Presiden Joko Widodo mengalihkan lebih dari 900 milyar dari dana program Satu Juta Rumah untuk membantu pembangunan pondok pesantren yang terlibat dalam program deradikalisasi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Perlawanan Penduduk Lokal
Meski mendapat bantuan dana pemerintah buat membangun asrama, pembangunan masjid dan ruang belajar di pesantren al Hidayah tidak menggunakan dana dari APBN. Ironisnya keberadaan Pesantren al-Hidayah di Deli Serdang sempat menuai kecurigaan dan sikap antipati penduduk lokal. Mulai dari papan nama yang dibakar hingga laporan ke kepolisian, niat baik Ghazali dihadang prasangka warga.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Peran Besar Pesantren Kecil
Al-Hidayah adalah contoh pertama pesantren yang menggiatkan program deradikalisasi. Tidak heran jika pesantren ini acap disambangi tokoh masyarakat, entah itu pejabat provinsi atau perwira militer dan polisi. Bahkan pejabat badan antiterorisme Belanda pernah menyambangi pesantren milik Ghazali buat menyimak strategi lunak Indonesia melawan radikalisme.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Trauma Masa Lalu
Melindungi anak-anak mantan teroris dianggap perlu oleh Kepala BNPT, Suhardi Alius. Abdullah, salah seorang santri, berkisah betapa ia kerap mengalami perundungan di sekolah. "Saya berhenti di kelas tiga dan harus hidup berpindah," ujarnya. "Saya dikatai sebagai anak teroris. Saya sangat sedih." Pengalaman tersebut berbekas pada bocah berusia 13 tahun itu. Suatu saat ia ingin menjadi guru agama.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Stigma Negatif Bahayakan Deradikalisasi
Stigma negatif masyatakat terhadap keluarga mantan teroris dinilai membahayakan rencana pemerintah memutus rantai terorisme. Terutama pengucilan yang dialami beberapa keluarga dikhawatirkan dapat berdampak buruk pada kondisi kejiwaan anak-anak. Ghazali tidak mengutip biaya dari santrinya. Ia membiayai operasional pesantren dengan beternak dan bercocok tanam, serta menjual hasil panen.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
9 foto1 | 9
Keinginan Hatf terkabulkan ketika ia hijrah ke Suriah dengan beberapa kemenakan 2015 silam dan bergabung dengan kelompok gerilayawan Perancis. Tiga pejabat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme membenarkan kepergian sang bocah ke medan perang.
Kantor berita Reuters mencatat, Hatf termasuk 12 jihadis Indonesia dari pesantren Ibnu Mas'ud yang mencoba pergi ke Suriah. Delapan adalah guru, sisanya santri.
Setidaknya 18 lulusan Ibnu Mas'ud telah ditangkap atau menjalani persidangan atas dugaan terorisme, antara lain karena dituding terlibat tiga serangan paling mematikan di Indonesia dalam 20 bulan terakhir, menurut klaim BNPT.
Jumadi, Jurubicara pesantren Ibnu Mas'ud, menepis tudingan bahwa sekolahnya mendukung Islamic State atau kelompok militan lain, atau mewakili ajaran Salafisme yang ekslusif. Tapi ia juga mengakui pesantrennya belum terdaftar secara resmi.
"Kami tidak punya kurikulum," ujarnya. "Kami fokus pada penghafalan Al-Quran dan Hadist, Aqidah dan Sejarah Islam."
Penyesalan Para WNI Simpatisan ISIS
Mereka terbuai kemakmuran yang dijanjikan Islamic State dan memutuskan pergi ke Suriah. Janji surga tak sesuai kenyataan, mereka pun menyesal.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Malla
Tergiur janji manis
Banyak keluarga tergiur dengan janji kekalifatan Islamic State alias ISIS di Suriah dan Irak yang ditawarkan lewat internet. Harapan mendapat pendidikan dan layanan kesehatan gratis, upah tinggi dan jalani keislaman kekhalifahan mendorong gadis Indonesia memboyong keluarganya ke Suriah.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Sampai menjual properti
Keluarga Nurshardrina Khairadhania, bahkan sampai menjual rumah, kendaraan dan perhiasan untuk membiayai perjalanan mereka ke Raqqa, Suriah. Sesampainya di sana, kenyataan tak sesuai harapan. Tiap perempuan muda dipaksa menikahi gerilayawan ISIS. Semntara yang pria wajib memanggul senjata dan berperang. Nur dan bibinya masuk dalam daftar calon pengantin yang disiapkan buat para gerilyawan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Malla
Beberapa bulan penuh derita
Beberapa bulan setelah menderita di Raqqa, Nur dan keluarganya melarikan diri dengan membayar penyelundup buat keluar dari wilayah ISIS. Neneknya meninggal dunia, pamannya tewas dalam sebuah serangan udara dan beberapa anggota keluarga lainnya dideportasi sejak baru tiba di Turki. Bersama ibu, adik dan sanak saudara yang lainnya Nur berhasil masuk kamp pengungsi Ain Issa, milik militer Kurdi.
Foto: Getty Images/AFP/D. Souleiman
Jalani interogasi
Para WNI pria yang lari dari ISIS pertama-tama diamankan militer Kurdi dan diinterogasi. Setelah perundingan panjang, kini mereka dipulangkan ke Indonesia dan jalani program deradikalisasi yang disiapkan pemerintah. Menyesal! Tinggal kata tersebut yang bisa dilontarkan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Malla
Surga atau neraka?
Banyak relawan dari Indonesia yang ingin menjadi jihadis atau pengantin jihadis, untuk mengejar 'surga' yang dijanjikan Islamic State di Suriah atau Irak. Namun menurut mereka yang ditemui adalah 'neraka'
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Malla
Nur: IS tidak sesuai kaidah Islam
Dalam wawancara dengan Associated Press, Nur menceritakan perilaku jihadis ISIS tidak sesuai kaidah Islam yang ia pahami. "ISIS melakukan represi, tak ada keadilan dan tak ada perdamaian. Warga sipil harus membayar semua hal, listrik, layanan keseahatan dan lainnya. Sementara jihadis ISIS mendapatkannya secara gratis."
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Malla
Proses pemulangan
Banyak kalangan yang tergolong naif atau garis keras atau gabungan keduanya bergabung dengan ISIS, pada akhirnya menyerahkan diri atau ditangkap aparat keamanan. Pejabat Kurdi di Raqqa menyebutkan proses itu interogasi diperkirakan berlangsung hingga enam bulan, sebelum diambil keputusan bagi yang bersangkutan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Malla
Termasuk dari Jerman
Banyak warga negera-negara lain yang juga terbuai janji ISIS. Termasuk dari Jerman. Majalah mingguan Jerman Der Spiegel melaporkan bulan Juli 2017, sejumlah perempuan Jerman yang bergabung dengan ISIS dalam beberapa tahun terakhir, termasuk gadis berusia 16 tahun dari kota kecil Pulsnitz dekat Dresden, menyesal bergabung dengan ISIS. Ed (ap/as/berbagai sumber)
Foto: Youtube
8 foto1 | 8
Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, telah mencoba menyuarakan kekhawatirannya terkait Ibnu Mas'ud. "Kami telah menginformasikan hal ini kepada Kementerian Agama," tuturnya. "Bukan domain kami," untuk menutup pesantren, kata Irfan soal keterbatasan wewenang lembaganya. "Itu adalah kewenangannya Kementerian Agama."
Ketika ditanya kenapa Ibnu Mas'ud belum ditutup pemerintah, Direktur Jendral Pendidikan Islam di Kementerian Agama, Kamaruddin Amin, mengatakan pesantren itu "tidak tercatat secara resmi." Amin mengklaim pihaknya "telah meminta penjelasan terkait muatan pendidikan," kepada pihak pesantren. "Tapi tidak ada jawaban."
Reputasi Ibnu Mas'ud sebagai wadah teroris pertamakali terungkap ketika Dulmatin, tersangka utama serangan bom Bali 2002, sempat bersembunyi di pesantren tersebut ketika masih buron. Sofyan Tsauri, bekas polisi yang kemudian menjadi jihadis, mengakui Ibnu Mas'ud didirikan "untuk anak-anak Ikhwan (jihadis)" dan sebagai rumah persembunyian bagi buronan teroris.
Terletak di kaki gunung Salak, pesantren Ibnu Mas'ud menampung sekitar 200 santri. Keberadaan pesantren sejak awal memicu kekhawatiran penduduk desa Sukajaya. "Setiap kali ada serangan teror di sebuah tempat, polisi pasti datang," kata Kepala Desa Wahyudin Sumardi. "Saya merasa tidak nyaman dengan situasinya."
Penduduk akhirnya meminta pesantren dipindahkan. Namun Jumadi mengatakan pihaknya akan berunding agar bisa bertahan.
Tarung Bebas "Pencak Dor" dari Pesantren Lirboyo
Bertarung secara bebas. Segala ilmu bela diri yang dikuasai boleh dikerahkan. Tegang dan mencekam, demikian pertarungan para pendekar di Pesantren Lirboyo, Kediri.
Foto: Getty Images/I. Ifansasti
Digemari penonton
Pencak Dor sudah dikenal sejak tahun 1960-an. Seni bela diri gaya bebas ini sangat di gemari oleh masyakarat di Kediri. Setiap kali pertandingan ini digelar, ratusan hingga ribuan penonton hadir memadati arena menyaksikan para pendekar bertarung.
Foto: Getty Images/I. Ifansasti
Bertarung dengan gaya bebas
Saling jotos, tendang dan banting, tak jarang peratung mencekik lawan tandingnya. Pertarungan Pencak Dor memicu adrenalin sebab setiap petarung bebas gunakan berbagai ilmu bela diri yang dimilikinya. Suasana begitu menegangkan. Masing.masing pihak yang bertanding membawa kehormatan perguruan silatnya masing-masing.
Foto: Getty Images/I. Ifansasti
Lahir dari pesantren
Dikutip dari Merdeka, awalnya kegiatan Pencak Dor diprakarsai Kiai Agus Maksum Jauhari yang merupakan cucu pendiri pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Kiai Haji Abdul Karim. Pencak dor dilahirkan di Pesantren Lirboyo yang terletak di lembah gunung Willis, Kota Kediri. Sejak tahun 1960- an pesantren ini juga dikenal sebagai tempat pengkaderan pendekar silat dari kalangan santri.
Foto: Getty Images/I. Ifansasti
Tujuan kegiatan
Tujuan kegiatan ini adalah menjalin tali silaturahmi sesama pendekar dan menjadi wadah dakwah pemuda. Disebutkan, latar belakang dibentuknya wadah kegiatan ini adalah ketika cucu pendiri pondok pesantren ini sering melihat terjadi perkelahian antar remaja di Kediri pada masa itu. Ia merasa prihatin atas kondisi itu.
Foto: Getty Images/I. Ifansasti
Menjadi wadah meluapkan emosi pemuda
Gus Maksum kemudian mempertemukan pemuda-pemuda itu untuk bertarung satu lawan satu dalam gelanggang Pencak Dor berukuran 8 x 4 meter. Bentungnya mirip dengan arena tinju, namun pembatas berupa bambu. Di arena ini diharapkan pemuda-pemuda itu bisa selesaikan perselisihan secara adil tanpa mengurangi rasa persaudaraan.
Foto: Getty Images/I. Ifansasti
Lebih dekat ketika usia bertarung
Lebih-lebih lagi, usai pertarungan, biasanya para pendekar dapat lebih saling mengenal satu sama lain. Mereka bisa saling bertukar pengalaman dalam ilmu bela diri. Tidak boleh ada dendam usia pertarungan digelar. Sehingga, di pesantren ini, selain melahirkan santri-santri yang menguasai ilmu agama, juga tumbuh para santri yang menguasai ilmu bela diri.
Foto: Getty Images/I. Ifansasti
Keselamatan tetap yang utama
Luka, berdarah, lebam dan memar-memar. Meski ini jenis pertarungan bebas, keselamatan petarung tetap jadi prioritas yang utama.
Foto: Getty Images/I. Ifansasti
Wasit wajib punya kemampuan lebih
Ada dua wasit yang mengawasi tiap pertarungan digelar. Tugas mereka di antaranya melerai kedua petarung jika kondisi pertarungan makin mencekam. Para wasit wajib memiliki kemampuan bela diri tinggi dan menguasai berbagai ilmu bela diri, mulai dari pencak silat, karate, judo, dll.
Foto: Getty Images/I. Ifansasti
Menjaga tradisi
Kegiatan pencak dor berupa tarung bebas ini dkini digelar lebih pada upaya untuk mempertahankan tradisi Pondok Lirboyo.
(ed: ap/as/merdeka/radarkediri)