1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Terorisme

Kisah Bocah Bernama Hatf dan Pesantren Teror di Bogor

7 September 2017

Pesantren Ibnu Mas'ud di Bogor sejak lama dikenal sebagai wadah radikalisasi dan tempat persembunyian tersangka teroris. Namun begitu pemerintah belum mampu menutup pesantren teror tersebut.

Indonesien Islamschule
Pesantren Ibnu Mas'ud di Bogor, Jawa Barat.Foto: Reuters/Beawiharta

Hatf Saiful Rasul baru menginjak usia 11 tahun ketika ia meminta izin untuk pergi ke Suriah kepada ayahnya yang seorang terpidana teroris. Dia bermimpi bisa berjuang di bawah panji kekhalifahan Islamic State.

Hatf kerap mengunjungi ayahnya di penjara ketika masa istirahat sekolah. Dia menimba ilmu di pesantren Ibnu Mas'ud di Bogor. Kisah sang bocah diabadikan sang ayah dalam sebuah esai sepanjang 12.000 kata. "Awalnya saya tidak bereaksi dan cuma menganggap permintaannya sebagai lelucon," tulis Syaiful Anam. "

"Tapi pandangan saya berubah ketika Hatf menegaskan keinginannya itu berulang kali."

Hatf menyiarkan niatnya itu kepada beberapa teman dan gurunya di pesantren. "Dia ingin menjadi syahid di sana," tulis Syaiful. Tak sampai hati dia lalu mengizinkan Hatf pergi. Toh pesantren Ibnu Mas'ud dikelola oleh "ikhwan yang memiliki ideologi yang sama," tuturnya.

Keinginan Hatf terkabulkan ketika ia hijrah ke Suriah dengan beberapa kemenakan 2015 silam dan bergabung dengan kelompok gerilayawan Perancis. Tiga pejabat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme membenarkan kepergian sang bocah ke medan perang.

Kantor berita Reuters mencatat, Hatf termasuk 12 jihadis Indonesia dari pesantren Ibnu Mas'ud yang mencoba pergi ke Suriah. Delapan adalah guru, sisanya santri.

Setidaknya 18 lulusan Ibnu Mas'ud telah ditangkap atau menjalani persidangan atas dugaan terorisme, antara lain karena dituding terlibat tiga serangan paling mematikan di Indonesia dalam 20 bulan terakhir, menurut klaim BNPT.

Jumadi, Jurubicara pesantren Ibnu Mas'ud, menepis tudingan bahwa sekolahnya mendukung Islamic State atau kelompok militan lain, atau mewakili ajaran Salafisme yang ekslusif. Tapi ia juga mengakui pesantrennya belum terdaftar secara resmi.

"Kami tidak punya kurikulum," ujarnya. "Kami fokus pada penghafalan Al-Quran dan Hadist, Aqidah dan Sejarah Islam."

Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, telah mencoba menyuarakan kekhawatirannya terkait Ibnu Mas'ud. "Kami telah menginformasikan hal ini kepada Kementerian Agama," tuturnya. "Bukan domain kami," untuk menutup pesantren, kata Irfan soal keterbatasan wewenang lembaganya. "Itu adalah kewenangannya Kementerian Agama."

Ketika ditanya kenapa Ibnu Mas'ud belum ditutup pemerintah, Direktur Jendral Pendidikan Islam di Kementerian Agama, Kamaruddin Amin, mengatakan pesantren itu "tidak tercatat secara resmi." Amin mengklaim pihaknya "telah meminta penjelasan terkait muatan pendidikan," kepada pihak pesantren. "Tapi tidak ada jawaban."

Reputasi Ibnu Mas'ud sebagai wadah teroris pertamakali terungkap ketika Dulmatin, tersangka utama serangan bom Bali 2002, sempat bersembunyi di pesantren tersebut ketika masih buron. Sofyan Tsauri, bekas polisi yang kemudian menjadi jihadis, mengakui Ibnu Mas'ud didirikan "untuk anak-anak Ikhwan (jihadis)" dan sebagai rumah persembunyian bagi buronan teroris.

Terletak di kaki gunung Salak, pesantren Ibnu Mas'ud menampung sekitar 200 santri. Keberadaan pesantren sejak awal memicu kekhawatiran penduduk desa Sukajaya. "Setiap kali ada serangan teror di sebuah tempat, polisi pasti datang," kata Kepala Desa Wahyudin Sumardi. "Saya merasa tidak nyaman dengan situasinya."

Penduduk akhirnya meminta pesantren dipindahkan. Namun Jumadi mengatakan pihaknya akan berunding agar bisa bertahan.

rzn/yf (Reuters)