Kisah Cinta Pemuda Antarsuku Rwanda Hapus Luka Masa Lalu
Nasra Bishumba
28 April 2021
Pada 1994, etnis Hutu Rwanda membantai sekitar satu juta warga etnis Tutsi. Generasi muda negara itu kini sedang berupaya menyembuhkan luka dari konflik yang terjadi di masa lalu.
Iklan
Sepasang kekasih Stanislas Niyomwungeri dan Jacinta Murayire lahir dan dibesarkan di desa yang sama di provinsi selatan Rwanda. Stanislas berasal dari suku Hutu, sedangkan Jacinta adalah seorang Tutsi.
Sejarah kelam Rwanda tahun 1994, ekstremis Hutu membantai sekitar satu juta warga etnis Tutsi. Ayah Stanislas, Silas Bihiza, membunuh paman dari pihak ayah Jacinta. Bihiza kemudian dihukum atas pembunuhan tersebut dan menjalani hukuman lebih dari 10 tahun penjara.
Seiring berjalannya waktu, kondisi mulai membaik. Namun, kemarahan itu kembali muncul tatkala Jacinta memberitahu keluarganya bahwa dia jatuh cinta pada Stanislas.
"Ketika saya memutuskan untuk tinggal bersamanya, kebencian keluarga semakin kuat," kata Jacinta kepada DW. "Keluarga saya tidak ingin berurusan dengan saya," katanya. "Setiap kali saya mengunjungi salah satu anggota keluarga saya, mereka akan memukuli atau meludahi wajah saya."
"Setiap kali saya mengunjungi ayah saya, dia akan sangat marah dan meludahi saya," kata Jacinta. "Saya mulai berharap bahwa saya tidak perlu melihatnya lagi. Jadi kami memutuskan untuk pindah dari lingkungan keluarga saya."
Pembantaian Rwanda
Pembantaian di Rwanda tahun 1994 masih meninggalkan jejak kengerian hingga saat ini. Lebih dari 800.000 suku Tutsi dan Hutu moderat dibantai oleh ekstremis Hutu.
Foto: Timothy Kisambira
Sinyal genosida
Pada tanggal 6 April 1994, sebuah rudal ditembakkan ke pesawat Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana, saat mendekati ibukota Kigali. Habyarimana, rekannya dari Burundi dan delapan penumpang lainnya tewas. Keesokan harinya, mulai terjadi pembantaian yang berlangsung selama tiga bulan. Setidaknya 800.000 warga Rwanda tewas akibat pembantaian itu.
Foto: AP
Target pembunuhan
Setelah pembunuhan terhadap presiden, ekstremis Hutu membunuhi minoritas Tutsi dan Hutu yang moderat. Pembunuhan sudah dipersiapkan dengan baik dan sengaja dilakukan sebagái bentuk perlawanan. Korban pertama pada tanggal 7 April di antaranya adalah salah satu Perdana Menteri Agathe Uwiringiymana.
Foto: picture-alliance/dpa
Penyelamatan orang asing
Sementara pembunuhan terus berlangsung, pasukan khusus Belgia dan Perancis mengevakuasi sekitar 3.500 orang asing. Tanggal 13 April, pasukan Belgia menyelamatkan tujuh karyawan Jerman dan keluarga mereka dari stasiun penyiaran Deutsche Welle di Kigali. Hanya 80 dari 120 karyawan lokal yang bertahan hidup dalam aksi genosida itu.
Foto: P.Guyot/AFP/GettyImages
Seruan pertolongan
Petunjuk pemusnahan Tutsi yang terencana, tercium komandan penjaga perdamaian Kanada Romeo Dallaire sejak awal tahun 1994. Hal itu dikenal sebagai "Faks Genosida', yang menjadi pesan tertanda tanggal 11 Januari kepada PBB namun PBB tidak menanggapinya.
Foto: A.Joe/AFP/GettyImages
Media sebarkan kebencian
Stasiun radio Mille Collines (RTLM) dan surat kabar mingguan Kangura menghasut rasa kebencian terhadap Tutsi. Sekitar tahun 1990, Kangura menerbitkan "Sepuluh Perintah Hutu" yang berbau rasisme. Dengan musik pop dan laporan olahraga Radio Mille Collines menyerukan perburuan dan pembunuhan Tutsi.
Foto: IIPM/Daniel Seiffert
Pengungsi di hotel
Di Kigali, Paul Rusesabagina menyembunyikan lebih dari 1.000 orang di Hotel Des Mille Collines. Setelah manajer hotel tersebut meninggalkan negara itu, Rusesabagina mengambil alih jabatan. Dengan banyaknya alkohol dan uang, dia dapat menahan milisi Hutu untuk tak membunuh para pengungsi.
Foto: Gianluigi Guercia/AFP/GettyImages
Pembantaian di gereja-gereja
Bahkan gereja-gereja, di mana banyak orang mencari perlindungan, tidak mampu menghentikan aksi pembunuh. Sekitar 4.000 pria, perempuan dan anak-anak dibunuh di gereja Ntarama dekat Kigali, baik dengan kapak, pisau dan parang. Kini gereja itu menjadi salah satu dari banyak monumen. Tengkorak dan tulang manusia digantung dan lubang peluru di dinding mengingatkan pernah terjadinya genosida.
Foto: epd
Arus pengungsi
Selama aksi pembunuhan berlangsung, jutaan warga Tutsi dan Hutu melarikan diri ke negara-negara tetangga: Tanzania, Zaire dan Uganda. Dua juta pengungsi lari ke Zaire. Mantan anggota tentara dan mendirikan Pasukan Demokratik untuk Pembebasan Rwanda (FDLR) dan menyebabkan ketidakamanan di Kongo Timur.
Foto: picture-alliance/dpa
Patroli pemberontak
Di depan Gereja Keluarga Kudus di Kigali, pada tanggal 4 Juli 1994, pemberontak RPF berpatroli. Mereka telah menguasai sebagian besar wilayah dan pelaku pembunuhan melarikan diri. Namun aktivis hak asasi manusia mengeluhkan, bahwa para pemberontak juga melakukan kejahatan dan sampai sekarang lepas dari hukum.
Foto: Alexander Joe/AFP/GettyImages
Akhir genosida
Mayor Jenderal Paul Kagame, pemimpin RPF, pada 18 Juli 1994 mendeklarasikan bahwa perang melawan pasukan pemerintah berakhir. Para pemberontak menguasai ibukota dan kota-kota besar lainnya. Pertama-tama, mereka menetapkan pemerintahan sementara. Sejak tahun 2000, Kagame menjadi presiden Rwanda.
Foto: Alexander Joe/AFP/GettyImages
Luka permanen
Genosida berlangsung kira-kira selama tiga bulan lamanya. Para korban biasanya dibunuh secara brutal dengan parang. Tetangga membunuh tetangga. Tubuh atau bagian tubuh dari bayi, anak-anak, orang dewasa dan orang-orang tua terhampar di jalan-jalan. Tak ada satupun keluarga yang tak mengalami luka batin karena anggota keluarganya menjadi korban. Luka itu menjadi memori terjadinya genosida.
Foto: Timothy Kisambira
11 foto1 | 11
Cinta mengalahkan kebencian
Meski keluarga Jacinta menolak mentah-mentah hubungan mereka, Stanislas mengatakan itu tidak akan mempengaruhi rasa cintanya terhadap sang kekasih. "Konflik antara ayah kami tidak ada habisnya, dan karena kami pikir konflik ini tidak akan ada akhirnya, kami memutuskan untuk menciptakan kehidupan bahagia kami sendiri sebagai pasangan," kata Stanislas kepada DW.
Iklan
Setelah ayah Stanislas dibebaskan dari penjara, dia bertekad untuk berdamai dengan ayah Jacinta, Valence Rukiriza. Secara bertahap, mereka mulai menebus kesalahan.
"Saya mulai mendekatinya perlahan dan hati-hati. Saya berusaha hari demi hari dan akhirnya kemarahan dan kebencian itu mulai berkurang," ucap Silas.
"Orang-orang di komunitas senang dengan kenyataan ini," kata Silas.
Perubahan sikap
Rukiriza mengaku sudah lama menentang hubungan anaknya, tetapi saat ini dia mulai menerimanya. "Aku tidak mengakuinya. Ibunya tidak sependapat denganku tentang itu, aku tidak ingin mendengar apapun tentang hubungan itu," kata Rukiriza.
"Namun, akhirnya aku sadar. Kami menyelenggarakan upacara pernikahan secara tradisional dan itu berlangsung dengan sangat baik."
Kisah Stanislas dan Jacinta mewujudkan ungkapan bahwa "cinta mengalahkan segalanya."
Ketika Rwanda memperingati 30 tahun genosida pada tahun 2024 mendatang, generasi muda negara itu tampaknya akan memainkan peranan besar dalam proses "penyembuhan luka konflik masa lalu."