Kisah Dokter yang Bertugas Tangani COVID-19 dan Olimpiade
5 Agustus 2021
Setelah lebih dari setahun menangani COVID-19, Dokter Shoji Yokobori menemukan ketenangan dalam penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020. Dia mengawasi venue dengan protokol ketat, tanpa penonton, dan risiko infeksi rendah.
Iklan
Tenaga medis yang bertugas di tempat pertandingan angkat besi Olimpiade Tokyo 2020, Dokter Shoji Yokobori beserta timnya yang terdiri dari belasan petugas kesehatan, sejauh ini belum menemukan kasus cedera besar ataupun pasien yang terinfeksi virus corona.
Olimpiade adalah dunia baru, jauh dari ketegangan pekerjaan Yokobori sehari-hari di unit perawatan intensif Rumah Sakit Nippon Medical School, Tokyo. Sejak awal pandemi dokter berusia 47 tahun itu sibuk memerangi gelombang kelima COVID-19, yang membuat rumah sakit kewalahan.
"Saya sekarang hidup di dua dunia yang berbeda," kata Direktur Departemen Darurat dan Perawatan Kritis RS Nippon itu. Mengenakan rompi medis merah muda, dia berdiri di Forum Internasional Tokyo yang sepi penonton.
"Saat kembali ke dunia nyata, seperti di rumah sakit, kita melihat banyak pasien COVID-19,” kata Yokobori. "Ini seperti surga atau neraka, saya tidak tahu."
Penyelenggara pertandingan menciptakan desa untuk atlet dan pelatih dari seluruh dunia. Lebih dari 80% telah divaksinasi. Mereka juga wajib menjalani tes secara rutin dan tidak diizinkan untuk pergi ke luar kota.
Di ibu kota Jepang sendiri, tingkat vaksinasi rendah dan protokol tes COVID-19 dan pembatasan pergerakan tidak seketat itu.
Vaksinasi COVID-19 Hingga ke Daerah Terpencil di Dunia
Tim medis menempuh perjalanan panjang dan sulit untuk memvaksinasi orang-orang di seluruh dunia. Pekerjaan itu membawa mereka melintasi pegunungan dan sungai, menaiki pesawat, perahu, bahkan juga berjalan kaki.
Foto: Tarso Sarraf/AFP
Mendaki gunung
Dibutuhkan fisik yang bugar bagi tenaga medis untuk memvaksinasi penduduk di daerah pegunungan di tenggara Turki. "Orang sering tinggal berdekatan dan infeksi bisa menyebar dengan cepat," kata Dr. Zeynep Eralp. Orang-orang di pegunungan tidak suka pergi ke rumah sakit, jadi "kita harus pergi ke mereka," tambahnya.
Foto: Bulent Kilic/AFP
Melintasi daerah bersalju
Banyak orang lanjut usia tidak dapat melakukan perjalanan ke pusat vaksinasi. Di Lembah Maira di Alpen Italia barat, dekat perbatasan dengan Prancis, dokter mendatangi rumah ke rumah untuk memberi suntikan COVID-19 kepada penduduk yang berusia lebih dari 80 tahun.
Foto: Marco Bertorello/AFP
Penerbangan ke daerah terpencil
Dengan membawa botol berisi beberapa dosis vaksin, perawat ini sedang dalam perjalanan ke Eagle, sebuah kota di Sungai Yukon di negara bagian Alaska, AS, daerah dengan penduduk kurang dari 100 orang. Masyarakat adat diprioritaskan dalam banyak program imunisasi.
Foto: Nathan Howard/REUTERS
Beberapa warga perlu diyakinkan
Setiap hari, Anselmo Tunubala keluar masuk pemukiman di pegunungan Kolombia barat daya untuk meyakinkan warga tentang pentingnya vaksinasi. Banyak warga meragukan vaksin dan cenderung mengandalkan pengobatan tradisional, serta bimbingan para pemuka agama.
Foto: Luis Robayo/AFP
Jalan kaki selama berjam-jam
Pria dan wanita dalam foto di atas berjalan hingga empat jam untuk mendapatkan suntikan vaksin COVID-19 di desa terpencil Nueva Colonia di Meksiko tengah. Mereka adalah penduduk asli Wixarika, atau lebih dikenal dengan nama Huichol.
Foto: Ulises Ruiz/AFP/Getty Images
Vaksinasi di sungai
Komunitas Nossa Senhora do Livramento di Rio Negro di Brasil hanya dapat dijangkau melalui sungai. "Cantik! Hampir tidak sakit," kata Olga Pimentel setelah disuntik vaksin. Dia tertawa dan berteriak "Viva o SUS!" - "panjang umur pelayanan kesehatan masyarakat Brasil!"
Foto: Michael Dantas/AFP
Hanya diterangi cahaya lilin
Presiden Brasil Jair Bolsonaro menentang vaksinasi COVID-19. Namun, di sisi lain kampanye itu telah berjalan. Penduduk asli keturunan budak Afrika, termasuk di antara yang kelompok pertama yang divaksinasi. Raimunda Nonata yang tinggal di daerah tanpa listrik, disuntik vaksin dibantu penerangan cahaya lilin.
Foto: Tarso Sarraf/AFP
Rela mendayung jauh
Setelah vaksinasi, seorang wanita tua dan putrinya mendayung menjauhi Bwama, pulau terbesar di Danau Bunyonyi di Uganda. Pemerintah negara Afrika tengah sedang mencoba untuk memasok daerah terpencil dengan vaksin COVID-19.
Foto: Patrick Onen/AP Photo/picture alliance
Medan yang berat
Perjalanan lain melintasi perairan tanpa perahu. Dalam perjalanan menuju desa Jari di Zimbabwe, tim medis harus melewati jalan yang tergenang air. Menurut badan kesehatan Uni Afrika, CDC Afrika, kurang dari 1% populasi di Zimbabwe telah divaksinasi penuh.
Foto: Tafadzwa Ufumeli/Getty Images
Dari rumah ke rumah
Banyak orang di Jepang tinggal di desa terpencil, seperti di Kitaaiki. Warga yang tidak bisa ke kota, dengan senang hati menyambut dokter dan tim medis di rumah mereka untuk mendapatkan suntikan vaksin COVID-19.
Foto: Kazuhiro Nogi/AFP
Barang yang sangat berharga
Indonesia meluncurkan kampanye vaksinasi pada Januari 2021. Di Banda Aceh, tim medis melakukan perjalanan menggunakan perahu ke pulau-pulau terpencil. Vaksin di dalam kotak pendingin merupakan barang yang sangat berharga sehingga perjalanan tim medis didampingi petugas keamanan.
Foto: Chaideer Mahyuddin/AFP
Tanpa masker dan tidak menjaga jarak
India menjadi negara terdampak parah pandemi COVID-19. Pada pertengahan Maret 2021, petugas medis mendatangi desa Bahakajari di Sungai Brahmaputra. Sekelompok wanita mendaftar untuk mendapatkan vaksin. Tidak ada yang memakai masker atau menjaga jarak aman. (ha/hp)
Foto: Anupam Nath/AP Photo/picture alliance
12 foto1 | 12
Bekerja tanpa beban
Rumah sakit tempat Yokobori kerja dipilih untuk membantu Olimpiade, lantaran reputasinya yang terkenal dalam menjalankan perawatan darurat.
Iklan
Menjadi penggemar pemain tenis Naomi Osaka, Yokobori mengaku senang bekerja sebagai relawan dalam Olimpiade Tokyo 2020. Dia berkeliling, memeriksa kondisi sekitar venue, dan terkadang menugaskan perawat mengambil sampel darah atlet untuk tes doping.
Lonjakan kasus yang dipicu oleh varian Delta pada pekan ini membuat Perdana Menteri Yoshihide Suga mengumumkan bahwa hanya pasien COVID-19 yang sakit parah yang akan dirawat di rumah sakit.
Namun, pemerintah pada hari Rabu (04/08) mengisyaratkan untuk mempertimbangkan pembatalan kebijakan kontroversial tersebut.
Ketika tengah bertugas di gelanggang, Yokobori menerima telepon darurat dari stafnya di rumah sakit, meminta saran tentang masalah kasus COVID-19 yang kritis. Yokobori akhirnya kembali ke unit perawatan intensif pada hari Minggu (01/08). Kepada Reuters, dia mengatakan hanya ada satu tempat tidur ICU yang tersisa untuk kasus COVID-19 yang parah.
Yokobori mengaku sangat khawatir dengan lonjakan kasus yang melibatkan pasien yang lebih muda dan membutuhkan waktu lebih lama untuk dirawat. "Kita masih belum tahu kapan puncaknya. Makanya kita takut," kata Yokoburi sambil memantau video langsung pasien di 60 tempat tidur ICU.
Seorang dokter lainnya yang ditugaskan di Olimpiade lain sedang mempertimbangkan untuk berhenti dari pekerjaan sukarelanya dan kembali ke rumah sakit untuk meringankan beban rekan-rekannya, menurut penyiar publik NHK.
Yokobori juga siap meninggalkan Olimpiade jika situasi di rumah sakitnya memburuk. "Saya tidak ingin melihat puncak (kasus COVID-19) selama periode Olimpiade," katanya. "Jika itu terjadi, kami harus mengubah shift dan menempatkan lebih banyak alat di sini."