Kisah Hogeg Memerangi Arabofobia di Klub Beitar Jerusalem
30 Desember 2020
Seorang pengusaha Yahudi mendapat dukungan dari Teluk buat mengusir hantu rasisme di klub Beitar Jerusalem, yang menolak pemain Arab. Inisiatif itu mengusik kelompok ultra, karena dianggap mengancam identitas klub
Iklan
Klub sepak bola Beitar Jerusalem punya masalah pelik. Dan pengusaha Yahudi Moshe Hogeg merasa punya jawabannya. Miliuner berusia 39 tahun itu belum lama ini menggandeng investor UAE yang juga anggota kerajaan, Sheikh Hamad Bin Khalifa Al Nahyan, untuk membenahi satu-satunya klub yang menolak mempekerjakan atlit berdarah Arab.
"Isu rasisme adalah termasuk elemen kunci yang membawa saya membeli klub ini,” kata Hogeg saat diwawancara Associated Press. "Saya melihat masalah ini tidak hanya mencederai citra klub, tetapi juga Israel.”
Klub sepakbola Beitar tergolong unik. Sejarahnya berakar pada gerakan Zionis prakemerdekaan yang turut melahirkan Partai Likud, tulis AFP. Kiprahnya termasuk yang paling sering dikisahkan oleh media nasional, dan dianggap sekutu politik PM Benjamin Netanyahu untuk memobilisasi basis kelompok nasionalis.
Salah satu daya tarik politik Beitar Jerusalem berada pada barisan pendukung fanatiknya, La Familia. Organisasi ultra kanan ini tidak hanya giat menggalang dukungan di dalam stadion, tetapi juga aktif berdemonstrasi di jalan-jalan kota. Namun langgam rasialis La Familia dianggap merintangi Beitar beradaptasi dengan sepak bola modern.
Tidak lama setelah investasi UAE diumumkan, anggota La Familia menuliskan pesan di tembok stadion Teddy di Yerusalem, agar Beitar dijaga "kemurniaannya dari bangsa Arab,” lapor kantor berita AP.
"Saya mencintai sepak bola dan saya kira ini adalah kesempatan untuk membeli klub ini dan membenahi masalah rasisme,” kata Hogeg. "Jadi saya bisa membuat sesuatu yang lebih besar ketimbang sepak bola sendiri.”
Iklan
Dukungan dari Teluk
Hogeg membeli Beitar dua tahun lalu. "sejak awal" dia mengaku sudah berusaha mengubah kultur klub. Di berbagai kesempatan, dia menyempatkan berbicara menentang rasisme, bahkan melaporkan pendukung sendiri atas dugaan pencemaran nama baik klub. Tahun lalu, Hogeg membeli pemain muslim pertama dari Niger, Ali Mohamed.
Tapi kejutan terbesar datang saat Hogeg menjual 50% saham klub kepada anggota klan al-Nahyan, penguasa UEA. Sang syeikh setuju menyuntikkan USD 90 juta ke dalam kas klub selama sepuluh tahun ke depan.
Pertalian antara kedua pengusaha berawal dari perjanjian damai antara Israel dan UEA, September silam. Hogeg lalu giat melobi sejumlah calon investor, sebelum dipertemukan dengan al-Nahyan oleh seorang kenalan.
"Saya mencari mitra yang punya visi yang sama untuk menunjukkan kepada dunia, kepada anak-anak dan semua orang, bahwa muslim dan Yahudi bisa bekerjasama dan membangun hal-hal yang indah bersama-sama,” katanya.
"Dan saya yakin sepak bola adalah platform terbaik untuk hal ini.”
Perang 1967: Yerusalem, Dulu dan Sekarang
Selama setengah abad sejak perang 1967, Yerusalem berada di jantung kontroversi seputar Palestina, pemukiman Yahudi dan pergeseran demografi. Namun kendati begitu tidak banyak yang berubah pada wajah kota abadi itu
Foto: Reuters/R. Zvulun
Masjid Al-Aqsa - 1967
Selamanya Yerusalem diperebutkan oleh kaum Muslim dan Yahudi. Uniknya perang yang berkecamuk pada 1967 hampir tidak mengusik kehidupan warga Yerusalem. Menjelang akhir pekan, penduduk muslim berkumpul di Masjid al-Aqsa untuk menunaikan ibadah Sholat Jumat. Foto ini diambil pada 23 Juni 1967, dua pekan setelah perang berakhir.
Foto: Reuters/
Masjid Al-Aqsa - 2017
Pada lokasi yang sama kehidupan umat Muslim tidak berubah, meski telah berselang separuh abad. Ribuan warga tetap berduyun-duyun menunaikan ibadah di Masjid Al-Aqsa dan berkumpul di halamanya untuk bersantai.
Foto: Reuters/A. Awad
Makam Absalom - 1967
Lembah Kidron adalah kawasan suci buat umat Yahudi dan Kristen. Selain Makam Absalom, putra Raja Daud yang memberontak, lembah ini juga menampung Taman Getsemani, di mana Yesus berdoa sebelum mengalami penyaliban.
Foto: Reuters/Moshe Pridan/Courtesy Government Press Office
Makam Absalom - 2017
Sampai saat ini warga Arab dan Yahudi masih berseteru ihwal nama lembah bersejarah ini. Dalam bahasa Ibrani lembah ini dinamai Kidron, sementara warga Arab menyebutnya Wadi al-Joz.
Foto: Reuters/R. Zvulun
Bukit Zaitun - 1967
Lini pertahanan pasukan Arab-Yordania di Bukit Zaitun yang membentengi bagian timur Yerusalem mengalami gempuran hebat oleh militer Israel. Tidak butuh waktu lama bagi pasukan Yahudi untuk merebut kawasan strategis tersebut.
Foto: Government Press Office/REUTERS
Bukit Zaitun - 2017
Kini Bukit Zaitun dan kawasan pemukiman Wadi el-Joz yang berada di tepi Yerusalem terlihat modern. Pun menara rumah sakit Augusta Victoria yang dibangun pada awal abad ke19 masih berdiri tegap di puncak Bukit Zaitun. Kawasan tersebut hingga kini dihuni oleh warga Arab di Yerusalem.
Foto: Ronen Zvulun/REUTERS
Kubah Shakhrah - 1967
Kubah Shakhrah adalah ikon Yerusalem yang diperebutkan. Kompleks suci ini tidak hanya menjadi situs berharga umat Muslim, tetapi juga bangsa Yahudi. Sebab itu keputusan parlemen Israel, Knesset, untuk menyerahkan kompleks Al-Haram kepada umat Muslim sesaat setelah Perang 1967 dianggap mengejutkan oleh banyak pihak.
Foto: Reuters/Moshe Pridan/Courtesy of Government Press Office
Kubah Shakhrah - 2017
Buat warga Yahudi, kubah Shakhrah melindungi batu besar, tempat di mana Bumi diciptakan danNabi Ibrahim mengorbankan puteranya. Sementara untuk umat Muslim, dari tempat inilah Nabi Muhammad melakukan perjalanan langit yang dikenal dengan Isra Mi'raj.
Foto: Reuters/A. Awad
Gerbang Damaskus - 1967
Setelah tidak digunakan lagi sebagai benteng pertahanan, Gerbang Damaskus menjadi pintu masuk utama menuju kota tua Yerusalem. Meski terdapat konsensus antara Arab dan Israel untuk tidak menghancurkan bangunan bersejarah, sebagian tembok Gerbang Damaskus turut hancur dalam Perang 1967.
Foto: Reuters/
Gerbang Damaskus - 2017
Selama berpuluh tahun, kerusakan pada Gerbang Damaskus yang muncul akibat perang dibiarkan tak tersentuh. Baru 2011 silam Israel merestorasi menara dan sebagian besar tembok yang hancur akibat Perang 1967. Kini Gerbang Damaskus menjadi salah satu atraksi wisata paling digemari turis mancanegara.
Foto: Reuters/R. Zvulun
Arab Souk - 1967
Pasar Arab adalah jantung perdagangan Yerusalem sejak era Kesultanan Utsmaniyyah. Pada era kerajaan Islam terkuat sepanjang sejarah itu Yerusalem mengalami banyak pembangunan, antara lain tembok yang mengelilingi kota tua dan Pasar Arab.
Foto: Reuters/Fritz Cohen/Courtesy of Government Press Office
Arab Souk - 2017
Hingga hari ini Pasar Arab masih riuh oleh pedagang muslim yang menjajakan berbagai barang, mulai dari kebutuhan sehari-hari, pakaian khas Arab hingga berbagai jenis suvenir untuk wisatawan.
Foto: Reuters/A. Awad
Restoran Basti - 1967
Restoran Basti sudah dimiliki oleh keluarga muslim Yerusalem sejak 1927. Saat perang berkecamuk pun warga muslim masih menyempatkan diri bertemu di salah satu tempat makan paling tua di Yeruslem itu.
Foto: Reuters/Moshe Pridan/Courtesy of Government Press Office
Restoran Basti - 2017
Kini, 50 tahun berselang, restoran Basti menjadi lokasi favorit wisatawan asing yang menjelajah kota tua Yerusalem. Setiap tahun restoran ini selalu tutup lebih awal ketika warga Yahudi merayakan pembebasan dan penggabungan Yerusalem ke wilayah Israel sebagai buntut Perang 1967.
Foto: Reuters/A. Awad
Pemakaman Yahudi - 1967
Pada Perang Enam Hari, komandan militer Israel Motta Gur dan pasukannya memantau kompleks Al-Haram dari punggung Bukit Zaitun yang juga menaungi salah satu pemakaman Yahudi paling tua di Timur Tengah. Setelah merebut kawasan strategis ini dari tangan pasukan Yordania, Israel merencanakan perebutan kota tua Yerusalem.
Foto: Government Press Office/REUTERS
Pemakaman Yahudi - 2017
Kini, di lokasi yang sama, ribuan wisatawan berfoto untuk mengabadikan kompleks Al-Haram beserta kota tua Yerusalem. Bukit Zaitun tidak cuma tujuan wisata favorit umat Muslim, melainkan juga bangsa Yahudi.
Foto: Reuters/R. Zvulun
Sabil Qaitbay - 1967
Mata air Qaitbay yang dibangun pada era Kesultanan Mamluk, dianggap sebagai salah satu sudut paling cantik di kompleks Al-Haram. Meski dibangun dengan gaya Islam dengan membubuhkan ayat-ayat Al-Quran, menara mata air ini didesain oleh seorang arsitek beragama Kristen.
Foto: Reuters/
Sabil Qaitbay - 2017
Sejak Perang 1967, semua bangunan bersejarah dan dianggap suci oleh tiga agama Samawi dilindungi dan dijauhkan dari konflik bersenjata. Sebab itu pula berbagai situs bersejarah di Yerusalem nyaris tak berubah meski didera perang dan gelombang kekerasan. Meski begitu Yerusalem tetap berada di episentrum konflik antara Palestina dan Israel.
Foto: Reuters/A. Awad
18 foto1 | 18
Hogeg membeberkan, dia dan mitra barunya ingin menggunakan pendekatan "wortel dan tongkat,” dengan memanjakan pendukung lewat sepak bola berkualitas, sembari mengasingkan mereka yang menentang pesan koeksistensi damai di antara suku bangsa.
"Pilihannya adalah mendukung klub atau mendukung hal lain. Jika Anda menginginkan kebencian dan rasisme, Anda bukan bagian dari kami, kata dia.
Musuh dalam selimut
Pilihan itu kini jatuh ke tangan Avigail Sharabi, pendukung fanatik Beitar yang belakangan rajin tampil di televisi dan menuduh Hogeg menjual tradisi demi uang.
Pria berusia 54 tahun itu bersikeras dirinya tidak rasis, tapi mengaku tak mampu mencerna skenario seorang atlit Arab mengenakan seragam berlambang menorah atau menyanyikan lagu nasional Israel yang merayakan Palestina sebagai tanah Yahudi.
"Dia menjual semuanya. Dia menjual nama kami, prinsip-prinsip kami, kehidupan kami, belahan jiwa kami,” kata Sharabi menuduh Hogeg.
Amarah La Familia memuncak pada musim 2012/2013, ketika pemilik Beitar saat itu, Arcadi Gaydamak yang berdarah Rusia, membeli dua atlit muslim Chechnya dalam sebuah kesepakatan rahasia.
Kehadiran kedua pemain muslim itu lalu memicu kampanye paling rasis dalam sejarah sepak bola Israel, catat harian Haaretz dalam sebuah editorialnya. Spanduk bertuliskan "mati bagi bangsa Arab” atau "mati bagi kaum muslim” berulangkali terlihat di dalam dan luar stadion
Maya Zinshtein, jurnalis yang membuat film dokumenter "Selamanya Murni” tentang Beitar Jerusalem di musim yang kontroversial itu menilai La Familia mewakili suara minoritas yang vokal. Menurutnya mereka selama ini dibiarkan merundung basis pendukung yang lebih besar.
Ironisnya, banyak di antara pendukung Beitar merupakan minoritas Mizrahis, Yahudi berdarah Arab yang juga mengalami diskriminasi di negeri sendiri.
"La Familia tidak akan berubah. Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa besar ruang yang diberikan bagi mereka,” kata Zinshtein. Sutradara pemenang penghargaan Emmy itu meyakini Hogeg akan mampu membawa perubahan.
Baru-baru ini, aksi protes pendukung fanatik di sebuah sesi latihan ditandingi oleh pendukung lain yang berjumlah jauh lebih besar. "Ini tidak akan mudah,” kata Hogeg, yang meyakini La Familia akan terus mempertahankan tradisi rasis Beitar Jerusalem. "Tapi saya yakin kita akan menang,” pungkasnya.
rzn/as (ap, afp, jpost, haaretz)
Sejarah Proses Perdamaian Israel-Palestina
Lima puluh tahun berlalu sejak Perang Enam Hari tahun 1967, namun sengketa antara Israel dan Palestina belum juga terpecahkan. Berikut sejarah singkat upaya menghadirkan damai di Timur Tengah.
Resolusi 242 Dewan Keamanan PBB, 1967
Resolusi Dewan Keamanan PBB 242 tanggal 22 November 1967 menyerukan pertukaran tanah untuk perdamaian. Sejak itu, banyak upaya untuk membangun perdamaian di wilayah mengacu pada Resolusi 242. Resolusi itu ditulis sesuai dengan Bab VI Piagam PBB, di mana resolusi itu bersifat rekomendasi, bukan perintah.
Foto: Getty Images/Keystone
Perjanjian Perdamaian Camp David, 1978
26 Maret 1979, foto diambil setelah Presiden Mesir Anwar Sadat, presiden Amerika Serikat Jimmy Carter dan PM Israel Menachem Begin tandatangani perjanjian perdamaian di Washington, AS. Koalisi negara-negara Arab, yang dipimpin Mesir & Suriah berjuang dalam Yom Kippur (Perang Oktober 1973). Perang ini akhirnya mengarah pada pembicaraan damai yang berlangsung 12 hari & menghasilkan dua kesepakatan
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Daugherty
Konferensi Madrid, 1991
Amerika Serikat dan Uni Soviet bersama-sama menyelenggarakan sebuah konferensi di ibukota Spanyol, Madrid. Konferensi di Madrid melibatkan Israel, Yordania, Lebanon, Suriah, dan Palestina. Inilah untuk pertamakalinya mereka bertemu juru runding Israel. Di sini tak banyak pencapaian ke arah perdamaian. Namun pertemuan tersebut membuahkan kerangka dasar untuk negosiasi lanjutan.
Foto: picture-alliance/dpa/J. Hollander
Perjanjian Oslo, 1993
Negosiasi di Norwegia berlangsung antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Inilah kesepakatan pertama antar kedua belah pihak yang disebut Perjanjian Oslo & ditandatangani di Amerika bulan September 1993. Isinya antara lain penarikan pasukan Israel dari Tepi Barat dan Gaza. Palestina mendapat kewenangan membangun sendiri otoritas pemerintahan selama masa transisi 5 tahun
Foto: picture-alliance/dpa/A. Sachs
Perjanjian Camp David, 2000
Presiden AS saat itu, Bill Clinton, mengundang Perdana Menteri Israel, Ehud Barak, dan Ketua PLO, Yasser Arafat, untuk membahas perbatasan, keamanan, pemukiman, pengungsi, dan Yerusalem. Meskipun lebih rinci daripada sebelumnya, dalam negosiasi ini tidak tercapai kesepakatan. Kegagalan untuk mencapai kesepakatan di Camp David tahun 2000 diikuti oleh pemberontakan Palestina.
Foto: picture-alliance/AP Photo/R. Edmonds
Inisiatif Perdamaian Arab, 2002
Negosiasi berikutnya di Washington, di Kairo dan Taba, Mesir. Namun, juga tanpa hasil. Kemudian, Inisiatif Perdamaian Arab diusulkan di Beirut pada Maret 2002. Inisiatif menyatakan jika Israel mencapai kesepakatan dengan Palestina tentang pembentukan negara Palestina berdasarkan garis batas 1967, maka semua negara Arab akan tandatangani perjanjian perdamaian dan hubungan diplomatik dengan Israel.
Foto: Getty Images/C. Kealy
Peta jalan damai, 2003
Dalam kerangka Kuartet Timur Tengah, AS, Uni Eropa, Rusia & PBB mengembangkan peta jalan damai. Pada bulan Juni 2003, Perdana Menteri Israel Ariel Sharon dan Pemimpin Palestina Mahmoud Abbas, menerima peta jalan damai itu, dengan persetujuan Dewan Keamanan PBB pada November. 2003. Jadwal kesepakatan akhir sejatinya bakal berlangsung tahun 2005. Sayangnya, hal itu tidak pernah terlaksana.
Foto: Getty Iamges/AFP/J. Aruri
Annapolis, 2007
2007, Presiden AS, George W. Bush jadi tuan rumah konferensi di Annapolis, Maryland, yang bertujuan meluncurkan kembali proses perdamaian. PM Israel, Ehud Olmert & Pemimpin Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas ambil bagian dalam pembicaraan dengan pejabat puluhan negara-negara Arab. Disepakati, negosiasi lebih lanjut akan dilakukan dengan tujuan mencapai kesepakatan damai pada akhir tahun 2008.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Thew
Washington 2010
Tahun 2010, atas upaya utusan khusus AS George Mitchell, PM Israel Benjamin Netanyahu menyetujui dan menerapkan moratorium 10 bulan untuk permukiman di wilayah yang dipersengketakan. Kemudian, Netanyahu dan Abbas setuju untuk kembali meluncurkan negosiasi langsung guna menyelesaikan semua masalah. Negosiasi dimulai di Washington pada September 2010, namun dalam beberapa minggu terjadi kebuntuan
Foto: picture-alliance/dpa/M. Milner
Siklus eskalasi dan gencatan senjata
Babak baru kekerasan pecah di dan sekitar Gaza akhir tahun 2012. Gencatan senjata dicapai antara Israel dan mereka yang berkuasa di Jalur Gaza berakhir Juni 2014. Penculikan dan pembunuhan tiga remaja Israel pada Juni 2014 mengakibatkan kekerasan baru dan akhirnya menyebabkan peluncuran operasi militer Israel, yang berakhir dengan gencatan senjata pada tanggal 26 Agustus tahun 2014.
Foto: picture-alliance/dpa
KTT Paris, 2017
Utusan dari lebih dari 70 negara berkumpul di Paris, Perancis, membahas konflik Israel -Palestina. Netanyahu mengecam diskusi itu sebagai bentuk "kecurangan". Baik perwakilan Israel maupun Palestina menghadiri pertemuan puncak. "Sebuah solusi dua negara adalah satu-satunya kemungkinan," kata Menteri Luar Negeri Perancis, Jean-Marc Ayrault, dalam acara tersebut.
Penulis: Aasim Saleem (ap/as)