1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kisah Horor Pembelot Korea Utara

24 Oktober 2013

Tim PBB yang menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di Korea Utara, mendengarkan kisah-kisah horor orang-orang yang berhasil melarikan diri dari rezim Stalinis yang berkuasa di negeri misterius tersebut.

Foto: dapd

Komisi HAM PBB, bulan Oktober 2013 di London, telah mendengarkan kesaksian dari beberapa pembelot yang berhasil melarikan diri dan kini tinggal di Eropa setelah sebelumnya juga mendengarkan kesaksian lainnya di Seoul dan Tokyo.

Jihyuan Park, yang berbicara dengan lembut, adalah seorang perempuan berusia tiga puluhan, yang menangis saat menceritakan tentang bagaimana ia bisa melarikan diri menyeberangi perbatasan dengan Cina pada tahun 1998, dengan cara ‘menjual diri' sebagai ‘istri' seorang pejudi Cina.

“Pertama-tama yang mereka katakan kepada saya bahwa, karena mereka telah membeli saya, maka mereka bisa melakukan apapun,” kata dia di hadapan panel melalui penerjemah.

Park, terpaksa meninggalkan Korea Utara karena kakaknya yang tentara mendapat masalah akibat berbisnis. Ia akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki di Cina. Tapi kemudian ia ditangkap dan diancam bakal dipulangkan. Segera setelah itu, ia mendengar bahwa ‘suaminya' terlibat dalam tawar menawar harga dengan seorang anggota sindikat penjualan manusia mengenai harga anak laki-laki yang ia lahirkan.

“Karena ia lahir di tempat sekeras itu, saya ingin ia menjadi betul-betul kuat,” kata perempuan itu sambil sesenggukan. “Jadi saya namai dia Baja”.

Park akhirnya dikirim balik ke Korea Utara dan sebagaimana pembelot lainnya, ditempatkan di sebuah kamp penahanan dan menjalani kerja paksa.

Tapi ia akhirnya berhasil kembali ke Cina dan menemukan putranya yang ternyata belum dijual ke sindikat perdagangan manusia. Park yang merasa sangat lega karena menemukan anaknya, akhirnya menuju Inggris dan kini sedang mengajukan kewarganegaraan.

Lari karena lapar

Pembelot lainnya, Song Ju Kim, mengatakan bahwa dia empat kali berusaha melarikan diri dari Korea Utara – karena kata dia, di sana “tidak ada makanan”.

Kelaparan telah membunuh ratusan ribu orang Korea Utara selama tahun 1990an, dan jutaan orang masih menggantungkan diri pada bantuan makanan.

Kim menceritakan tentang bagaimana, ia yang didera rasa lapar, pertama kali berusaha melarikan diri menyeberangi sungai es Tumen menuju Cina pada Maret 2006.

Perbatasan Korea Utara dijaga ketatFoto: AP

Saat itu ia segera tertangkap oleh tentara Cina dan dikembalikan ke Korea Utara dan dipukuli dalam derajat yang ia gambarkan “di bawah kemanusiaan”.

Kim menggambarkan pusat penahanan di mana ia menyaksikan penyiksaan berupa pukulan-pukulan yang mengerikan. Ia juga dipaksa mengorek-ngorek kotoran tahanan lain untuk mencari uang yang diduga disembunyikan dengan cara ditelan. Para tahanan di sana, kata Kim tidak diizinkan berdiri.

“Para penjaga penjara Korea Utara mengatakan kepada kami bahwa ketika kami masuk ke penjara ini maka kami bukan lagi manusia, tapi hanyalah binatang,” kata dia. ”Dan segera setelah kalian masuk ke penjara ini kamu hanya boleh merangkak, seperti binatang.”

Para tahanan diberi makan bubur encer yang sebagian terbuat dari debu dan batu, tambah dia. Ia berhasil melarikan diri ke Cina dalam usaha keempat dan kemudian ke Inggris dengan bantuan para misionaris.

Pyongyang telah menolak memberi akses kepada komisi PBB untuk masuk ke negara itu dan menggambarkan puluhan pembelot yang memberikan keterangan itu sebagai “kotoran manusia”.

Dipimpin seorang pensiunan hakim Australia yakni Michael Kirby, tim PBB termasuk diantaranya bekas jaksa Agung Indonesia Marzuki Darusman, secara resmi melakukan penyelidikan mengenai pelanggaran hak asasi manusia di Korea Utara.

ab/hp (afp,rtr,ap)