1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Kisah Kasih Gen Z dengan Anabul Kucing Kesayangan

8 Agustus 2023

Dari menunggu kucing kawin dini hari, hingga ke telat sekolah karena menemani kucing melahirkan. Kisah kasih Gen Z dengan anabul kesayangan yang mereka anggap 'anak'.

Gambar ilustrasi seekor kucing putih abu-abu memejamkan mata
Gambar ilustrasi seekor kucingFoto: Pond5/IMAGO

Meski kucing sering kali menghabiskan banyak waktu untuk tidur, bagi sebagian orang sulit rasanya menolak pesona wajah yang menggemaskan di balik bulu-bulunya. Menurut data Statista, di seluruh dunia sekitar 370 juta kucing dipelihara sebagai hewan peliharaan. Tanggal 8 Agustus pun diperingati sebagai hari kucing sedunia.

Kucing memang salah satu binatang peliharaan yang banyak disukai, termasuk di Indonesia. Menurut laporan dari Rakuten Insight tentang Pet Ownership in Asia pada 2021, kucing menduduki peringkat pertama binatang yang paling banyak dipelihara di Indonesia. Sekitar 47% orang Indonesia memelihara kucing. Di posisi dua ditempati oleh anjing sebanyak 10%.

Menggemaskan buat banyak orang dengan tingkah lakunya, banyak orang yang rela memanjakan kucing-kucing peliharaan mereka. Indah Pudjiastuti termasuk salah satu 'pengabdi kucing' yang rela melakukan apa pun demi hewan berbulu ini. Pertemuan Indah dengan kucingnya diakui ibarat takdir di masa pandemi lalu.

"Ini pertama kalinya aku punya kucing. Sebenarnya kucing ini datang tiba-tiba ke rumah waktu pandemi. Ternyata kalau dilihat-lihat kucingnya lucu, nggak nakal, sopan gitu. Kebetulan sekeluarga suka kucing, jadi ya sudah dipelihara saja," kata Indah kepada DW Indonesia. Ia mengaku awalnya tidak pernah terpikir untuk memelihara. "Tahu-tahu kucing ini datang, kaya ketemu jodoh saja, langsung klik."

Adaptasi kucing kampung di lingkungan

Jika Indah dihampiri si kucing, lain cerita dengan Diah Maunah. Pemilik lima ekor kucing ini mengungkapkan bahwa kucing-kucing peliharaannya ia temukan di pinggir jalan, kemudian dibawa pulang untuk diadopsi.

"Sebenarnya sudah suka kucing dari kecil tapi belum boleh pelihara. Setelah usia 6 tahun, tiba-tiba ibu saya pulang dari pasar sambal membawa dua ekor kucing hadiah ulang tahun. Mungkin dianggap sudah bisa bertanggung jawab." 

Diah Maunah, pecinta kucing di JakartaFoto: privat

"Mereka itu selalu menemani saya di rumah, jadi teman ngobrol di saat hanya ingin bercerita, dan saya merasa memelihara mereka itu adalah salah satu cara saya mewaraskan pikiran, mereka bisa melepas stres saya," kata Diah Maunah kepada DW Indonesia.

Sementara pecinta kucing lainnya yang bernama Endro Priherdityo mengatakan bahwa ia sempat memelihara hingga 22 ekor kucing yang berdatangan di sekitar rumahnya. Dia menyebut bahwa awalnya kakak lelakinya menumbuhkan kecintaan pada kucing dengan memeliharanya di rumah.

"Kucingnya datang sendiri ke rumah, ada juga yang lahir di rumah, lama-lama ngumpul. Tapi saat itu saya belum punya pengetahuan untuk urus kucing dan belum punya uang sendiri jadi banyak yang mati juga," kata Endro kepada DW Indonesia.

Dari pengalaman itu, dia bertekad untuk lebih memahami 'dunia perkucingan' dengan lebih baik agar kucing yang kini tersisa empat ekor bisa hidup dengan baik dan sehat.

Anabul, si anak bulu kesayangan

Tak sekadar buat kesenangan, Endro memelihara kucing di rumah sebagai satu cara untuk memperbaiki mood.

"Mereka itu sudah saya anggap anak. Mereka juga bikin saya jadi eling (sadar), bahkan di keluarga saja tidak ada jaminan 100% bakal bahagia terus. Nah, anak-anak ini bakal menetralisir itu. Kadang cuma elus-elus mereka, lihat tingkah konyol, atau lihat mereka tidur dan nggak ngapa-ngapain aja itu udah bikin ketawa sendiri."

Hal yang dirasakan para pecinta kucing tentang meningkatkan mood memang bukan omong kosong. Selain lucu dan memberikan rasa persahabatan, punya hewan peliharaan di rumah terbukti memberikan pengaruh tertentu terhadap pemiliknya.

Menurut penelitian Benefits of Pet's Ownership, yang dimuat di Research Gate pada 2021 lalu, seekor hewan peliharaan akan membantu mengurangi tingkat kecemasan, meningkatkan ketekunan aktivitas fisik, dan meningkatkan interaksi sosial. Hewan peliharaan juga berpengaruh terhadap kesehatan fisik dan kesehatan mental, karena penelitian sebelumnya menunjukkan kontribusinya untuk memodulasi penyakit mental, mengurangi masalah kardiovaskular, meningkatkan hasil dari banyak penyakit mental seperti depresi, dan menjadi terapi yang bermanfaat bagi pasien Parkinson. 

Rasa sayang membuat ketiga pecinta kucing ini rela melakukan apapun demi kucing-kucing mereka. Endro sendiri mengaku kalau dia rela melakukan banyak hal buat 'anak-anaknya'. Bahkan dia menyebut dirinya sebagai bucin alias budak cinta buat keempat anaknya. Mungkin dia bukan tipe orang suka memakaikan aneka baju dan untuk kucingnya. Kata dia, itu hal yang aneh. Namun, Endro lebih berfokus pada kesehatan fisik dan mental 'anak-anaknya'.

"Rutinitas kalau pulang ke rumah itu, pasti harus ngajak main mereka. Kaya misalnya si abang, dia itu suka banget main kejar-kejaran. Jadi saya godain dulu sampai bersemangat lalu saya tinggal. Dia bakal ngejar tuh, lalu gitu aja seterusnya sampai capek. Tapi saya sih capek duluan dibanding dia. Tapi demi dia bahagia nggak apa-apa."

Meski demikian dia mengaku kalau pernah impulsif membeli berbagai mainan untuk kucingnya. Dia menyebut pernah membeli mainan gantung, tali, bola yang bisa berputar sendiri, sampai tikus robot. Namun, semuanya tak terpakai lantaran kucing lebih memilih kantong plastik, tali, dan tas.

Telat sekolah demi temani kucing melahirkan

Meski harus ditinggal bekerja, Endro memastikan kucing-kucingnya ini bahagia. Dia bahkan rela menjaga kucingnya saat tidur bahkan sampai menyuapi kucingnya agar mau makan. Tak cuma itu, dia juga pernah beberapa kali harus terlambat kerja dan janjian dengan temannya.

"Waktu mau pergi, tiba-tiba mereka semua antar sampai tangga. Nah di situ mulailah pada kasih muka-muka memelas menggemaskan gitu. Karena iman saya nggak kuat jadilah lemah dan ajak mereka main dulu. Pas mereka capek dan tidur baru saya mengendap-edap pergi deh."

'Masalah' dengan anak bulu alias anabul ini juga dirasakan oleh Diah. Dia juga merasakan bagaimana sulitnya menolak pesona menggemaskan mereka atau sulitnya meninggalkan mereka saat anabul sakit. Diah bahkan pernah rela minta izin untuk telat meeting offline lantaran kucingnya mati. Dia tak bisa meninggalkannya begitu saja. Tak cuma itu, saat masih sekolah dia pun pernah telat masuk sekolah gara-gara kucing. 

"Saya pernah sangat telat masuk sekolah, masuk di jam setelah istirahat, waktu kelas 2 SMP. Paginya kucing melahirkan, dia minta ditungguin, waktu sudah rapi mau sekolah, ngikutin keluar kardus, anaknya lahir dan tali pusarnya belum putus. Tiap mau pergi kucingnya ngikutin akhirnya saya nungguin dia lahiran dulu, dari lahir satu sampai keluar 4 ekor," kata Diah.

Sementara Indah pernah rela bangun di pagi buta untuk menemani kucingnya yang tengah berahi untuk kawin di pagi-pagi buta.

"Kasihan banget kucingku, waktu itu dia lagi berahi-berahinya jadi berisik. Tiba-tiba di jam 3 subuh, dia lihat ke jendela terus ternyata ada kucing kampung. Ngeong-ngeong terus, ngeliatnya kasihan," katanya.

"Saya sih maunya dia nggak kawin sama kucing kampung, tapi mau sama yang ras, tapi karena kasian ya udah deh nggak apa-apa. Saya keluarin dia, lalu saya tunggui dia kawin. Pas udah selesai saya masukin lagi ke rumah," ujarnya sambil tertawa.

(ae)

C. Andhika S. Detail, humanis, dan tidak ambigu menjadi pedoman saya dalam membuat artikel yang berkualitas.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait