Ada peretas dari Cina dan Rusia yang ingin menyerang data pemilu, demikian pernyataan KPU menjelang pemungutan suara. Seminggu berselang, terungkap peretas yang dimaksud sebenarnya ada di Indonesia.
Iklan
Minggu lalu, Rabu (13/03), Komisi Pemilihan Umum(KPU) mengeluarkan pernyataan ada peretas yang menggunakan IP (Internet Protocol) Address dari Cina dan Rusia yang ingin meretas situs KPU. Pernyataan ini segera menyebar rasa khawatir akan adanya upaya untuk "memanipulasi dan mengubah” data daftar pemilih tetap (DPT) dari sekitar 187 juta pemilih sah.
"Tidak hanya mereka (Cina dan Rusia) semua, banyak. Saya tidak begitu hapal IP address dari mana saja, tapi ada beberapa," ucap komisioner KPU Evi Novida Ginting seperti dikutip dari kumparan.com, Rabu (13/03). "Nah, itu macam-macam (serangannya), ada yang deface saja, ya macam-macam yang diserang itu," tuturnya menambahkan.
Namun klaim komisoner KPU tersebut belakangan dibantah tim IT KPU sendiri. Harry Sufehmi, konsultan infrastruktur IT di KPU menyebutkan memang benar secara konstan ada serangan peretas dari negara-negara Rusia, Cinadan Amerika Serikat, namun upaya itu kemungkinan besar berasal dari Indonesia.
"Kemungkinan sebagian besar dari mereka adalah peretas lokal," ungkap Sufehmi, "Mereka hanya menggunakan titik lokasi di negara tersebut untuk menutupi jejaknya."
Wikileaks baru-baru ini membocorkan data yang diberi nama “Vault 7- Leaks“, bahwa Dinas Rahasia AS-CIA mengerahkan pasukan peretas untuk memata-matai setiap orang. Ini 7 trik untuk mencegah penyadapan semacam itu.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Rain
Jangan Gunakan Internet
Cara paling gampang adalah jangan gunakan internet. Tapi cara ini juga paling sulit dilakukan. Pasalnya setiap orang di dunia modern pasti memiliki perangkat yang selalu terhubung ke internet, baik itu komputer, smartphone, tablet atau peralatan rumah tangga sehari-hari.
Foto: picture-alliance/dpa
Cek Koneksi Internet
Alternativnya, cek semua peralatan yang terkoneksi ke internet. Banyak peralatan di rumah, tanpa sepengetahuan kita terus melakukan pertukaran data dengan pabrik pembuatnya. Atau yang lebih jahat, ada komponen yang sengaja dipasang untuk mengirim data. Cek lewat Shodan.io, perangkat mana yang terhubung dengan internet dan bagaimana cara melindunginya
Foto: picture alliance/dpa/A. Franke
Gunakan Password
Dengan menggunakan password atau teknik sandi lainnya, pengguna internet bisa mengatur arus data yang mereka unduh atau unggah. Biasanya fitur pada perangkat pintar memiliki opsi untuk pengaturan keamanan transfer data. Dengan memasang opsi ini, Anda yang mengatur transfer data, dan bukan perangkat yang kita miliki.
Foto: Fotolia/Pedro Nunes
Pakai Jejaring Aman
Di negara maju memiliki jaringan WiFi di rumah sudah merupakan hal lazim. Disarankan lindungi WLAN dengan password dan sandi yang cukup aman. Jika menggunakan WiFi terbuka atau Hotspot, usahakan menggunakan jejaring yang memasang fitur keamanan.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Schutt
Update Teratur
Bukan hanya keamanan jaringan internet, juga sistem operasi perangkat yang Anda miliki harus aman. Produsen yang peduli, selalu melakukan update software yang mereka pasang di perangkatnya secara teratur. Menurut Vault-7 peretas CIA diketahui menyerang celah keamanan pada sistem operasi Apple yang tidak diupdate.
Foto: Kimihiro Hoshino/AFP/Getty Images
Tutup Kamera dan Mikrofon
Perangkat canggih yang Anda miliki biasanya dipasangi fitur kamera dan mikrofon untuk komunikasi digital. Jika Anda tidak mau kehidupan probadi dimata-matai, tutup kamera dan mikrofon itu dengan lakban. Pendiri Facebook, Mark Zuckerberg juga melakukan tindakan pengaman ini. Mottonya: perusahaan sehebat dan seaman Facebook saja, merasa was-was dengan serangan peretas sekelas Vault-7
Foto: picture-alliance/dpa/O. Berg
Unduh App Aman
App adalah alat bantu utama pada smartphone. Pastikan Anda mengunduh app yang aman yang tidak menghimpun dan mengirim data dari perangkat Anda ke pihak ketiga. Walau cukup banyak aplikasi yang aman, peretas juga lebih pintar, dengan mencoba menyadap informasi saat ditulis, sebelum disandi oleh app aman. as/yf(dari berbagai sumber)
Foto: picture alliance/ZB/Pedersen
7 foto1 | 7
Takut intervensi asing
Februari 2019, calon presiden 01, Joko Widodo sempat menyerang lawan politiknya dengan menyebutkan ada "propaganda Rusia” yang berupaya menyebar informasi yang salah. Meski muncul kekhawatiran akan adanya campur tangan asing dan peretas yang mencoba membajak pemilu Indonesia mendatang, tim keamanan siber KPU menyatakan kondisi saat ini sebenarnya tidak berbeda dengan pilpres tahun 2014.
"Rata-rata ada 10 hingga 20 upaya (peretasan) setiap harinya, tetapi sebagian besar upaya tersebut berbentuk otomatis, bukan peretas sungguhan yang membuat semacam serangan khusus,” kara Sufehmi, "Sejauh ini saya pikir sebagian besar adalah perorangan, bukan aktor yang mewakili institusi pemerintahan, dan hanya perorangan yang berasal dari Indonesia. Upaya ini konsisten dengan pola yang telah kami amati selama bertahun-tahun, sejak 2014.”
Ia bisa memicu konflik, menggulingkan pemerintahan dan memecah belah satu bangsa: kabar bohong alias Hoax sejak lama ikut menggerakkan sejarah peradaban manusia. Inilah kisahnya:
Foto: Fotolia
Fenomena Beracun
Kabar bohong kembali mengalami kebangkitan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pada hakikatnya, berita palsu yang marak di media-media sosial saat ini tidak berbeda dengan propaganda hitam yang disebar buat memicu perang dan kebencian pada abad silam. Fenomena itu mengandalkan jumlah massa untuk membumikan sebuah kebohongan. Karena semakin banyak yang percaya, semakin nyata juga sebuah berita
Foto: Fotolia/svort
Oplah Berganda buat Hearst
Pada 1889 pengusaha AS William Hearst ingin agar AS mengobarkan perang terhadap Spanyol di Amerika Selatan. Untuk itu ia memanfaatkan surat kabarnya, Morning Journal, buat menyebar kabar bohong dan menyeret opini publik, antara lain tentang serdadu Spanyol yang menelanjangi perempuan AS. Hearst mengintip peluang bisnis. Karena sejak perang berkecamuk, oplah Morning Journal berlipat ganda
Kebohongan Memicu Perang Dunia
Awal September 1939, Adolf Hitler mengabarkan kepada parlemen Jerman bahwa militer Polandia telah "menembaki tentara Jerman pada pukul 05:45." Ia lalu bersumpah akan membalas dendam. Kebohongan yang memicu Perang Dunia II itu terungkap setelah ketahuan tentara Jerman sendiri yang membunuh pasukan perbatasan Polandia. Karena sejak 1938 Jerman sudah mempersiapkan pendudukan terhadap jirannya itu.
Foto: Getty Images/H.Hoffmann
Kampanye Hitam McNamara
Kementerian Pertahanan AS mengabarkan bahwa kapal perang USS Maddox ditembaki kapal Vietnam Utara pada 2 dan 4 Agustus 1964. Insiden di Teluk Tonkin itu mendorong Kongres AS menerbitkan resolusi yang menjadi landasan hukum buat Presiden Lyndon B. Johnson untuk menyerang Vietnam. Tapi tahun 1995 bekas menhan AS, Robert McNamara, mengakui insiden tersebut adalah berita palsu.
Foto: NATIONAL ARCHIVES/AFP/Getty Images
Kesaksian Palsu Nariyah
Seorang remaja putri Kuwait, Nariyah, bersaksi di depan kongres AS pada 19.10.1990 tentang kebiadaban prajurit Irak yang membunuh puluhan balita. Kesaksian tersebut ikut menyulut Perang Teluk. Belakangan ketahuan Nariyah adalah putri duta besar Kuwait dan kesaksiannya merupakan bagian dari kampanye perusahaan iklan, Hill & Knowlton atas permintaan pemerintah Kuwait.
Foto: picture alliance/CPA Media
Operasi Tapal Besi
April 2000 pemerintah Bulgaria meneruskan laporan dinas rahasia Jerman tentang rencana pembersihan etnis ala Holocaust oleh Serbia terhadap etnis Albania dan Kosovo. Buktinya adalah citra udara dari lokasi kamp konsentrasi. Laporan tersebut menggerakkan NATO untuk melancarkan serangan udara terhadap Serbia. Rencana yang diberi kode "Operasi Tapal Besi" itu tidak pernah terbukti hingga kini.
Foto: Yugoslav Army/RL
Bukti Kosong Powell
Pada 5 Februari 2003 Menteri Luar Negeri AS, Colin Powell, mengklaim memiliki bukti kepemilikan senjata pemusnah massal oleh Irak pada sebuah sidang Dewan Keamanan PBB. Meski tak mendapat mandat PBB, Presiden AS George W. Bush, akhirnya tetap menginvasi Irak buat meruntuhkan rejim Saddam Hussein. Hingga kini senjata biologi dan kimia yang diklaim dimiliki Irak tidak pernah ditemukan.
Foto: AFP/Getty Images
7 foto1 | 7
Serangan itu biasa
Upaya untuk meretas data pemilih pemilu sangat rutin terjadi hingga sudah dianggap sebagai hal yang "normal", ujar Sufehmi. Sebagai institusi penting, ketika seseorang mampu meretas data di KPU maka ia akan mendapat nama di kalangan peretas.
Meski tidak ada upaya peretasan yang berhasil, namun tim siber KPU yang bertugas menjaga keamanan DPT, menyimpan kekhawatiran akan berbagai upaya merangsek data dengan cara lainnya. Kandidat oposisi menuding ada sekitar 17.5 juta identitas yang dipertanyakan dalam DPT tahun ini – klaim yang saat ini sedang diselidiki KPU.
Awal Maret (06/03), KPU mencoret 101 warga negara asing dari 103 WNA yang masuk dalam DPT. Sementara dua data WNA lainnya adalah ganda. Senin (18/03), dua WNA asal Inggris dan AS sempat tercatat dalam DPT di Kota Depok, Jawa Barat untuk Pemilu 2019.
Lalu Januari lalu (03/01), tersebar informasi soal tujuh kontainer berisi jutaan surat suara Pilpres 2019 yang tercoblos dan dikirim dari Cina. Meski KPU mengonfirmasi informasi itu tidak benar, namun masa kampanye yang dipenuhi dengan hoax membuat informasi demikan dengan cepat menyulut sentimen warga akan pengaruh Cina di Indonesia.
Meski demikian, kekhawatiran akan "pemilih siluman" dan anomali lainnya dalam DPT bukanlah hal yang baru. Tahun 2014, Mahkamah Konstitusi menolak klaim kandidat presiden Prabowo Subianto, yang tidak menerima hasil pemilu dengan menyebut ada kecurangan dalam DPT.
Diskusi Pemilu Presiden 2019 Ala Milenial Indonesia di Jerman
Diskusi seputar Pemilu 2019 kerap mereka lakukan. Dengan diskusi yang mengedepankan nilai positif dari masing-masing calon presiden, mereka percaya Pemilu 2019 akan menjadi pesta demokrasi yang meriah dan menyenangkan.
Foto: DW/R. A. Putra
Pengalaman berharga
Mengikuti Pemilu 2019 di luar negeri yang akan dialami pertama kali oleh empat sekawan Ardan, Qinta, Sina dan Kevin membuat mereka bersemangat. “Kami antusias sekali pada Pemilu ini, ditambah lagi kami sedang di luar negeri, suasananya berbeda, cara memilihnya berbeda,” kata mahasiswa Indonesia bernama lengkap Hamzah Shafardan tersebut.
Foto: DW/R. A. Putra
Berdiskusi untuk masa depan Indonesia
Kondisi politik Indonesia serta banyaknya berita hoax, mendorong mereka sering mengadakan diskusi membahas pemberitaan seputar Pemilu Presiden 2019. “Kita biasa lihat berita dari media sosial contohnya Instagram atau Youtube tentang Pemilu Presiden. Dari situ muncul diskusi tentang kandidat mana yang pantas kita pilih,” kata mahasiswa Universität Bonn asal Tangerang, Kevin Olindo.
Foto: DW/R. A. Putra
Tukar pikiran tentang calon presiden
Dikotomi politik yang begitu kentara di tanah air terkadang membuat mereka jengah. Menurut Qinta Kurnia Fathia “Kita semua pasti menginginkan pilihan yang terbaik, jadi lebih baik kita bertukar pikiran berfokus pada nilai positifnya dibanding saling menjatuhkan”.
Foto: DW/R. A. Putra
Saling menghormati pilihan masing-masing
Walau mereka sering berdiskusi, pilihan politik masing-masing individu tentu berbeda. Namun mereka tidak pernah mempersoalkan hal tersebut. “Bila kita memperdebatkan pilihan politik orang lain, itu tidak etis. Setiap orang memiliki hak untuk berpendapat dan memilih sesuai yang ia yakini,” kata Ardan.
Foto: DW/R. A. Putra
Pendidikan yang utama
Sebagai mahasiswa mereka sangat berharap, presiden yang terpilih nantinya akan makin memperhatikan dunia pendidikan di Indonesia. Seperti yang diungkapkan Sinatryasti Purwi Agfianingrum, “yang jelas presiden yang bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik, juga dapat meningkatkan mutu sumber daya manusianya melalui pendidikan”. (Rizki Akbar Putra/yp/as)