Pasangan Turpin ditangkap di California setelah polisi menemukan 13 anaknya yang dikurung di rumah mereka. Beberapa anak juga diikat, dirantai, dan digembok pada tempat tidurnya.
Iklan
Kejadian menyedihkan ini sudah dimulai saat keluarga Turpin tinggal di Texas, Amerika Serikat. David Allen Turpin (57) dan Louise Anna Turpin (49) menyekap 13 anaknya yang berusia dua sampai 29 tahun di ruangan dan mengikat mereka di tempat tidur. Bila ada salah satu anaknya yang mencoba kabur, kedua orang tua keji tersebut akan mengganti talinya dengan rantai yang digembok selama berbulan-bulan.
Saat tinggal di Texas kedua orang tua itu juga pernah menempati rumah terpisah dengan anak-anaknya dan hanya mengantarkan makanan sesekali. Jika ada dari anak mereka yang memberontak, maka pasangan Turpin tersebut akan memisahkannya ke ruangan lain dan memberi makanan yang lebih sedikit. Hukuman juga diterimaanak yang melawan seperti dipukul dan dicekik.
Untuk mengurangi kecurigaan dari para tetangga, pasangan Turpin mempekerjakan mereka di tengah malam. Salah seorang tetangga keluarga Turpin, Josh Tiedeman-Bell pernah melihat anak-anak nahas tersebut mengurus pekarangan di malam hari. Pada acara Natal tahunan di perumahan tersebut Josh merasa aneh melihat anak-anak Turpin yang tidak bicara sedikit pun. Para tetangga yang biasa mengadakan pesta 'barbeque' di belakang rumah masing-masing tidak curiga, namun merasa pilu saat tahu anak-anak Turpin tumbuh dalam kesengsaraan. "Kami semua seperti bagian dari mimpi buruk mereka," kata Josh, sambil menahan air mata.
Praktik Keji Memasung Orang Sakit Jiwa di Indonesia
Selama dua tahun aktivis Human Rights Watch (HRW) berkeliling Sumatera dan Jawa buat mengunjungi 16 pusat rehabilitasi mental dan rumah sakit jiwa. Yang mereka temukan di sana adalah sebuah tragedi kemanusiaan.
Foto: HRW/Andrea Star Reese
Penjara Jiwa
Human Rights Watch mencatat ratusan kasus, di mana pasien gangguan kejiwaan dipasung, dipenjara, mengalami kekerasan fisik dan seksual, antara lain dengan terapi kejut listrik. Foto-foto ini dibuat oleh fotografer AS, Andrea Star Reese dalam esainya yang berjudul "Disorder" tentang potret muram perawatan pasien gangguan kejiwaan di Indonesia
Foto: HRW/Andrea Star Reese
Nasib Muram Pasien Mental
HRW mencatat lebih dari 56.000 pasien gangguan kejiwaan pernah dipasung selama perawatan. Saat ini sekitar 19.000 orang masih mengalami praktik keji tersebut. Minimnya pendidikan dan infrastruktur kesehatan diyakini bertanggungjawab atas nasib muram pasien mental di Indonesia.
Foto: HRW/Andrea Star Reese
Merajalela Berkat Dukun
Kendati telah dilarang oleh pemerintah sejak tahun 1977, praktik pasung masih merajalela di Indonesia. Menurut mantan Direktur Kesehatan Mental di Kementerian Kesehatan, Dr Pandu Setiawan, tanpa akses pengobatan profesional, keluarga pasien seringkali terpaksa berobat pada dukun. "Disitulah praktik pasung bermula," tuturnya kepada Radio Australia
Foto: HRW/Andrea Star Reese
Tanpa Akses Pengobatan
Indonesia, negara yang berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa, saat ini tercatat cuma memiliki 600 hingga 800 psikiater dan 48 rumah sakit jiwa yang sebagian besarnya berada di empat dari 34 provinsi yang ada. Bandingkan dengan jumlah pasien gangguan kejiwaan yang saat ini mencapai 19 juta orang.
Foto: HRW/Andrea Star Reese
Neraka di Halaman Belakang
Dalam laporannya HRW mencatat sebagian pasien dipasung selama berpuluh tahun. Foto yang diambil tahun 2011 ini menampilkan seorang pasien gangguan jiwa yang dipasung selama sembilan tahun di halaman belakang rumah keluarganya di Cianjur, Jawa Barat. Ketika dibebaskan, kakinya telah menyusut alias mengalami Antrofi lantaran tidak digunakan.
Foto: HRW/Andrea Star Reese
Terjebak Dalam Lingkaran Setan
Kampanye anti pasung yang dilancarkan Kementerian Kesehatan sejak lima tahun silam belum banyak mengubah nasib pasien gangguan jiwa. Namun begitu tahun lalu saja pemerintah berhasil membebaskan 8000 pasien. Sejak Januari silam obat Risperidone yang biasa digunakan untuk merawat penderita Skizofrenia dan gangguan Bipolar juga sudah bisa diperoleh secara gratis melalui asuransi BPJS
Foto: HRW/Andrea Star Reese
Stigma Sosial
Hal lain yang memperburuk situasi pasien mental adalah stigma sosial. Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, dr. Irmansyah, mengklaim 70 hingga 80 persen pasien kejiwaan mendarat di pemasungan di halaman belakang rumah atau di tangan dukun lantaran stigma negatif masyarakat. "Pada akirnya pasien-pasien itu tetap sakit secara mental."
Foto: HRW/Andrea Star Reese
7 foto1 | 7
Pernah juga suatu ketika orangtua kejam tersebut membawa beberapa apel dan kue pai labu ke rumah. Namun mereka tidak memperbolehkan anak-anaknya menyentuh makanan itu dan hanya menaruhnya di pojok dapur. Padahal pasangan Turpin selalu makan makanan yang baik dan berkecukupan.
Selamat dari mimpi buruk
Kepolisian California akhirnya berhasil mengetahui kasus tersebut setelah salah satu anak perempuan Turpin berhasil melarikan diri dengan memanjat jendela di atas atap rumah. Anak perempuan berusia 17 tahun itu berhasil menghubungi nomor panggilan darurat. Ia telah merencanakan pelarian diri sejak dua tahun lalu.
Polisi lalu menggeledah kediaman keluarga Turpin hari Minggu (14/01/2018). Petugas kepolisian mengaku terkejut saat sampai di rumah yang berlokasi pada sebuah jalan buntu di daerah Perris, 97 km arah tenggara dari Los Angeles. Anak-anak malang tersebut ditemukan dalam kondisi kekurangan gizi yang sangat parah hingga mengalami kerusakan saraf. Anak perempuan tertua mereka yang berusia 29 tahun hanya memiliki berat tubuh 38 kg layaknya anak umur 7 tahun. Beberapa anak lainnya diisolasi begitu lama sampai tidak mengetahui apa arti aparat kepolisian.
Saat penggeledahan, tiga anak sedang dibelenggu di tempat tidurnya. Meskipun Sang Ibu membebaskan anaknya yang berusia 11 dan 14 tahun saat petugas kepolisian mengetuk pintu rumah itu, namun petugas menemukan ada anak berusia 22 tahun dirantai di kasur.
Inilah Tujuh Industri Surga Buruh Anak
Menurut Unicef, di seluruh dunia terdapat sekitar 152 juta juta anak yang bekerja sebagai buruh. Berikut tujuh sektor yang paling sering mengeksploitasi anak-anak sebagai pekerja berupah rendah.
Foto: dpa
Kopi
Menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO), sektor pertanian adalah yang paling aktif memanfaatkan jasa anak di bawah umur. Banyak perkebunan kopi di seluruh dunia mengeksploitasi buruh anak untuk memanen biji kopi, antara lain di Indonesia, Kolombia, Tanzani, Kenya, Uganda, Meksiko, Nikaragua, Honduras, Panama dan Pantai Gading.
Foto: dpa
Kapas
Panen kapas secara tradisional sering melibatkan anak-anak, terutama di negara yang bergantung pada ekspor kapas seperti Pantai Gading. Menurut LSM pemantau industri kapas, Cotton Campaign, buruh anak di industri kapas juga marak di Uzbekistan dan Turkmenistan, di mana bocah sering dipaksa keluarga untuk bekerja mencari nafkah.
Foto: Issouf Sanogo/AFP/Getty Images
Batu-bata
Kementerian Tenaga Jerja AS menyusun daftar berisikan 15 negara, di mana banyak buruh anak bekerja di sektor konstruksi, antara lain untuk memproduksi batu-bata. Selain Brazil dan Peru, Argentina, Cina, Korea Utara dan Ekuador termasuk yang paling banyak menyimpan kasus buruh di bawah umur.
Potret muram buruh anak yang sempat mencuat berkat kasus di Kamboja dan Bangladesh bukan hanya fenomena regional. Hampir semua negara yang mengekspor produk garmen kerepotan mengawasi praktik terlarang tersebut. Dalam gambar ini terlihat bocah pengungsi Suriah yang bekerja di pabrik kain di Gaziantep, Turki,
Foto: picture-alliance/AP Photo/L. Pitarakis
Gula
Panen tebu di sejumlah negara seperti Guatemala, Filipina dan Kamboja tidak jarang melibatkan anak-anak. ILO menemukan ribuan buruh anak bekerja di perkebunan tebu di Filipina, di mana banyak bocah berusia kurang dari tujuh tahun bekerja dengan upah rendah.
Foto: dpa
Tembakau
ILO mencatat industri tembakau adalah salah satu yang paling mengancam kesehatan buruh anak lantaran jam kerja yang panjang, terik matahari, paparan zat kimia berbahaya, kewajiban mengangkut hasil panen yang berat dan risiko diserang hewan liar. Rata-rata buruh anak di industri rokok tembakau bekerja selama 10 jam per hari.
Foto: Getty Images/AFP/C. Khanna
Emas
Buruh anak di tambang emas adalah hal lumrah di sejumlah negara Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Para bocah menghadapi risiko tinggi, mulai dari ledakan di dalam tambang atau terpapar zat kimia berbahaya. Mereka juga sering harus mengkonsumsi air kotor dan berisiko tinggi terkena penyakit malaria, meningitis dan TBC.
Foto: Getty Images/AFP/A. Ouoba
7 foto1 | 7
Kotoran manusia berceceran dimana-mana yang menunjukkan bahwa mereka tidak diizinkan menggunakan toilet. Bau menyengat tercium dari tubuh mereka karena anak-anak tersebut hanya diperbolehkan mandi satu kali dalam setahun. Mereka tidak pernah menemui dokter dalam waktu yang lama. Saat anak perempuan yang berhasil kabur diberi obat, ia tidak tahu apa pun tentang obat.
Iklan
Berdiri bersama anak Turpin
"Fakta-fakta terus terungkap," kata Jaksa Penuntut Riverside County, Mike Hestrin. "Apa yang dimulai sebagai kelalaian menjadi parah, meluas, dan berkepanjangan hingga pelecehan anak," katanya. David Turpin dan Louise Turpin dikenai 12 dakwaan meliputi penyiksaan, pelecehan anak, dan pengurungan orang. David Turpin juga dituntut karena melakukan tindakan cabul pada anak di bawah usia 14 tahun. Mereka ditahan dengan uang jaminan masing-masing sebesar USD 9 juta setelah mereka menyangkal telah melakukan penyiksaan terhadap anak-anaknya di persidangan pertama mereka pada hari Kamis (18/01/2018). Jika semua dakwaan terbukti mereka bisa dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
"Ini perbuatan yang sangat buruk," kata Hestrin. "menghancurkan hati kita semua," tambahnya. Satu-satunya yang boleh dilakukan anak-anak tersebut adalah menulis jurnal. Penyidik menginvestigasi ratusan jurnal yang ditemukan di rumah itu, kata Hestrin. Jurnal-jurnal itu diharapkan bisa memberi bukti yang kuat atas perbuatan pasangan Turpin.
Pengacara David Turpin, David Macher, telah melakukan penyelidikan atas dakwaan tersebut, dan mengatakan kasusnya akan menjadi tantangan "Ini kasus yang sangat serius," katanya. "Klien kami menyatakan tidak bersalah, dan itu adalah anggapan yang sangat penting," kata David.
Ayah David Turpin yang juga kakek anak-anak tersebut, James Turpin, mengatakan dia tidak percaya tentang laporan penyiksaan tersebut. "Saya akan berbicara dengan anak-anak, mencari tahu cerita sebenarnya setelah saya bisa menghubungi mereka," kata James.
Para tetangga di sekitar lingkungan keluarga Turpin mendatangi rumah itu berduyun-duyun dan meninggalkan beberapa boneka binatang, meski pun anak-anak Turpin hampir tidak dikenal. Ada juga rangkaian besar balon berbentuk hati berwarna merah di halamannya. Sebuah poster juga bertuliskan: "Kami berdiri bersama dengan anak-anak Turpin."
Kekerasan Terdokumentasi dalam 16 Benda Sehari-Hari
Berkaitan dengan 16 hari kampanye PBB demi pemberantasan kekerasan terhadap perempuan, Dana Penduduk PBB (UNFPA) mengumpulkan 16 benda dari kasus kekerasan dan penganiayaan di berbagai negara.
Foto: UNFPA Yemen
"Ini Patahan Gigi Saya, Setelah Suami Memukuli Saya"
Ameera (bukan nama asli) baru 13 tahun ketika ia dinikahkan dengan seorang pria tua di Yaman. Suatu hari, karena ia terlambat membangunkan suaminya yang sedang tidur siang, suaminya memukulinya dengan sapu, hingga hidungnya retak dan sebagian giginya patah. Ameera kini tinggal di rumah penampunya yang didukung dana UNFPA. Ia menyimpan patahan gigi sebagai bukti di pengadilan.
Foto: UNFPA Yemen
Kekerasan Diteruskan ke Generasi Berikutnya
Omar (bukan nama sebenarnya) di Maroko merusak piano mainannya ini, saat berusaha menjaga ibunya dari pukulan tangan ayahnya. Ketika itu Omar baru berusia enam tahun. Ibunya mengatakan dengan keselamatan anaknya. "Saya ingin masa depan lebih indah bagi anak-anak saya."
Foto: UNFPA Morocco
"Kami Pertaruhkan Nyawa Tiap Hari Karena Kumpulkan Kayu untuk Memasak"
Di kawasan yang dilanda krisis kemanusiaan, perempuan jadi target empuk. Zeinabu (22) diserang milisi Boko Haram ketika mengumpulkan kayu bakar di dekat kamp pengungsi di bagian timur laut Nigeria. Banyak perempuan lainnya juga diperkosa, diculik atau dibunuh ketika mengumpulkan kayu bakar untuk memasak. Ini foto seikat kayu kering yang dikumpulkan Zeinabu.
Foto: UNFPA Nigeria
Tali Yang Digunakan Ayah Setiap Kali Memperkosa Anaknya
Inilah tali yang digunakan ayah Rawa (bukan nama asli) setiap kali memperkosanya. Perang bisa sebabkan kondisi berbahaya bagi perempuan, bahkan di rumah sendiri. Di Yaman, salah satu negara dengan bencana kemanusiaan terbesar di dunia, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat lebih dari 60%. Salah satu penyebabnya stres berat. Sementara kasus Rawa tidak bisa dimengerti sama sekali.
Foto: UNFPA Yemen
Kekerasan Sebabkan Sakit, Trauma atau Berbuntut Kematian
Martha dirawat dengan obat dan perban untuk pertolongan pertama setelah dipukuli suaminya di Lusaka, Zambia. "Wajahnya babak belur," kata pembimbing di tempat penampungan. "Ia juga menderita luka di punggung. Martha mengatakan, kalau ia tidak melarikan diri, suaminya kemungkinan akan membunuhnya." Dua pertiga korban kekerasan rumah tangga adalah perempuan dan anak perempuan.
Foto: Young Women Christian Association of Zambia and UNFPA
Bayangan Gelap Kekerasan Berdampak pada Seluruh Keluarga
Keluarga Tatiana di Ukraina terpecah belah akibat suaminya yang meneror dengan kekerasan. Sekarang Tatiana sudah terlepas dari suaminya. Tetapi ia dan enam anaknya masih berusaha membangun hidup baru di rumah yang sempit. "Saya sekarang hidup bagi anak-anak saya," katanya.
Foto: UNFPA Ukraine/Maks Levin
Penyiksaan Psikologis Juga Bentuk Kekerasan
Di Bolivia, pacar Carmen (bukan nama asli) selalu menertawakan penampilannya. Ia mengejek baju dan gaya Carmen. Oleh sebab itu, Carmen selalu bersembunyi di toilet di universitas, termasuk yang tampak pada foto. Perlakuan seperti itu dampaknya dalam, katanya. Itu berefek pada keyakinan diri dan bisa mengubah seseorang.
Foto: UNFPA Bolivia/Focus
Jejak Kaki Saat Melarikan Diri
"Saya ditampar kemudian diseret suami saya." Begitu cerita Sonisay (bukan nama sebenarnya) di Kamboja. Ini foto telapak kaki Sonisay di pekarangan rumah, saat lari dari suaminya. Secara global, sepertiga perempuan mengalami kekerasan, dalam bentuk apapun. Dan itu kerap disebabkan oleh seseorang yang dikenalnya.
Foto: UNFPA Cambodia/Sophanara Penn
"Ia Didorong ke Tempat Tidur kemudian Dicekik"
Kekerasan seksual bisa mengubah hidup perempuan sepenuhnya akibat teror, stigma, penyakit atau kehamilan. Di Yordania, seorang perempuan pergi ke klinik untuk minta bantuan medis. Di sana ia lega setelah diberitahu tidak hamil. "Tapi ia tetap syok dan sedih," kata Dr. Rania Elayyan. Seperti halnya banyak orang lain yang selamat dari serangan. Perempuan ini memilih tidak melaporkan nasibnya.
Foto: UNFPA Jordan/Elspeth Dehnert
Perempuan Berusaha Minimalisasi Kekerasan
Di kawasan krisis, perempuan juga menghadapi kesulitan mencari tempat yang bisa didatangi, juga berpakaian untuk minimalisasi ancaman kekerasan. Kekerasan seksual merajalela di kalangan Rohingya yang lari dari krisis di Myanmar. Ini foto gundukan pakaian di luar kamp pengungsi di Bangladesh, yang ditolak perempuan karena dianggap bisa menyulut perhatian yang tidak diinginkan dari pria.
Foto: UNFPA Bangladesh/Veronica Pedrosa
"Ia Membawa Saya Ke Rumahnya"
Di Zambia, Mirriam (14) mengunjungi pusat konseling setelah dipaksa menikah dengan pria berusia 78 tahun. "Rasa sakit hampir tidak tertahan," kata Mirriam. "Ia mengatakan saya harus melakukannya karena saya sekarang istrinya." Di negara berkembang, rata-rata satu dari empat anak perempuan dipaksa menikah. Namun pernikahan anak-anak juga bisa ditemukan di negara berkembang.
Foto: Young Women Christian Association of Zambia and UNFPA
Mutilasi Berujung Penderitaan
Seorang perempuan yang biasa melakukan mutilasi genital atau FGM (Female Genital Mutilation) di Somalia kini menyadari bahayanya. “Anak perempuan saya jatuh sakit setelah melalui FGM,” demikian diakuinya. Tapi ia memperkirakan, FGM tidak bisa dihapuskan dengan mudah.
Foto: Reuters/S. Modola
Perampasan Hak Finansial Juga Suatu Kekerasan
Hakim di Nikaragua mengeluarkan keputusan hukuman terhadap ayah Sofia (bukan nama sebenarnya), yang memukuli istrinya, dan tidak memberikan dukungan finansial kepada Sofia. Ia menghentikan sokongan saat Sofia mengandung di usia 14. Hakim memutuskan, ayahnya harus memberikan sokongan sampai ia berusia 21 tahun.
Foto: UNFPA Nicaragua/Joaquín Zuñiga
"Kami Dikurung Sejak Kecil selama 20 Tahun"
Sejumlah kasus mengerikan menunjukkan bagaimana perempuan dan anak perempuan dirampas kebebasannya. Contohnya Balqees (bukan nama asli) di Yaman. Sejak berusia 9 tahun, ia dan saudara perempuannya dikurung di kamar ini. Saudara laki-laki mereka merasa, saudara perempuan mereka akan memalukan keluarga jika berbaur dengan masyarakat. Akhirnya, mereka ditinggalkan sepenuhnya dan ditolong tetangga.
Foto: UNFPA Yemen
Pria dan Anak Laki-Laki Harus Ikut Serta Menghapus Kekerasan
Ry di Kamboja mengatakan, ia sering melakukan kekerasan terhadap istrinya di rumah ini. Tapi ia kemudian ikut "Good Men Campaign" (Kampanye Pria Baik), yaitu inisiatif untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan. Sekarang ia bertekad bersikap lebih baik. "Kalau bisa kembali ke masa lalu, saya tidak akan bertengkar dengan istri saya. Malah lebih mencintai dan menghormatinya," kata Ry.
Foto: UNFPA Cambodia/Sophanara Pen
Kekerasan Tidak Boleh Diselubungi
Kisah kekerasan harus diungkap agar cakupan masalah bisa dilihat semua orang, dan jalan keluar bisa ditemukan. Di Belarus, seorang perempuan yang selamat dari KDRT menggambar bunga dalam kelas terapi. Tujuannya adalah agar mereka bisa memproyeksikan dan menangani rasa takut, dan belajar dari pengalaman. Topik kelas ini adalah "open to live" (terbuka untuk hidup). Ed.: ml/hp (Sumber: UNFPA)