1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
ReligiIndonesia

Kisah Seorang Muslim jadi Koster, Pelayan Gereja

24 Desember 2024

Lebih dari separuh hidupnya, Subardi menghabiskan sebagai koster atau pelayan gereja. Baginya, ini adalah bentuk pelayanan dan pengabdian, meski ia seorang muslim.

Subardi, koster gereja di Jakarta Selatan
Subardi, koster gereja di Jakarta SelatanFoto: Algadri Muhammad/DW

Selepas menunaikan ibadah salat Subuh, Subardi, bersiap berangkat kerja. Sebagai koster, Bardi harus datang lebih pagi untuk menyiapkan segala kebutuhan ibadah di Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Kharisma, Jakarta Selatan.

"Salah satu kewajiban koster itu nyiapin stola. Ini penting karena selalu dipake oleh majelis. Warnanya beda-beda tergantung tanggalnya. Kalau ibadah perjamuan, saya nyiapin sloki dan anggur. Saya sudah hafal berapa banyak sloki dan anggur yang dibutuhkan," ucap lelaki yang biasa disapa Bardi, saat ditemui DW Indonesia pertengahan Desember.

Selain itu, Bardi juga menyiapkan lembaran tata ibadah bagi majelis yang bertugas serta kotak persembahan jemaat. Ia juga memastikan kebersihan seluruh area gereja. Ini sudah dilakukannya lebih dari 30 tahun selama melayani jemaat GPIB Kharisma.

Dukungan keluarga

Sebelum bekerja sebagai koster, Bardi menjadi pekerja bangunan yang ikut membangun gedung serba guna GPIB Kharisma. Pada momen itu, ia ditawari oleh pengurus gereja pada saat itu untuk menjadi koster di GPIB Kharisma.

"Saya belum bisa jawab, Pak. Saya ini muslim. Saya harus tanya keluarga dulu," respons Bardi saat ditawari bekerja sebagai koster di gereja.

Butuh waktu tiga hari baginya untuk menerima pekerjaan tersebut. Keputusannya ini tak lepas dari respons positif keluarga yang mendukung Bardi bekerja sebagai koster.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

"Keluarga setuju-setuju saja kalau mau kerja di sini. Pesannya: Tapi kamu harus bisa membedakan. Kamu itu muslim. Ibadah jangan sampai lupa walaupun kamu kerja di tempat ibadah (agama) lain," ujarnya.

Hubungan baik dengan jemaat gereja

Seusai memastikan semua kesiapan kebutuhan ibadah gereja, Bardi menuju pintu gerbang gereja untuk menyambut para jemaat gereja yang datang.

Tak lupa, senyum ia sematkan sembari menyapa para jemaat yang sebagian besar sudah ia kenal. Komunikasi yang intensif, kata Bardi, membuat rasa kekeluargaan di gereja makin kental.

"Ada majelis jemaat gereja ini yang berkata: Pak Bardi, sebelum saya masuk surga, Pak Bardi duluan yang masuk surga karena Pak Bardi melayani semua keperluan apa pun yang di sini," ujar Bardi menceritakan salah satu momennya bersama jemaat. 

Subardi (ketiga dari kanan) mendapat libur setiap hari Jumat agar bisa lebih leluasa menjalankan ibadah salat JumatFoto: Algadri Muhammad/DW

Hubungan baik antara Bardi dan jemaat gereja juga didapati saat momen Lebaran dan Natal.

"Kalau saya mau lebaran, ada saja yang memberi. Ada sarung, kadang-kadang sembako, baju, kue kaleng. Saya bersyukur, orang dari keyakinan yang berbeda, tapi masih memperhatikan saya. Bahkan momen Natal seperti ini, ada saja yang memberi," tutur Bardi.

Toleransi dan keterbukaan gereja

Pada awalnya, gereja cenderung melibatkan jemaatnya untuk menjadi koster.

"Dengan perkembangan situasi, zaman, dan kondisi seperti sekarang, kita terbuka untuk memberikan kesempatan juga (bagi non-Kristen)," ucap Ketua Majelis Jemaat GPIB Kharisma, Pdt. Betty Kailola.

Ia menyampaikan, perbedaan keyakinan tidak mengganggu pekerjaan Bardi sebagai koster di GPIB Kharisma.

''Setiap pegawai itu punya hari libur yang sama sebenarnya, setiap hari Senin. Tapi, secara khusus Pak Bardi tiap hari Jumat kita beri libur dan atas permohonannya juga agar bisa beribadah salat, menjalankan kewajiban agamanya," tutur Pdt. Betty.

Kepada DW Indonesia, Pdt. Betty mengungkap bahwa memberi kesempatan Bardi bekerja sebagai koster adalah salah satu cara membangun toleransi. Relasi dan kerja sama yang baik dapat dibangun meski memiliki perbedaan latar belakang. 

"Berbeda itu bukan berarti tidak bisa berjalan bersama. Justru, dia bisa berjalan bersama karena perbedaan itu membuat orang saling diperkaya, melengkapi satu sama lain," ucap Pdt. Betty.

Sementara untuk Bardi, koster bukan sekadar pekerjaan untuk mendapat gaji. Menjadi koster berarti juga melayani sesama umat beragama.

"Pelayanan bukan hanya di masjid, di rumah, di gereja pun kita juga namanya pelayanan. Kita melayani sesama 'kan boleh-boleh saja. Walaupun saya muslim, saya bisa melayani nonmuslim. Rasanya saya puas, gitu lho," kata Subardi.

Editor: Arti Ekawati

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait