1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Religi

Imam Perempuan di Berlin Berjuang untuk Islam yang Moderat

27 November 2019

Perjuangan panjang menuntut kesetaraan hak-hak perempuan di dunia muslim telah menuntun aktivis Seyran Ates untuk membuka sebuah masjid yang penuh toleransi dan menyambut orang dari berbagai kalangan.

Seyran Ates
Foto: picture-alliance/rtn/U. Blitzner

Di masjid yang ia dirikan di Berlin bersama rekan-rekannya ini, perempuan yang tidak bercadar boleh berkhotbah dan berdoa bersama para lelaki. Atas usahanya itu, Seyran Ates kini diganjar penghargaan bergengsi, Medali Urania.

Sebagai pengacara, aktivis, penulis dan sekarang imam, Seyran Ates telah lama memberikan suara kritisnya dalam perdebatan terkait masalah migrasi, hak-hak perempuan dan kebebasan beragama di Jerman dan negara-negara di sekitarnya.

Bersama sejumlah rekannya, Ates ikut mendirikan Masjid Ibn Ruschd-Goethe yang berhaluan liberal di lantai tiga Gereja St. John dekat Tiergarten Berlin pada tahun 2017. Ini adalah sebuah rumah suci tempat para perempuan dan laki-laki bisa berdoa dan berkhotbah bersama, tempat Alquran ditafsirkan melalui kacamata kontemporer. Masjid ini membuka pintunya bagi para muslim dari semua kalangan dan orientasi seksual.

Imam perempuan ini lahir di Istanbul, Turki, pada tahun 1963 dan telah tinggal di Jerman sejak tahun 1969. Ates mendapat dukungan yang besar dari masyarakat, namun ia juga harus menguatkan diri karena telah menerima banyak surat bernada kebencian dan ancaman pembunuhan. Karena alasan ini, Seyran Ates pun selalu berada dalam penjagaan polisi.

Penghargaan bergengsi, Medali Urania

Kini Ates memperoleh penghormatan berupa Medali Urania. Penghargaan ini ia dapatkan bertepatan dengan tahun ketika asosiasi budaya dan pendidikan di Berlin sedang mengeksplorasi tema: "Identitas - Saya ingin jadi siapa?" 

Medali yang diberikan pada upacara tanggal 26 November ini "memberikan penghormatan atas komitmennya, terutama untuk kota Berlin."

Selama 130 tahun, Urania telah didedikasikan untuk memfasilitasi dialog antara ilmuwan dan masyarakat secara luas. Kantor pusatnya yang terletak di bagian barat Berlin tetap menjadi pusat penyelenggaraan beragam kuliah, diskusi, konser, dan pameran. Daftar pembicara terkemuka yang pernah datang ke sana termasuk Albert Einstein, Thomas Mann, Angela Merkel dan Simon Rattle.

Dalam upacara penghargaan tahun ini, Ates bergabung dengan mantan Presiden Jerman Joachim Gauck dan direktur Urania Berlin, Ulrich Weigand.

"Dengan (diberikannya penghargaan kepada) Seyran Ates, Urania menghormati seorang pejuang keadilan sosial yang penting di negara ini," ujar Weigand. Ia merujuk kepada misi aktivis tersebut dalam membuka masjid guna menghormati Ibnu Rusydi, seorang cendekiawan, dokter dan filsuf Islam yang hidup tahun 1126 hingga 1198 di jazirah Arab, serta dan penyair dan filsuf kenamaan asal Jerman, Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832).

Masjid ini terbuka untuk semua kalangan, tetapi ada satu pengecualian. "Jangan ada yang datang ke masjid kami dengan niqab atau burqa," kata Ates pada 2017 sebuah wawancara dengan majalah Jerman, Spiegel. Dia percaya bahwa kerudung yang menutupi seluruh wajah ini lebih merupakan pernyataan politik dan tidak ada hubungannya dengan kebebasan beragama. 

Gereja St. Johannes di Berlin yang juga menjadi tempat bagi masjid liberal yang didirikan oleh Seyran Ates.Foto: Getty Images/S. Gallup

Perjuangkan Islam kontemporer

Ates sendiri tidak asing dalam membuat pernyataan politik. Pada tahun 2017 ia menerbitkan buku berjudul Selam, Frau Imamin (Salam, Wahai Bu Imam) yang diluncurkan pada saat pembukaan masjid liberalnya di Berlin. Dalam buku itu ia dengan keras mengkritik kecenderungan pandangan fundamentalis dalam Islam. Dia berpendapat bahwa mayoritas imam memiliki masalah jika berbicara tentang ide-ide kebebasan beragama, kesetaraan gender dan hak-hak homoseksual.

Pandangan ini berkembang setelah Ates menyelesaikan studi hukum di Berlin di sebuah pusat konseling untuk para perempuan asal Turki. Ketika masih bekerja di sana pada tahun 1984, seorang laki-laki tiba-tiba masuk dan menembak seorang perempuan yang bekerja bersamanya - dan juga menembak leher Ates. Perempuan itu tidak selamat. "Setelah itu, saya pikir, sekarang saya benar-benar akan melawan," kata Ates kepada DW.

Sejak tahun 1997, Ates bekerja sebagai pengacara yang menangani kekerasan dalam rumah tangga dan pernikahan paksa. Di bawah mantan Menteri Dalam Negeri Wolfgang Schäuble (CDU), dia menjadi anggota Konferensi Islam. Ates telah secara konsisten mengatakan bahwa para pemimpin agama konservatif secara dominan menyebarkan ajaran Islam dari masa lalu di Jerman dan mengatakan bahwa muslim liberal tidak memiliki tempat.

Baca juga: Perempuan Muslim Konservatif Galang Petisi Tolak RUU Anti Kekerasan Seksual

Seperti yang dinyatakan Ates dalam bukunya pada tahun 2007 yang berjudul Multi-Kulti-Irrtum (Kesalahanpahaman Multikultural), masalah ini bisa dilihat kembali dari adanya dukungan oleh kalangan yang "fanatik multikultural" dari organisasi muslim konservatif yang gagal mendukung kebijakan integrasi di Jerman. 

Salah satu buku tentang Islam oleh Seyran Ates.

Sementara di dalam buku Der Islam braucht eine sexuelle Befreiung (Islam Butuh Pembebasan Seksual), Ates menekankan serangan di Manchester dan London pada tahun 2015 oleh seorang extremis Islam. Ia menuntut umat Islam "harus berbuat lebih banyak dalam melawan ekstremisme dalam Islam." Ates menyerukan kepada "mayoritas muslim yang selama ini diam, pada akhirnya harus bertanggung jawab dan menentang sesuatu."

Imam perempuan

Setelah menyelesaikan pendidikan untuk menjadi seorang imam, Ates akhirnya bisa mempraktikkan interpretasi liberalnya tentang Islam. "Cukup lama juga saya saya bermimpi bahwa muslim liberal akan dapat mempraktekkan agama Islam yang secara eksplisit menegaskan demokrasi dan persamaan hak komunitas para pemeluknya," tulisnya dalam majalah mingguan Jerman Die Zeit pada tahun 2018.

"Saya menunggu dibukanya masjid yang tepat oleh orang-orang yang lebih setia kepada Alquran daripada saya. Entah bagaimana, rasanya seperti menunggu Godot. Jadi saya akhirnya memutuskan untuk mewujudkan visi saya sendiri," tulisnya. Dengan melakukan tindakan ini, Ates menjadi "juaranya Islam modern," ujar Fabian Wittreck, seorang profesor yang mengajar di jurusan Agama dan Politik Agama di Universitas Münster, kepada DW.

Perlindungan polisi

Pandangan Seyran Ates tentang Islam yang diutarakan tanpa tedeng aling-aling ini bisa dibilang mahal harganya. "Saya tidak bisa seenaknya meninggalkan rumah dan berbelanja," kata Ates kepada DW pada tahun 2018. "Jika tidak ada perlindungan polisi, saya tidak akan bisa melakukan pekerjaan saya sama sekali. Tanpa perlindungan polisi Anda bahkan tidak bisa menyuarakan pendapat Anda, meski di Jerman sekalipun."

Dia menekankan bahwa baik perempuan maupun laki-laki memusuhinya. "Ini tentang patriarki," katanya. "Mereka tidak ingin ada pembaruan dalam Islam. Mereka tidak terima bila Alquran dipahami secara kontemporer. Mereka ingin mencegah kesetaraan laki-laki dan perempuan."

Baca juga: 'Kita Perlu Berbicara Tentang Agama dan Patriarki'

Sebagian dari kritik tersebut datang dari pemerintahan konservatif di Turki yang menuduh Ates dan Masjid Ibn Ruschd-Goethe sebagai organisasi teroris yang bekerja sama dengan gerakan Gulen. Presiden Erdogan menganggap Gulen dan pendukungnya sebagai penggagas kudeta militer Turki pada tahun 2016.

Tetapi tuduhan macam ini tidak akan menghentikan Ates dari mengejar cita-citanya guna memungkinkan "semakin banyak perempuan bisa berdaya, hidup bebas dan menentukan nasib sendiri." Penghargaan seperti Medali Urania, dan banyak penghargaan lainnya, termasuk juga penghargaan University of Oslo Human Rights Award tahun 2019, akan bisa membantunya untuk terus berdiri tegak dan melangkah. (ae/vlz)

Stefan Dege Editor dan penulis di departemen DW Culture