150109 Bundeswehr Afghanistan
15 Januari 2009Pria berambut pirang dari Hemmerden, kota kecil di Jerman, menyadari apa yang ia lakukan saat menyetujui penempatan empat bulan di Afghanistan.
Ia mengatakan, "Bagi saya langsung jelas bahwa saya menerima tugas itu karena saya tentara dan penempatan di luar negeri termasuk di dalamnya."
Sikap serupa dipegang oleh rekan-rekannya. Tidak ada yang dipaksa. Walau mereka sadar, sekalipun kamp militer Feyzabad terletak di timur laut Afghanistan yang relatif tenang, tidak ada yang bisa menjamin tentara Jerman tak diserang.
Dan meskipun telah menjalani persiapan berbulan-bulan, Letnan Satu Wrixel dan rekan-rekannya melakukan patroli pertama di Afghanistan dengan perasaan tegang. Di satu pihak antusias, di lain pihak bertanya-tanya, apa yang akan terjadi. Ibarat pisau bermata dua, kata Wrixel.
"Sebelum bertugas tentu saja ada kekuatiran, misalnya jika kita mendengar semalam ada insiden di Kundus. Lalu besoknya kita yang harus tugas ke luar, malam hari berjaga di persimpangan jalan, ada perasaan tidak enak, suasana gelap membuat kita tidak bisa melihat jelas, pada saat seperti itu muncul kekuatiran dan berharap moga-moga tidak ada insiden buruk menimpa kita", kata Wrixel.
Tapi, dendam tak terbersit di benaknya. Tidak bisa seluruh rakyat dipersalahkan atas kekerasan yang dilakukan sedikit orang.
Infrastruktur sebuah provinsi menambah berat tugas para tentara. Secara geografis, Badakhshan adalah dataran yang ekstrim, mengingatkan pada permukaan bulan. Deretan pegunungan coklat, tandus dan debu memenuhi udara. Di horison terlihat kaki-kaki pegunungan Hindukush.
Walau kaya sumber daya alam, Badakhshan termasuk wilayah paling miskin di Afghanistan. Angka rata-rata harapan hidup warga hanya 43 tahun. 90% penduduknya buta huruf. Sebuah wilayah yang sangat tertinggal menurut ukuran Eropa.
Banyak yang harus dilakukan oleh tim pembangunan kembali dari kamp Feyzabad. Tak banyak sisa waktu untuk melamun karena tak ada jam kerja yang teratur. Semua harus siap ditugaskan, sesuai kebutuhan. Karena itulah, sebagai pemimpin tim perintis, Wrixel tak lepas dari peralatan radio komunikasi, juga di malam hari.
Sedikit waktu luang yang tersisa harus direncanakan akan diisi dengan apa, walau tak banyak pilihan karena alasan keamanan.
Wrixel mengatakan, "Tidak ada kemungkinan untuk meninggalkan kamp. Di sini ada tenda fitness. Ada ruang untuk olahraga, juga ruang bebas untuk main sepak bola meja dan permainan dart. Bisa juga untuk minum kopi di sore hari."
Malam hari mereka berkumpul dan minum bir. Tapi apa yang dikenal dengan peraturan dua kaleng, membatasi dengan ketat acara semacam itu, karena pasukan berikutnya bisa jadi harus bertugas lebih cepat dari yang diperkirakan.
Dengan segala resiko dan ketidakterdugaan, kata Letnan Satu Maurus Wrixel, penempatan di Afganistan adalah pengalaman tak terlupakan. (rp)