1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kisah TKW Hidup di Tengah Gejolak Politik di Hong Kong

18 Oktober 2019

Aksi demonstrasi yang berkecamuk di Hong Kong sejak beberapa bulan silam menempatkan tenaga kerja asal Indonesia dalam posisi tak nyaman. Keamanan yang tidak lagi terjamin merenggut waktu luang dan kebebasan.

Hong Kong Indonesien Protest gegen Joko Widodo
Foto: Getty Images/AFP/D. de la Rey

Pada hari bebas Jochel biasanya melangkahkan kaki menuju salah satu taman terbuka di Hong Kong untuk bertemu teman sebaya atau menelpon keluarga di Indonesia. Tapi musim panas ini, kebiasaannya itu bisa menjadi riskan, menyusul aksi protes berbalas tembakan gas air mata yang terjadi sejak beberapa bulan silam.

Perempuan berusia 35 tahun itu adalah satu dari 370.000 buruh domestik yang membuat Hong Kong tetap berfungsi seperti normal.

Kebanyakan berasal dari Indonesia dan Filipina. Mereka dibayar murah dan sering harus hidup dalam ruang sempit. Satu-satunya hari bebas yang mereka miliki, yakni hari Minggu, kini menjadi ajang pertikaian jalanan antara demonstran dan polisi.

"Mata saya sempat sakit sekali," kata Jochel ketika pertamakali mendapati diri terjebak di antara demonstran saat berpiknik dengan teman di Victoria Park. "Ini tzidak baik. Warga Hong Kong juga menderita," imbuhnya sembari berkisah dia diselamatkan oleh demonstran saat tersambar asap dari gas air mata.

Keamanan Pribadi

Biasanya buruh domestik di Hong Kong mendapat upah sebesar HK$4,630 atau sekitar Rp. 8,3 juta per bulan dan harus tinggal bersama majikan di apartemen kota yang sempit. Pada hari bebas, TKW asal Indonesia biasanya berpelesir ke distrik Causeway Bay atau berjalan lintas alam menyusuri trek-trek di pinggir kota.

"Kalau kami pergi terlalu jauh, kami takut tidak bisa pulang lagi," kata Sandy, salah seorang TKW. "Kami harus sudah ada di rumah pada pukul 9 atau 10 malam."

"Kami berusaha menjauh demi keamanan sendiri," imbuhnya lagi.

Meski situasi yang tidak lagi kondunsif, kebanyakan TKW mengaku akan tetap bertahan di Hong Kong. "Majikan kami masih butuh kami dan kami masih membutuhkan pekerjaan ini," kata Sandy yang mengirimkan uang secara bulanan kepada orangtua di tanah air.

Nasib naas misalnya dialami Veby Indah, seorang jurnalis yang menderita kebutaan permanen pada salah satu matanya setelah ditembak polisi menggunakan peluru karet. Dia bekerja untuk Suara, situs berita Hong Kong dalam bahasa Indonesia yang ramai dibaca TKI.

Sensor Diri

Tidak sedikit yang ingin memrotes penembakan tersebut, namun memilih diam. "Saya takut dapat masalah," kata Marsanah yang sudah bekerja di Hong Kong sejak tiga tahun. Dia mengaku banyak rekan TKW yang takut kehilangan pekerjaan atau izin tinggal jika ikut bersuara.

"Jika Anda ketahuan ikut bergabung dengan apapun yang terkait protes di Hong Kong, ada kemungkinan besar kami tidak bisa lagi bekerja di sini," kata Eni Lestari, Direktur Jejaring Pekerja Migran Indonesia. Awalnya Eni berniat menggalang massa memrotes penembakan Veby, namun terpaksa dibatalkan.

Mereka akhirnya memilih berdemonstrasi di depan gedung kedutaan Indonesia untuk mendesak pemerintah Hong Kong menyeret pelaku penembakan ke pengadilan. Kepolisian Hong Kong sejauh ini menolak membocorkan identitas petugas yang menembak Indah. "Apa yang dilakukan pemerintah Indonesia tidak cukup," kata seorang TKW bernama Sringatin. "Hanya meminta kita agar berdoa dan tetap tenang itu tidak cukup," imbuhnya.

rzn/vlz

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya