1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sendiri dan Terkepung di Tengah Konflik Idlib, Suriah

18 Februari 2020

Di tengah konflik berkepanjangan itu muncul keputusasaan. Tetapi hidup harus terus berlanjut, ujar Mona Al-Bakkoor, salah seorang warga yang bertahan di Idlib kepada DW.

Mona Al-Bakkoor dari Idlib, Suriah
Foto: Privat

Mona Al-Bakkoor telah hidup dalam ketakutan, di bawah langit yang penuh desingan roket dan bom. Ia dikepung perang dari segala penjuru. "Apakah Anda terkena (bom) atau tidak, cuma soal  keberuntungan," warga Suriah berusia 24 tahun ini menulis kepada DW melalui aplikasi WhatsApp.

Saat itu, hari Senin tanggal 10 Februari 2020. Mona dan suaminya bertahan di rumah mereka di pusat kota Idlib. Sari sana, dia menggambarkan situasi di sekitar yang kian memburuk.

Dalam setahun belakangan ini, pertempuran yang tengah berlangsung untuk menguasai Idlib -pertahanan terakhir kubu pemberontak di Suriah - jadi makin sengit. Bom tentara Suriah dan sekutunya dari Rusia menghujani kota itu setiap hari. Sementara pasukan Turki yang bersekutu dengan pemberontak dengan cepat mendekati kota dari arah selatan.

Ada sekitar tiga juta orang tinggal di Provinsi Idlib dan diperkirakan sebanyak 700.000 orang telah meninggalkan wilayah itu sejak akhir Desember. Sebagian besar warga mengungsi ke wilayah Turki.

Namun, Mona tidak pernah punya niatan untuk mengungsi. Dia dan suaminya bertekad untuk tetap tinggal di Idlib, apa pun yang terjadi. Mona mengatakan dirinya telah terpaksa pindah sebanyak empat kali dalam 10 bulan belakangan ini. Kadang-kadang karena bom, kadang juga karena tidak mampu bayar sewa. Perempuan itu mengatakan tidak punya cukup energi untuk mengungsi. "Lagi pula, tidak ada tempat yang benar-benar aman," ujarnya.

Kabar singkat dari wilayah perang

Dari foto dan video yang dia kirim ke DW, terlihat bahwa Mona kurus dan lemah. Dia mengatakan bahwa berat badannya berkurang lebih dari 15 kilogram akibat tekanan hidup di zona perang.

Dia juga mengirim gambar yang diambil pada hari-hari sebelum rangkaian pengeboman dimulai. Di foto itu orang bisa melihat seorang remaja memakai jilbab dan menyandang tas tangan berwarna-warni sedang melihat ke kamera.

Keluarga Mona berasal dari Tabqa yang letaknya dekat kota Raqqa. Agustus 2014, organisasi teror ISIS menguasai kota itu setelah berminggu-minggu memerangi tentara Suriah. Mona, orang tuanya, dan lima saudara kandungnya mengungsi ke Idlib. Tapi tidak lama setelah itu, rumah yang mereka tempati di Idlib hancur akibat serangan udara.

Setiap hari, Mona menulis ratusan pesan WhatsApp yang menggambarkan kehidupannya. Dia sertakan juga foto, berkas audio dan video. Mona juga berbagi lokasi secara langsung yang bisa dengan tepat menunjukkan di mana dia berada pada waktu tertentu.

Namun demikian, tidak satu pun pesan itu bisa benar-benar mewakili pengalaman sehari-harinya, bagaimana rasanya berada dalam situasi seperti itu.

Berusaha hidup normal

Mona suka menikmati musik pop Barat, dia juga penggemar Adele dan Billie Eilish. Dia suka film "Amerika, Jerman, Korea, Spanyol, apa saja, saya kira semuanya menarik," tulisnya. Dia belajar sastra Arab di universitas dan bercita-cita menjadi jurnalis.

Dia suka menulis: Dia mengurus sebuah blog yang berfokus pada hak-hak perempuan, dan bekerja sebagai reporter untuk stasiun radio Suriah, Watan FM, yang kini disiarkan dari Turki. "Sekarang saya hampir secara eksklusif melaporkan tentang kematian dan duka - hal yang tidak pernah ingin saya tulis." Selain itu, Mona juga menulis untuk Start Point, organisasi nonpemerintah berbasis di Swedia yang mengadvokasi korban pelanggaran hak asasi manusia di Suriah.

Dengan uang yang ia hasilkan dari pekerjaan itu, Mona menjadi tulang punggung keluarganya yang selama ini ia anggap sebagai sumber kekuatan. Di keluarganya, hanya Mona yang punya pekerjaan. Namun, selain untuk menyokong hidup, dia mengatakan ada alasan lain mengapa pekerjaan begitu penting baginya. Pekerjaan telah memberikan struktur dan tujuan di dalam hidupnya. "Saya tidak bisa melanjutkan hidup tanpa pekerjaan saya."

Setiap hari Mona harus menuju kantornya di Kafr, tempat ia bekerja dengan tiga orang rekan. Kafr berjarak sekitar 30 kilometer dari Idlib, dan ia bepergian dengan naik bus. Buat dia, perjalanan ke kantor bukannya tanpa bahaya. "Hari ini, serangan udara terjadi di beberapa tempat di sepanjang jalan," tulisnya pada Senin malam.

"Semua bisa terjadi tanpa ada peringatan, di mana saja, kapan saja," katanya, sambil menekankan bahwa ia merasa ketakutan setiap kali meninggalkan rumah. Ratusan serangan udara telah terjadi selama beberapa minggu terakhir ini. Banyak juga bom yang menghantam sasaran yang sangat dekat dengan rumahnya.

"Tapi apa pilihan yang saya punya? Saya harus menerimanya." Hidup, ujarnya, harus terus berjalan, bahkan setelah perang selama sembilan tahun. "Banyak toko telah tutup. Meski banyak orang telah mengungsi dari Idlib, masih ada persediaan mendasar seperti air, makanan, dan listrik." Dan keluarganya punya cukup makanan dan air untuk bertahan hidup.

Hujan bom di pagi hari

Selasa, 11 Februari 2020, pukul 11:28 pagi waktu setempat. "Baru sepuluh menit lalu, sekitar satu kilometer dari sini. Saya merasa benar-benar sendirian. Mereka baru saja mengebom alun-alun pasar. Tempat itu penuh dengan orang. Ini bencana," tulis Mona dalam pesan yang menyertai sebuah potongan video. Dia mengatakan kepada DW bahwa video itu diambil oleh seorang teman yang kemudian diteruskan kepadanya. Tidak ada cara untuk secara independen melakukan verifikasi atas klaim itu.

Tampak asap ledakan dari serangan udara tentara Suriah dan sekutunya Rusia di Idlib pada awal Februari iniFoto: picture-alliance/dpa/I. Dervis

Dalam video tersebut, terlihat gumpalan asap tebal di udara Idlib. Tidak lama kemudian, media berita Arab, Al-Arabiya, dalam laman berbahasa Inggrisnya melaporkan bahwa setidaknya 12 warga sipil telah tewas dalam serangan udara tersebut. Sejumlah media lain juga turut melaporkan serangan itu. Mona juga mengirimkan berkas audio berisi suara raungan sirene. Dia melaporkan bahwa sirene serangan udara akan berlanjut untuk sementara waktu.

"Idlib menjadi sepi ketika pengeboman dimulai, tidak ada yang keluar rumah hingga usai," katanya. Mona menambahkan bahwa setelah pengeboman selesai, semua kembali mirip seperti kehidupan normal. Setidaknya, normal untuk ukuran kehidupan dalam situasi seperti itu.

Keesokan harinya, Mona mengambil gambar di lokasi kejadian. Orang bisa melihat tumpukan puing-puing di sepanjang trotoar, dan pecahan kaca di sekelilingnya — satu-satunya indikasi bahwa sebelumnya telah terjadi pengeboman yang mematikan.

Kepungan dari berbagai sisi

Penjagaan di sekitar Idlib semakin ketat. Setiap hari tentara Suriah mengumumkan bahwa mereka telah merebut kembali sejumlah wilayah. Di sisi lain, laporan media mengklaim Turki mengirim beberapa ratus konvoi tank dan artileri militer ke wilayah tersebut. Mona tidak dapat mengonfirmasi klaim ini. Ia hanya menulis, "mereka belum sampai di kota."

Namun ia mengatakan bahwa kelompok pemberontak Islam radikal Hayat Tahrir Al-Sham, sangat banyak dijumpai di Idlib. "Beberapa dari mereka berada di kota, yang lain menjaga pintu masuk ke kota dengan barikade yang mereka dirikan sendiri. Yang lain masih memerangi pasukan Assad." Mona mengatakan dia juga melihat ada pasukan asing di Idlib, tetapi tidak bisa mengatakan apakah ada pasukan Jerman atau tidak.

Mona mengatakan dirinya paling takut pada tentara Suriah: "Ketakutan terbesar saya adalah jatuh ke tangan pasukan Assad. Diperkosa atau dibunuh oleh mereka." Namun, Mona mengaku tidak takut mati. Ia menambahkan, "Kalau saya mati, saya tidak akan bisa merasakan apa-apa."

ae/rap