Kisruh Dana Iklim Bereskalasi jelang KTT COP27 di Mesir
9 Agustus 2022
Kepelikan memuncak jelang KTT Iklim COP27, ketika negara-negara miskin mulai menekan negara kaya untuk membayar kompensasi iklim. Dana tersebut bersifat krusial untuk menjamin keadilan bagi negara rendah emisi.
Iklan
Ketika diplomat dari hampir 200 negara bertemu di Sharm el Sheikh, Mesir, pada 7 November mendatang, perundingan tidak hanya berpusat pada reduksi emisi dan dekarbonisasi, melainkan juga duit kompensasi bencana iklm.
Perdebatan soal dana hibah tersebut diniatkan sebagai instrumen untuk memitigasi dampak gelombang panas ekstrem, kebakaran hutan, kenaikan muka laut atau bencana kekeringan. Ia terutama membantu negara-negara miskin yang notabene berkontribusi paling kecil pada pemanasan global.
Sebanyak 46 negara miskin di dunia yang mewakili 14 persen populasi Bumi, tercatat memproduksi hanya 1 persen pada emisi CO2 tahunan menurut PBB. Namun bencana iklim yang kini juga melanda negara-negara kaya, semisal kekeringan ekstrem di Eropa dan Amerika Utara, mengubah paradigma dana iklim.
"Kita tiba di persimpangan kritis," kata Saleemul Huq, penasehat di lembaga iklim, Climate Vulnerable Forum, yang mewakili 55 negara. "Kami di negara berkembang sudah terkena dampak bencana iklim dan membahasnya sejak lama. Tapi, sekarang negara-negara kaya juga terkena dampak," imbuhnya.
Dampak Kepunahan Massal Keenam Dunia
Kita akan menjadi saksi awal dari kepunahan massal dalam 65 juta tahun. Apa dampak dari punahnya keanekaragaman hayati untuk manusia dan alam?
Foto: Ed Ram/Getty Images
Ancaman ketahanan pangan
Professor Ekologi Global Corey Bradshaw mengatakan sekitar sepertiga pasokan makanan dunia bergantung pada binatang penyerbuk seperti lebah. Kepunahan lebah berdampak pada anjloknya hasil pertanian. Ancaman ketahanan pangan akan menyebabkan tingginya kekeringan dan banjir di Sub-Sahara Afrika dan sebagian Asia Tenggara.
Foto: Alfredo Mejía
Kesuburan tanah
Kualitas tanah diperkirakan akan menurun jika mikroorganisme punah. Ilmuwan percaya mikroorganisme akan punah lebih cepat dibanding spesies lainnya, meskipun belum ada data resmi. Kepunahan mikroorganisme akan memperparah erosi yang akan menyebabkan banjir dan rusaknya kesuburan tanah. Hal ini berdampak pada pertumbuhan tanaman.
Foto: Sercan Kucuksahin/AA/picture alliance
Kelangkaan air dan bencana alam
Air bersih berasal dari sungai dan lahan basah, melimpahnya jumlah alga dan menyusutnya vegetasi sebabkan kelangkaan air. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB sebut setidaknya ada 24 juta hektar hutan yang ditebang tiap tahun sejak 2015. Kekurangan hutan memicu perubahan iklim dan memperparah bencana alam.
Foto: Fernando Souza/ZUMA Press/picture alliance
Ancaman penyakit dan pandemi
Peneliti tegaskan punahnya keanekaragaman hayati dapat tingkatkan risiko pandemi akibat interaksi manusia dan hewan liar yang semakin dekat akibat fragmentasi habitat dan kerusakan alam. Contohnya Ebola di Afrika pada tahun 2014, diduga berasal dari kelelawar.
Foto: Silvia Izquierdo/AP/picture alliance
Terancamnya warisan yang tak berwujud
Kepunahan yang tak terlihat malah lebih mengerikan. “Ingat, setiap spesies tunggal adalah produk dari jutaan tahun evolusi. Anda sedang melihat hilangnya apa yang membuat umat manusia menjadi bagian dari planet ini. Anda sedang melihat apa yang membuat kita utuh,” kata Thomas Brooks, Kepala Ilmuwaan Persatuan Konservasi Alam International (IUCN).
Foto: Sun Ruibo/XinHua/Photoshot/picture alliance
Apakah spesies yang punah dapat dikembalikan?
Meski adanya prediksi bencana luar biasa, masih ada alasan manusia untuk optimis jika bertindak. Hasil penelitian menyebutkan jika tidak adanya konservasi, kepunahan bisa menjadi tiga hingga empat kali lipat dari tahun 1993. (mh/yp)
Foto: Joe Giddens/PA Wire /empics/picture alliance
6 foto1 | 6
Saat ini, dana iklim sebesar USD 100 miliar yang dijanjikan hingga 2020 masih belum sepenuhnya dikucurkan. Terlepas dari instrumen PBB tersebut, dana kompensasi iklim masih harus dibahas pada KTT COP27 di Mesir.
"Isu ini tidak ambigu sama sekali. Pembiayaan berarti uang. Ini berarti Anda harus merogoh kocek Anda dan mengeluarkan Dolar, Euro atau Yen dan menyerahkannya kepada korban perubahan iklim," kata Huq.
Iklan
Harapan di depan hambatan
Isu dana kompensasi iklim sejauh ini belum dimasukkan ke dalam agenda KTT Iklim COP27. Penyebabnya adalah penolakan AS dan Uni Eropa yang berusaha menghindari komitmen mengikat terhadap pembiayaan iklim.
"Harapan saya adalah agar negara maju mampu menyatukan sikap untuk mendukung perlakuan yang lebih adil dalam isu kerugian iklim," kata Matthew Samuda, Menteri Ekonomi Jamaika.
Pada KTT COP26 tahun lalu, negara-negara peserta menyepakati perundingan selama dua tahun untuk membentuk dana kompensasi. Tapi putaran perundingan terhenti sebelum membahas isu pembiayaan.
Cuaca Ekstrem Mematikan Kejutkan Dunia
Dari Jerman, Kanada hingga Cina, gambar-gambar dramatis dari dampak buruk cuaca ekstrem telah mendominasi kepala berita baru-baru ini. Apakah krisis iklim yang menjadi penyebabnya?
Foto: AFP/Getty Images
Banjir bandang dahsyat di Eropa
Banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya ini disebabkan oleh hujan lebat selama dua hari berturut-turut. Aliran air yang sempit meluap menjadi amukan banjir hanya dalam hitungan jam dan menghantam perumahan warga. Sedikitnya 209 orang tewas di Jerman dan Belgia. Upaya pemulihan rumah, bisnis, dan infrastruktur yang rusak diperkirakan menelan biaya miliaran euro.
Foto: Thomas Lohnes/Getty Images
Musim hujan ekstrem
Banjir juga melanda sebagian wilayah di India dan Cina bagian tengah. Hujan turun sangat lebat, bahkan lebih deras dari yang biasanya turun di musim hujan. Para ilmuwan memperkirakan bahwa perubahan iklim akan menyebabkan curah hujan yang lebih sering dan intens, karena udara yang lebih hangat menahan lebih banyak air, sehingga menciptakan lebih banyak hujan.
Foto: AFP/Getty Images
Banjir menggenangi Cina bagian tengah
Curah hujan yang memecahkan rekor selama berhari-hari menyebabkan banjir dahsyat di seluruh provinsi Henan, Cina, pada akhir Juli. Puluhan orang tewas, ratusan ribu lainnya mengungsi, dan banyak warga masih dilaporkan hilang. Di Zhengzhou, ibu kota provinsi Henan, warga terjebak di rel kereta bawah tanah ketika banjir datang. Daerah pedesaan dilaporkan terkena dampak lebih parah.
Foto: Courtesy of Weibo user merakiZz/AFP
Rekor suhu panas di AS dan Kanada
Suhu yang semakin panas juga menjadi lebih umum terjadi. Seperti di negara bagian Washington dan Oregon di AS dan provinsi British Columbia di Kanada pada akhir Juni lalu. Ratusan kematian terkait suhu panas dilaporkan terjadi di sana. Desa Lytton di Kanada bahkan mencatat suhu tertinggi hingga 49,6 Celcius.
Foto: Ted S. Warren/AP/picture alliance
Kebakaran hutan memicu badai petir
Gelombang panas mungkin sudah berakhir tetapi kondisi kering telah memicu salah satu musim kebakaran hutan paling intens di Oregon, AS. Kebakaran yang dijuluki Oregon’s Bootleg Fire itu menghanguskan area seluas Los Angeles hanya dalam waktu dua minggu. Saking besarnya, asap dari kebakaran dilaporkan sampai ke New York.
Foto: National Wildfire Coordinating Group/Inciweb/ZUMA Wire/picture alliance
Amazon mendekati ‘titik kritis’?
Brasil bagian tengah dilaporkan mengalami kekeringan terburuk dalam 100 tahun, sehingga meningkatkan risiko kebakaran dan deforestasi lebih lanjut di hutan hujan Amazon. Menurut para ilmuwan, sebagian besar wilayah tenggara Amazon telah berubah fungsi dari yang awalnya menyerap emisi, kini berubah menjadi memancarkan emisi CO2, menempatkan Amazon lebih dekat ke ‘titik kritis’.
Foto: Andre Penner/AP Photo/picture alliance
‘Di ambang bencana kelaparan’
Setelah bertahun-tahun alami kekeringan, lebih dari 1,14 juta orang di Madagaskar mengalami kerawanan pangan. Beberapa dari mereka terpaksa memakan kaktus mentah, daun liar, dan belalang, dalam kondisi yang mirip seperti ‘wabah kelaparan’. Nihilnya bencana atau konflik membuat situasi di sana disebut sebagai kelaparan pertama dalam sejarah modern yang semata-mata disebabkan oleh perubahan iklim.
Foto: Laetitia Bezain/AP photo/picture alliance
Melarikan diri dari bencana
Tahun 2020, jumlah orang yang melarikan diri dari konflik dan bencana alam mencapai level tertinggi dalam 10 tahun. Jumlah orang yang berpindah di dalam negera mereka sendiri mencapai rekor 55 juta, sementara 26 juta lainnya melarikan diri hingga melintasi perbatasan. Sebuah laporan dari pemantau pengungsi pada bulan Mei menemukan tiga perempat dari pengungsi internal adalah korban cuaca ekstrem.
Foto: Fabeha Monir/DW
London terendam banjir
Tidak hanya negara-negara di Eropa utara, Inggris juga dilanda banjir bandang. Beberapa bagian London dibanjiri oleh air yang naik dengan cepat karena hujan lebat dalam satu hari. Stasiun kereta bawah tanah dan jalan-jalan juga terendam banjir. Menurut Wali Kota London Sadiq Khan, banjir bandang menunjukkan bahwa “bahaya perubahan iklim kini bergerak lebih dekat ke rumah.”
Foto: Justin Tallis/AFP/Getty Images
Yunani ‘meleleh’ akibat gelombang panas
Sementara negara-negara di Eropa utara mengalami banjir, negara di bagian selatan seperti Yunani justru dicengkeram oleh gelombang panas di awal musim panas. Di minggu pertama bulan Juli, suhu melonjak hingga 43 derajat Celcius. Tempat-tempat wisata seperti Acropolis terpaksa ditutup pada siang hari, sementara panas ekstrem memicu kebakaran hutan di luar kota Thessaloniki.
Foto: Sakis Mitrolidis/AFP/Getty Images
Sardinia dilanda kebakaran hutan yang belum pernah terjadi sebelumnya
“Ini adalah kenyataan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Sardinia,” kata Gubernur Sardinia Christian Salinas tentang kebakaran hutan di sana. “Sejauh ini, 20.000 hektar hutan yang mewakili sejarah lingkungan selama berabad-abad di pulau kami telah hangus menjadi abu," tambahnya. Sedikitnya 1.200 orang dievakuasi akibat kebakaran tersebut. (gtp/hp)
Foto: Vigili del Fuoco/REUTERS
11 foto1 | 11
Padahal, pembahasan kompensasi iklim dalam KTT COP27 akan membuka kesempatan untuk mendiskusikan sumber dana, cara pendistribusiannya dan bagaimana mendefinisikan kerugian iklim. Ilmuwan meyakini, kerugian akibat dampak bencana iklim akan mencapai USD 580 miliar per tahun pada 2030.
"Saat ini tidak lagi jelas bagaimana kita bisa membangun kepercayaan antara negara kaya dan miskin," kata Alex Scott, pakar diplomasi iklim di lembaga wadah pemikir, E3G.
Meski begitu, sebagian lain meyakini adanya harapan bagi terciptanya terobosan. "Kami berharap dunia internasional mau mengemban tanggung jawab ini," kata Madeleine Diouf Sarr, juru runding negara-negara termiskin di PBB. Ia berdalih, eskalasi bencana di negara-negara kaya mendorong tumbuhnya pengakuan terhadap kerugian iklim di negara miskin.
Hal ini terlihat dalam kunjungan Menteri Luar Negeri Jerman, Annalena Baerbock, ke negeri kepulauan Palau, Juli silam. Di sana, dia menegaskan akan memprioritaskan isu kerugian dalam merancang kebijakan luar negeri Jerman.
"Ini adalah isu yang sangat jarang dibahas dalam waktu yang lama," katanya. "Dan semuanya berakar pada isu pembiayaan."