1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikKorea Selatan

Kisruh Darurat Militer Korsel, Mengapa Korut Diam?

12 Desember 2024

Tak seperti biasanya, propaganda Korea Utara sangat lamban merespons pergolakan politik di Korea Selatan setelah kegagalan darurat militer Presiden Yoon minggu lalu.

Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un saat menghadiri pertemuan di Pyongyang, Korea Utara, pada 15 November 2024
Butuh beberapa hari sebelum media Korea Utara mengecam pihak berwenang Korea Selatan menyusul upaya darurat militer yang gagalFoto: Korean Central News Agency/Korea News Service via AP/picture alliance

Seminggu setelah deklarasi darurat militer yang gagal oleh Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol, Pyongyang masih bungkam.

Biasanya, setiap tanda dan aksi publik yang tak setuju dengan kebijakan pemerintah Korea Selatan dengan cepat ditangkap oleh media pemerintah Korea Utara, sebagai bukti korupsi dan ketidakmampuan sistem demokrasi Korea Selatan serta pemimpinnya.

Namun, saat deklarasi darurat militer Presiden Yoon tanggal 3 Desember malam dan kejadian setelahnya, Korea Utara mengabaikan kesempatan untuk mengejek tetangga dan saingan ideologisnya serta tidak memanfaatkan momen untuk menekankan keunggulan sosialisme gaya Korea Utara.

Sebaliknya, liputan yang dilakukan oleh Kantor Berita Pusat Korea (KCNA) yang dikelola pemerintah justru berfokus pada isu-isu domestik biasa, seperti pembukaan pabrik bumbu dan kelompok pemuda yang ikut serta dalam "pertemuan pengambilan sumpah.”

Para analis mengakui bahwa mereka bingung dengan kegagalan Korea Utara untuk segera melakukan beberapa pukulan propaganda, terutama kesempatan untuk menargetkan Yoon, yang telah mengambil garis yang jauh lebih tegas terhadap Korea Utara daripada pendahulunya yang lebih liberal.

Deklarasi darurat militer yang dikeluarkan Yoon menyatakan bahwa dia dipaksa untuk bertindak karena "kekuatan anti-negara” dan "kekuatan komunis Korea Utara” di dalam barisan oposisi politik dalam negerinya.

Mengapa Korea Utara tetap diam?

Beberapa pihak berpendapat bahwa rezim di Pyongyang memilih untuk tidak menunjukkan rekaman masyarakat Korea Selatan yang melakukan protes secara massal terhadap pemerintah karena khawatir hal itu dapat mendorong warga Korea Utara yang tidak puas untuk melakukan hal yang sama.

Pihak lain percaya bahwa Korea Utara khawatir bahwa kerusuhan di Korea Selatan dapat mengakibatkan pemerintah Korea Selatan yang berada di bawah tekanan berusaha untuk memusatkan perhatian publik di tempat lain dan memprovokasi insiden keamanan yang melibatkan Korea Utara. Sebagai persiapan, Pyongyang memfokuskan seluruh energinya untuk mempersiapkan diri menghadapi konfrontasi.

Teori lain tentang sikap diam Korea Utara berakar pada pengumuman Pyongyang pada akhir tahun 2023 bahwa mereka mengubah konstitusinya untuk mencerminkan posisinya bahwa Korea Selatan sekarang dipandang sebagai "negara yang berperang” dan hubungan selanjutnya akan menjadi antara "dua negara yang bermusuhan.” Ini merupakan perubahan besar dari pandangan sebelumnya yang melihat kedua Korea sebagai satu bangsa yang homogen dan suatu hari nanti akan bersatu kembali.

Dengan cara ini, Pyongyang tampaknya merasa tidak perlu mengomentari krisis politik di Korea Selatan, kata Andrei Lankov, seorang profesor sejarah dan hubungan internasional kelahiran Rusia di Universitas Kookmin, Seoul.

"Hampir setiap akhir pekan sejak Yoon berkuasa, ada demonstrasi besar di Seoul untuk menentang pemerintahannya,” katanya kepada DW.

"Dan setiap kali ada demonstrasi, media Korea Utara akan memberitakannya. Hal itu tidak terjadi saat protes setelah dia mengumumkan darurat militer, dan saya pikir itu sebagian karena Korea Utara ingin melihat apa yang akan terjadi.”

Tentara mencoba memasuki gedung Majelis Nasional di Seoul pada 4 Desember 2024, setelah Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengumumkan darurat militerFoto: JUNG YEON-JE/AFP/Getty Images

Korea Selatan 'hanya negara lain'

"Tapi ada juga pengurangan bertahap dalam jumlah liputan yang diberikan Korea Utara kepada rakyatnya di media pemerintah karena mereka tidak ingin memusatkan perhatian pada Korea Selatan, mereka ingin memposisikan Korea Selatan sebagai negara yang 'biasa-biasa saja',” kata Lankov.

Goo Gap-woo, seorang profesor diplomasi di Universitas Studi Korea Utara di Seoul, setuju bahwa Pyongyang secara aktif menjalankan kebijakan untuk menjauhkan diri dari segala bentuk kontak dengan tetangganya di selatan.

"Korea Utara biasanya sangat cepat menyebut 'rezim boneka Korea Selatan' dan seterusnya setiap kali terjadi kerusuhan sosial dan saya terkejut bahwa mereka tidak mengatakan apa-apa tentang demonstrasi kali ini,” katanya kepada DW.

"Saya hanya bisa berpikir bahwa ini adalah bukti bahwa mereka tidak ingin berhubungan dengan Korea Selatan setelah deklarasi 'dua Korea' oleh Kim Jong Un tahun lalu.

"Secara khusus mereka tidak ingin terlibat dalam konflik apa pun di Semenanjung Korea,” tambahnya, yang mungkin merupakan uji coba militer mengingat jumlah amunisi dan pasukan yang telah disumbangkan Korut kepada pasukan Rusia yang saat ini bertempur di Ukraina.

Putin Bertemu Kim Jong-un

00:32

This browser does not support the video element.

Goo juga meragukan bahwa Korea Utara menunda merilis berita tentang kekacauan di Korea Selatan karena khawatir hal itu dapat meyakinkan beberapa warga negara Kim Jong Un untuk melakukan hal yang sama dalam menentang pemimpin mereka.

"Saya rasa pemerintah di sana tidak mempertimbangkan dampak dari laporan-laporan mengenai peristiwa di Selatan terhadap Korea Utara,” katanya.

"Saya pikir kemungkinan besar Pyongyang lebih fokus pada upaya untuk memisahkan dan menjauhkan diri dari Korea Selatan.”

Korea Utara memecah keheningan

Namun, pada akhirnya, Korea Utara tampaknya menyadari bahwa mereka tidak bisa tinggal diam. Pada hari Rabu (11/12), KCNA melaporkan kejadian di Korea Selatan.

“Insiden mengejutkan dari rezim boneka Yoon Suk-yeol ... tiba-tiba mengumumkan darurat militer dan tanpa ragu-ragu menggunakan senjata dan pisau kediktatoran fasisnya menimbulkan malapetaka di seluruh Korea Selatan.”

Laporan tersebut menggambarkan militer Korea Selatan sebagai “organisasi gangster” dan menyatakan bahwa tindakan Yoon merupakan “bencana” dan bahwa publik Korea Selatan menyerukan pemakzulan dan hukuman terhadapnya.

Laporan tersebut disertai sekitar 20 foto, meskipun foto-foto tersebut tidak menunjukkan warga sipil Korea Selatan yang menentang militer di luar parlemen

Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris

Julian Ryall Jurnalis di Tokyo, dengan fokus pada isu-isu politik, ekonomi, dan sosial di Jepang dan Korea.