1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kisruh Konferensi Anti Rasisme

20 April 2009

Konferensi PBB di Jenewa ingin membahas cara menentang rasisme dan diskriminasi ras. Sejak dulu, konferensi dengan tema ini mengundang sengketa.

Presseschau

Beberapa negara, antara lain Amerika Serikat, Jerman dan Belanda menolak hadir. Alasannya, konferensi itu bisa digunakan oleh penentang Israel untuk menyuarakan antisemitisme.

Mengenai sengketa konferensi PBB di Jenewa, harian Belanda de Volkskrant menulis:

Ini adalah lanjutan dari konferensi di Durban menentang rasisme, diskriminasi ras dan xenophobia serta intoleransi yang diakibatkannya. Konferensi ini dibayangi sengketa mendalam. Tapi Inggris dan Perancis memutuskan hadir, demikian juga Iran. Dengan pidatonya, presiden Iran mencoba menarik perhatian. Pembatalan dari beberapa negara Barat untuk ikut serta membuat PBB kesal. Komisaris PBB untuk Hak Asasi, Navi Pillay, tidak menyembunyikan kekesalannya. Ia menerangkan, beberapa negara menentukan seluruh sikapnya hanya dari satu atau dua aspek sempit saja. Padahal sangatlah penting untuk membahas rasisme dan diskriminasi dalam cakupan global, betapapun sulit dan rumitnya membicarakan hal itu.

Harian Swiss Tages-Anzeiger berkomentar:

„Pemboikotan malah menguntungkan kelompok berpandangan ekstrim. Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad tampil berbicara di konferensi anti rasisme, justru pada hari peringatan tragedi Holocaust. Politik pemboikotan adalah jawaban yang salah terhadap provokasi pembantah Holocaust dan musuh terbesar Israel. Panggung PBB tidak boleh dibiarkan menjadi ajang baginya. Seorang Barack Obama, Hillary Clinton atau Angela Merkel harus mampu menandinginya. Boikot ini merugikan upaya memerangi diskriminasi ras dan memerangi sikap permusuhan terhadap warga asing. Pengerdilan arti konferensi ini justru akan merugikan jutaan orang yang menjadi korban rasisme.

Harian Jerman Frankfurter Allgemeine Zeitung menulis:

Uni Eropa, yang ingin memainkan perang penting dalam politik dunia, lagi-lagi terbukti sebagai macan kertas. Bukankah tadinya diumumkan bahwa ke-27 negara anggota akan menunjukkan satu sikap? Jika kebersamaan ini kemudian lenyap, karena Eropa merasa risih dengan apa yang mungkin disampaikan Ahmadinejad dan beberapa tokoh lain mengenai Israel, hal ini hanya menunjukkan betapa menyedihkan kondisi politik luar negeri Eropa. Situasi ini kelihatannya baru akan berubah, jika mayoritas negara Eropa mulai menyadari betapa mereka makin tidak berarti di panggung internasional.

Hal lain yang jadi sorotan pers di Eropa adalah konferensi tingkat tinggi negara-negara Amerika, yang dipandang bisa menjadi awal baru bagi hubungan Amerika Serikat dan Kuba, sekalipun Kuba tidak hadir pada konferensi ini. Harian Italia La Repubblica menulis:

Tentu ini tidak akan mudah. Kakak beradik Castro tentu menyadari, adanya Barack Obama di Gedung Putih di Washington bisa berarti, bahwa dinding pemisah terhadap Kuba mulai runtuh. Ini bisa mereka gunakan sebagai propaganda kemenangan sebuah negara Amerika Latin yang kecil terhadap sebuah raksasa imperialistis, setelah 50 tahun perang dingin dan embargo. Tapi ini berarti, penguasa Kuba juga perlu berkompromi dalam beberapa hal fundamental, misalnya dalam isu hak asasi manusia, kebebasan pers dan tahanan poltitik. Bahwa Raul Castro sekarang berbicara tentang ‚tahanan politik', ini adalah pertanda yang membawa harapan. Kuba sebelumnya tidak pernah mengakui hal itu.

HP/dpa

Editor: Edith Koesoemawiria