Masalah sampah di Jakarta terus berlanjut. Setelah distribusi sampah terganggu, lewat instruksi Jokowi, truk sampah diizinkan melitas 24 jam. Pemerintah DKI Jakarta berencana akan mengolah sampah sendiri.
Iklan
Para petugas sapu jalan dari Dinas Kebersihan dan juga warga DKI Jakarta bisa bernafas sedikit lega. Dengan beroperasinya kembali truk-truk pengangkut sampah secara normal, tumpukan sampah yang sebelumnya menggunung di berbagai wilayah Jakarta kini berangsur dikurangi. Distribusi sampah Jakarta ke TPST Bantar Gebang sempat tersendat setelah pecahnya konflik antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dengan perusahaan pengelola TPST PT Godang Tua Jaya. Konflik sampah ini dipersulit dengan aksi penghadangan warga terhadap truk sampah DKI.
Senin (09/11/15), berkat perintah Presiden Jokowi, truk sampah DKI Jakarta yang menuju Bantar Gebang kini tidak lagi dihadang warga. Jokowi telah menginstruksikan agar truk-truk milik pemerintah Jakarta diizinkan melintas 24 jam, tanpa ada pembatasan waktu, menuju Bantar Gebang. Sekretaris Komisi A DPRD Kota Bekasi Solihin mengatakan, izin tersebut dikeluarkan terkait penghadangan yang dilakukan warga terhadap truk sampah DKI. Penghadangan itu berakibat pada menumpuknya sampah di beberapa tempat di Jakarta. Penumpukan sampah ini bisa dinilai sebagai masalah nasional.
Iring-iringan truk sampah dari Jakarta menuju Bantar Gebang terlihat masih dikawal oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya. Dan pihak kepolisian juga masih terus menyelidiki kasus dugaan penyimpangan dana dalam kasus pengolahan sampah di Bantargebang.
Mengupayakan solusi penanganan sampah Jakarta, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok berencana akan menemui Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi pada hari Rabu (11/11/15). Ahok juga menyatakan berencana akan mengolah sampah sendiri sebagai solusi jangka panjang. Menurut Ahok, pemerintah DKI Jakarta akan membangun pengolahan sampah di pasar-pasar yang ada di Jakarta. Namun belum pasti, lokasi pasar mana yang nantinya bisa difunsikan sebagai tempat pengolahan sampah. Dikatakan Ahok, Jakarta akan lebih berhemat, jika mampu mengolah sampah sendiri daripada mengirimnya ke wilayah lain.
Setiap harinya, Jakarta memproduksi sekitar 6.500 ton sampah per hari. Sampah-sampah tersebut berupa, 60 persen sampah rumah tangga, 20 persen sampah perkantoran, 10 persen sampah industri dan 10 persen sampah fasilitas publik.
Senja di Bantar Gebang
Pemulung biasanya tidak mengenal kata pensiun. Jikapun ada, mereka tidak berhenti melainkan mewariskan pekerjaannya kepada anak-anaknya. Sebagian lain terpaksa mengais melewatii usia senja lantaran kondisi keuangan
Foto: DW
Minim Pengakuan
Muhaemin, 67, sudah mengais sampah di Bantar Gebang sejak 35 tahun. Ketika penglihatannya memburuk, ia memutuskan berhenti bekerja. Muhaemin dan isterinya tidak menerima uang kompensasi dari pemerintah kota. Keduanya dipersulit ketika hendak mengurus KTP lokal. Sebab itu ia masih membawa KTP dari Indramayu, kampung yang sudah ditinggalkannya sejak tiga dekade lalu.
Foto: DW/R. Nugraha
Pemberhentian Terakhir
Lebih dari 6000 ton sampah yang diangkut oleh 600 truk mendarat di Bantar Gebang setiap hari. Menjadikan tempat pembuangan akhir di Bekasi itu terbesar se Indonesia. 5000 pemulung mengais nafkah dan hidup dari sampah buangan penduduk. Kendati tidak diakui pemerintah lokal, keberadaan mereka tidak diusik.
Foto: DW
Turun Temurun
Muhaemin hidup di sebuah gubug berdinding rotan yang ditopang kayu bambu. Putra-puterinya hidup di gubug serupa berdampingan. Pria tua itu tergolong beruntung karena tidak lagi harus mengais sampah. Muhaemin mewariskan pekerjaannya itu kepada sang anak.
Foto: DW
Sepanjang Hari
Dayini, 57, menyortir sampah plastik buat dijual kepada penadah. Ia dan sang suami menempati sepetak tanah di atas tumpukan sampah untuk melakukan pekerjaan harian. Setiap hari keduanya mampu menjual lima keranjang sampah plastik yang bernilai kira-kira Rp. 30.000
Foto: DW
Ala Kadarnya
Pemulung biasanya mengenakan sepatu karet agar tidak terpapar zat-zat beracun selama bekerja di timbunan sampah. Tapi sebagian lain memilih cara yang lebih sederhana. Dayini misalnya memakai sepatu yang ia temukan di sampah. Penyakit bukan kekhawatiran terbesarnya. Ia sendiri bangga belum pernah sakit parah selama mengais di Bantar Gebang
Foto: DW
Ketergantungan
Rasja, 68, suami Dayini. Ia mendapatkan uang tambahan dengan menjahit karung buat dipakai para pemulung. Ia pernah bersumpah tidak akan meminjam uang dari penadah. Tapi kelahiran cucu pertama memaksanya berubah pikiran. Fenomena semacam ini menjamur di Bantar Gebang. Para penadah menjerat pemulung ke dalam ketergantungan melalui pinjaman berbunga tinggi.
Foto: DW
Kemiskinan
Rasja dan Dayini hidup beberapa ratus meter dari timbunan sampah, tanpa air bersih dan sanitasi yang memadai. Perlengkapan dapur yang mereka gunakan kebanyakan berasal dari sampah. Gambaran serupa sering ditemui di rumah-rumah pemulung di Bantar Gebang
Foto: DW
Kehidupan yang Lebih Baik
Rasja dan Dayini berharap nasib yang lebih baik jika sudah tidak lagi memulung. Keduanya berniat pulang ke kampung halamannya di Indramayu untuk menikmati sisa usia.