Koki Indonesia akan ambil alih dapur Michelin di Jerman untuk pertama kalinya! Black Forest bakal kedatangan tamu spesial: Asinan dan klepon. Siapkan selera, karena rempah Nusantara bakal bikin Jerman makin hangat.
Koki Degan siap ke JermanFoto: privat
Iklan
Di jantung Black Forest (Schwarzwald), Jerman, di antara lanskap pohon pinus yang menyimpan sejarah panjang peradaban Eropa, berdiri Hotel Traube Tonbach. Sejak tahun 1789, hotel legendaris ini menjadi saksi bisu arus waktu, menyambut bangsawan, seniman, hingga pecinta kuliner dari seluruh dunia.
Namun Agustus 2025 ini, aroma yang menyelimuti lorong-lorong mewah hotel itu bukanlah aroma klasik Prancis atau Jerman. Kali ini, rempah-rempah dari Timur jauh mengambil alih: Lengkuas, serai, cabai, kunyit, dan kemiri asal Indonesia akan "menari-nari" dalam aroma hangat yang eksotis.
Restoran Schwarzwaldstube di Hotel Traube Tonbach Foto: Uli Deck/dpa/picture alliance
Restoran Schwarzwaldstube, restoran prestisius berpredikat tiga bintang Michelin, di hotel bintang lima itu untuk pertama kalinya "di-take over" sepenuhnya oleh tim koki Indonesia dari tanggal 6-9 Agustus 2025.
Dipimpin oleh Chef Degan Septoadji, seorang maestro kuliner dengan empat dekade pengalaman internasional, tim ini bakal menghadirkan kekayaan rasa nusantara dalam piring-piring yang ditata menawan dengan sajian legit. Bersamanya juga hadir dua nama besar: Setyo Widhyarto, Sous Chef eksekutif Raffles Jakarta, dan Norman Ismail, koki selebriti dan wajah yang lekat di layar kaca Indonesia.
Siap masak di restoran kelas atas di JermanFoto: privat
Dari Ausbildung di tahun 1984, ke Michelin 2025: Berjejaring, maju bersama
"Perjalanan ini bukan kebetulan. Empat hari gala dinner dan kelas memasak yang akan digelar pada Agustus 2025 nanti adalah hasil dari jaringan dan kepercayaan yang dibangun selama lebih dari dua dekade," demikian dijelaskan bagian Hubungan Masyarakat (Humas) tim koki, Nike Kurnia.
Iklan
Semua berawal dari tahun 1984, ketika Chef Degan muda dan Chef Henry Oskar Fried (yang kini menjabat Asisten Direktur Kuliner Hotel Traube Tonbach) sama-sama menjalani masa belajar sambil bekerja alias vokasi atau bahasa Jermannya "Ausbildung" di Hotel zur Pfalz, Kandel, Jerman, tambah Nike.
Masakan kambing bumbu ketumbar yang menggugah seleraFoto: Nike Kurnia
Dari persahabatan itulah pintu mulai terbuka. Pada 2007, Chef Degan sebelumnya juga sudah diundang memasak di Hotel Traube Tonbach, namun belum berkesempatan di restoran berbintangnya. Barulah setelah pembuktian panjang—dari 2014 hingga 2017 melalui berbagai promosi kuliner Indonesia, misalnya acara kursus masak kuliner nusantara, kepercayaan itu mengakar.
Tahun ini, sejarah tergores: Untuk pertama kalinya, tim koki Indonesia dipercaya sepenuhnya mengambil alih restoran tiga bintang Michelin di Jerman. Tim koki di bawah kepempimpinan Degan bakal memegang kendali sementara dapur di sebuah panggung elite yang selama ini nyaris eksklusif untuk tradisi kuliner Eropa dan Jepang.
Hotel Traube Tonbach setelah kebakaranFoto: Uli Deck/picture alliance/dpa
Dari abu, lahir kembali
Juru bicara tim koki, Nike Kurnia mengemukakan yang membuat momen ini terasa sakral bukan hanya sajian di restoran ini saja namun juga latar tempatnya. Pada tahun 2020, restoran Schwarzwaldstube luluh lantak dilahap api. Kebakaran hebat itu menjadi berita nasional di Jerman. Namun keluarga Finkbeiner, pemilik hotel sejak abad ke-18 itu, menolak menyerah. Mereka membangun ulang dari nol, dengan tekad satu: Mempertahankan tiga bintang Michelin bahkan di tengah krisis.
”Kini, di gedung restoran baru yang dibangun setelah tragedi itu, aroma Indonesia menjadi yang pertama mengisi ruangnya. Bukan hanya bangunan yang kembali berdiri—tapi juga persahabatan, warisan, dan keyakinan akan kekuatan budaya,” ujar Nike.
Citarasa Indonesia di Schwarzwald
Chef Degan Septoadji menggelar promosi masakan Indonesia di Schwarzwald, Jerman. Kebetulan ia fasih berbahasa Jerman, sehingga mampu menjelaskan budaya dan cerita di balik kuliner Indonesia.
Foto: Nike Kurnia
Mahal Mengenal Indonesia
Selain membuat set dinner, Chef Degan Septoadji juga menggelar kelas memasak bagi tamu Hotel Traube Tonbach dan warga di sekitar Baiersbronn, Schwarzwald. Biaya kelas memasak untuk setiap peserta mencapai 175 Euro atau Rp. 2.700.000,-. Dari jam 10 pagi hingga pukul 4 sore, para peserta diajarkan cara membuat empat hidangan Indonesia serta cara membuat dua bumbu.
Foto: Nike Kurnia
'Bahan-Bahan Lokal'
Hampir 98 persen bahan masakan Indonesia untuk kelas memasak dan set dinner bisa didapatkan di Schwarzwald. Hanya dua hal yang tidak ada, yakni kencur dan daun salam.
Foto: Nike Kurnia
Belajar Mengulek
Ulekan seberat 7 kilogram diboyong dari Indonesia. Dan para peserta kelas memasak diajari cara mengulek bumbu rujak.
Foto: Nike Kurnia
Sangat Tidak Jerman
"Kalau di Indonesia paling asyik makan rujak itu di-cowel langsung," jelas chef Degan kepada peserta kelas memasak. Ia menjelaskan bagaimana biasanya orang Indonesia berkumpul ramai-ramai lalu makan bersama-sama. Dan itu dicontoh oleh para peserta, dan lucunya mereka tidak bisa berhenti. Ini pemandangan yang langka di Jerman. Tidak biasanya orang Jerman berbagi piring.
Foto: Nike Kurnia
Sorbet Rasa Rujak
Chef Degan mengakui bahwa hidangan penutup di Indonesia itu tidak semaju di Eropa, tapi menurutnya dengan bumbu dan rasa khas Indonesia, bisa juga dibuat perpaduannya. Contohnya sorbet rasa rujak dengan bumbu kacang dan buah-buahan seperti terlihat dalam foto. Jadi para peserta kelas memasak di Hotel Traube Tonbach bisa melihat serta merasakan rujak versi tradisional dan versi kontemporernya.
Foto: Nike Kurnia
Modifikasi 'Asli Indonesia'
Semua rasa tetap sama seperti citarasa asli Indonesia, namun pedasnya dikurangi. Seperti hidangan pembuka kerang dengan acar kuning dalam foto. Kalau mau pedas tinggal gigit cabai utuh yang turut disajikan. Di meja pun disediakan empat macam sambal: sambal terasi, sambal hijau, sambal matah dan sambal kecap.
Foto: Nike Kurnia
Harus Pintar Mengemas
"Masalahnya pada masakan Indonesia itu adalah dari segi penyajiannya, kalau memasak seperti biasa itu penampilannya kurang menarik. Dan orang barat itu banyak makan pakai mata," ujar Degan Septoadji seraya memberi masukan bagi koki-koki muda Indonesia yang ingin berpromosi di luar negeri.
Foto: Nike Kurnia
Mengenal Budaya Lewat Lidah
Melalui hidangannya, chef Degan turut menjelaskan budaya Indonesia, "Mengapa cara membuatnya seperti ini, dan biasanya kapan hidangan ini disantap di Indonesia." Contohnya sop buntut yang dibuat sebagai hidangan pembuka di Jerman, tapi ia jelaskan bahwa kalau di Indonesia sop buntut adalah hidangan utama sehingga disantap dengan nasi.
Foto: Nike Kurnia
Tak Kalah Bersaing
Persaingan yang dihadapi chef Degan tidak tanggung-tanggung, sedikitnya ada 17 restoran berbintang Michelin di wilayah Schwarzwald, dan Hotel Traube Tonbach sendiri menjadi rumah bagi restoran Schwarzwaldstube yang mendapat tiga bintang Michelin. Hebatnya, sang chef yang sempat tinggal di Jerman ini sudah diundang lagi untuk menggelar promosi kuliner Indonesia pada tanggal 10-21 Agustus 2015.
Foto: Nike Kurnia
9 foto1 | 9
Menu yang mengisahkan tanah air
Nike menambahkan empat malam eksklusif digelar. Hanya 35 kursi tersedia setiap malam, dibanderol dengan harga €129 (sekitar 2,2 juta Rupiah) per orang. ”Setiap piring yang disajikan tak sekadar akan memanjakan lidah, tetapi membawa tamu pada perjalanan lintas pulau, ujarnya.
Penasaran apa saja yang bakal disajikan? Ini menunya kata Chef Degan: ”Dibuka dengan scallop atau kerang panggang dengan asinan sayur. Di sini kekayaan lautan dan daratan bersatu dalam rasa asam-manis yang menggoda lidah." Makanan pembuka itu akan disusul makanan khas yang mungkin dikenal semua orang Indonesia yakni: Soto ayam Lamongan, yang bakal disajikan hangat dan harum, dengan aroma kunyit, serai, dan taburan bawang goreng.
Ikan Acar KuningFoto: Nike Kurnia
”Kami juga menyiapkan ikan samjoripet, bebek bumbu Bali, rendang sapi, dan sayur lodeh. Sementara buat makanan penutup bakal disajikan bubur ketan hitam, klepon, dantak ketinggalan rujak buah sebagai penutup yang merayakan manisnya kekayaan belahan dunia tropis dan sedikit mengenalkan ras apedas ke orang Jerman," tandasnya.
Dipasangkan dengan minuman anggur pilihan dari Jerman, pengalaman ini menjadi pertemuan dua dunia—tanpa saling menenggelamkan, justru Degan yakini bisa mengangkat selera satu sama lain.
Pelestari Makanan Khas Betawi Tempo Dulu
Kuliner Khas Betawi kini semakin jarang dijumpai, tapi bisa ditemui di warung Betawi Bang Be’eng dan warung Laksa Betawi Asirot. Berikut menu-menu menggiurkan yang kaya sejarah dan tradisi ini.
Foto: A.K. Ulung/DW
Berbagai menu makanan Betawi tempo dulu tersedia
Warung Betawi Bang Be’eng menyediakan lebih dari 20 menu masakan Betawi, termasuk makanan Betawi tempo dulu seperti sayur besan, pecak mujair, dan tumis jantung pisang. Menurut para sejarawan, makanan ini sudah ada di Batavia (Jakarta) jauh sebelum Indonesia merdeka. Makanan Betawi tempo dulu ini dipengaruhi oleh tradisi kuliner orang-orang Tionghoa yang berimigrasi ke Batavia untuk berdagang.
Foto: A.K. Ulung/DW
Pemegang tongkat estafet bisnis kuliner Betawi
Suhaer Be’eng mendirikan Warung Betawi Bang Be’eng pada 2006. Kini, putrinya, Yusri Khoiriyah, belajar mengelolanya. Yusri berharap bisa melanjutkan bisnis keluarga ini untuk melestarikan makanan Betawi tempo dulu. Setiap hari, keduanya berbagi tugas. Pada pukul 02.00 pagi, Suhaer berbelanja ke pasar. Bahan-bahan yang dibeli Suhaer kemudian mulai dimasak oleh Yusri pada waktu subuh.
Foto: A.K. Ulung/DW
Pecak mujair ini cepat ludes terjual
Tidak banyak tempat makan yang menyediakan pecak mujair. Ikan mujair digoreng garing, disiram saus aromatik dari berbagai bahan, seperti bawang merah, kunyit, dan serai. Kuahnya mirip bumbu rujak dan rasanya tidak hanya segar, tapi juga ramai; pedas, asam, dan gurih jadi satu. Di Warung Betawi Bang Be’eng, harga satu porsi tergantung ukuran ikan, mulai dari Rp30.000 hingga Rp60.000.
Foto: A.K. Ulung/DW
Sayur khusus untuk para besan
Dulu, sayur besan adalah makanan mewah karena disajikan pada acara khusus, seperti pernikahan. Sayur besan wajib dibuat oleh keluarga pengantin perempuan Betawi untuk menjamu keluarga pengantin pria. Butir-butir terubuk yang menyatu diyakini sebagai simbol dua keluarga yang bersatu. Dijual Rp10.000 per porsi, sayur besan berwarna kekuningan dan di dalamnya ada kentang, suun dan terubuk.
Foto: A.K. Ulung/DW
Terubuk semakin susah dicari
Terubuk dari tebu merupakan bahan utama untuk membuat sayur besan. Saat ini terubuk semakin sulit didapatkan karena semakin sedikit orang membudidayakannya. Di Bogor, terubuk hanya tersedia di Pasar Parung. Harganya juga cukup mahal, yakni Rp250.000 untuk 100 batang. Hal inilah yang menyebabkan sayur besan semakin langka di Jabodetabek.
Foto: A.K. Ulung/DW
Tumis jantung pisang, makanan alternatif zaman Jepang
Tumis jantung pisang adalah pendamping khas pecak mujair. Tekstur tumis jantung pisang seperti jamur dan rasanya gurih. Hanya pisang kepok dan pisang raja yang cocok untuk dibuat tumis jantung pisang. Jantung pisang dianggap sebagai makanan spesial oleh orang-orang Betawi pinggir karena tanaman ini dahulu diolah sebagai makanan alternatif untuk bertahan hidup pada zaman penjajahan Jepang.
Foto: A.K. Ulung/DW
Orang Betawi suka mengolah beragam ikan
Kepala ikan kakap disajikan dengan kuah kuning ala Betawi. Sejak dulu, orang Betawi mengolah ikan-ikan liar di sungai dan rawa, seperti ikan gabus. Namun, sejak tahun 1990-an, ikan gabus kian langka seiring makin jarangnya sawah dan rawa di Jakarta akibat proyek pembangunan yang semakin masif. Karena itu, kini ikan gabus diganti dengan ikan mujair, ikan gurami, atau ikan kakap merah.
Foto: A.K. Ulung/DW
Laksa Betawi dengan cita rasa orisinal
Di rumah makan Laksa Betawi Asirot di Jl. Assirot No. 1 di Jakarta Selatan, laksa Betawi disajikan seorisinal mungkin. Kuah santannya berwarna kuning dan di dalamnya ada potongan ketupat, daun kemangi, dan daun kucai. Aroma ebi juga sangat kuat. Dijual dengan harga Rp20.000 per porsi, laksa Betawi akan terasa lebih nikmat jika dimakan dengan telur semur, semur jengkol, dan daging empal.
Foto: A.K. Ulung/DW
Penerus bisnis laksa keluarga
Kelezatan laksa Betawi ini berkat olahan tangan Muroni, istri dari Darussalam Isa, pendiri rumah makan Laksa Betawi Asirot. Setelah meninggal pada 2018, bisnis keluarga diteruskan oleh cucunya, Ahmad Syihabbudin. Laksa Betawi Asirot telah ada sejak tahun 1972 ini hanya menjual 2 menu: laksa dan ketupat sayur. Dibantu kedua adiknya, Ahmad mulai memasak pukul 03.00. Warungnya selalu ramai.
Foto: A.K. Ulung/DW
Ketupat sayur juga tidak kalah lezat
Di rumah makan ini, ketupat sayur juga tidak kalah spesial karena menggunakan sambal godok Betawi yang khas. Seperti laksa, ketupat sayur juga memiliki aroma ebi yang kuat. Kuah sayur yang gurih, potongan ketupat yang lembut, dan emping melinjo yang renyah akan sangat pas jika dipadu dengan semur jengkol yang legit. Di Laksa Betawi Asirot, semur jengkolnya cepat sekali ludes. (ae)
Foto: A.K. Ulung/DW
10 foto1 | 10
Lebih dari sekadar masakan
Bagi Chef Degan dan timnya, pentas makanan di sini bukan sekadar memasak. Ini adalah pembuktian: ”Kuliner Indonesia bukan cuma "exotic dish" di sudut buffet hotel, tapi layak menjadi bintang di panggung paling bergengsi dunia,” tandas Chef Degan.
Lebih dari itu, menurutnya ini adalah perayaan akan persahabatan lintas waktu dan benua. Bahwa kepercayaan bisa tumbuh dari sepiring makanan, dari kerja keras yang konsisten, dan dari kenangan sekolah sambil kerja atau vokasi (Ausbildung) bersama puluhan tahun silam.
*Editor: Rizki Nugraha
Nonton Aruna & Lidahnya Bersama Para Bintang
Berlinale 2019 berlangsung di sekitar 20 gedung bioskop di Berlin. Film Aruna & Lidahnya ditayangkan kedua kali di gedung bioskop Cubix Filmpalast yang terletak di salah satu kawasan paling ramai di Berlin.
Foto: DW/A. Gollmer
Hubungan antara makanan, budaya dan politik
“Aruna & Her Palate” adalah salah satu dari dua film fiksi yang tampil dalam kategori Culinary Cinema. Kategori film kuliner menampilkan seluruhnya 10 film dari berbagai negara, kebanyakan film dokumenter. Kategori ini tidak hanya ingin menunjukkan makanan saja, melainkan juga hubungan antara makanan, budaya dan politik.
Foto: DW/A. Gollmer
Tim yang hadir di Berlin
Tim yang mendampingi pemutaran “Aruna & Lidahnya” di Berlin, dari kiri ke kanan: Muhammad Zaidy (produser), Hannah Al Rashid (Nadezhda), Edwin (sutradara), Dian Sastrowardoyo (Aruna), Nicholas Saputra (Bono) dan Meiske Taurisia (produser). Oka Antara (Farish) tidak bisa hadir di Berlinale karena kesibukannya dalam film terbaru.
Foto: DW/A. Gollmer
Sutradara diapit para produser
Edwin (tengah) dan kedua produser dari Palari Films, Muhammad Zaidy (kiri) dan Meiske Taurisia (kanan) merasa sangat bangga, bahwa “Aruna & Lidahnya” berhasil masuk program Culinary Cinema di Berlin tahun ini. Sebelum di Berlinale, film ini sudah ditayangkan di Macau Festival.
Foto: DW/A. Gollmer
Tiga pemeran utama: Hannah, Nico, Dian
Dalam film, tiga sekawan Nadezhda, Bono dan Aruna sangat bersemangat berburu kuliner nusantara yang unik. Pada Berlinale kali ini, selain sibuk dengan penayangan film dan acara-acara di seputarnya, mereka juga ingin mencoba dua makanan khas dari Berlin: Curry Wurst dan Döner Kebap.
Foto: DW/A. Gollmer
Keragaman budaya dan kuliner
Tokoh utama Aruna diperankan oleh Dian Sastrowardoyo. Menurutnya film “Aruna & Lidahnya” pada awalnya saja terlihat ringan, namun sebenarnya banyak topik-topik tabu yang dijadikan bahan perbincangan selagi makan bersama. Bagi Dian, film ini merefleksikan betapa orang Indonesia sangat berbeda-beda namun tetap bisa berteman dan menikmati bersama-sama.
Foto: DW/A. Gollmer
Chef Bono
Nicholas Saputra memerankan Chef Bono. Ini bukan pertama kali Nico datang ke Berlinale. Tahun 2012, film Kebun Binatang yang dia bintangi juga diputar di Berlinale untuk berkompetisi. Ada kesan tersendiri kali ini, setelah mencicipi menu khusus yang terinspirasi makanan Indonesia dalam acara special dinner setelah pemutaran perdana “Aruna & Lidahnya”.
Foto: DW/A. Gollmer
Nadezhda
Hannah Al Rashid memerankan Nadezhda. Dia mengakui tertarik pada karakter kompleks ini: Seorang perempuan mandiri di tengah masyarakat Indonesia yang penuh tabu. Setelah penayangan film, tim Aruna & Lidahnya menjawab pertanyaan penonton dalam sesi tanya jawab singkat.
Foto: DW/A. Gollmer
Berbaur dengan penonton dan fans
Usai sesi tanya jawab, para pemain, sutradara dan kedua produser film Aruna & Lidahnya masih berbaur dengan para penonton. Banyak orang Indonesia yang tinggal di Berlin dan sekitarnya mendapat kesempatan untuk berbincang-bincang, berfoto dan minta tanda tangan dari para bintang dan pelaku film. (Teks & Foto: Anggatira Gollmer/hp)