1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialEropa

Kolaborasi Damai Sebagai Solusi Radikalisme di Eropa

8 Desember 2020

Negara harus menggandeng minoritas agama untuk merawat perdamaian, kata seorang ulama Lebanon. Kolaborasi damai diyakini bisa berfungsi sebagai jembatan antara warga mayoritas dan kaum muslim di Eropa, terlebih Prancis.

Seorang warga muslim di Jerman dalam demonstrasi damai mendukung toleransi.
Seorang warga muslim di Jerman dalam demonstrasi damai mendukung toleransi.Foto: imago images/IPON

Pemerintah Prancis didesak menggunakan pendekatan lunak untuk mengusir ideologi khilafah di kalangan minoritas muslim. Hal itu disampaikan ulama senior Lebanon, Syeikh Mohammed Abu Zaid, dalam sebuah wawancara dengan Deutsche Welle (DW). 

Menurutnya “menggunakan kekuatan dan otoritas negara hanya akan berdampak sebaliknya.”  

Abu Zaid dikenal sebagai tokoh muslim moderat di Lebanon. Dia sudah menulis 18 buku yang mempromosikan Islam damai dan rajin mengkampanyekan dialog antaragama.  

Bekas dosen studi Islam di Universitas Stanford, AS, itu juga termasuk yang pertama berkunjung ke Denmark usai penerbitan karikatur Nabi Muhammad oleh Jyllands Posten yang memicu demonstrasi massal, pada 2005 lalu. 

Migran muslim, kata dia, harus “melihat dirinya sebagai bagian dari negeri yang mereka huni, bukan cuma sebagai pengunjung.” Menurutnya pendatang baru muslim “harus membela negara yang menyambut dan memberikan mereka kewarganegaraan.” 

Dia terutama mengimbau warga muslim di Prancis yang kini disorot menyusul aksi teror pemenggalan kepala seorang guru sekolah di Paris. “Anda adalah warga negara Prancis, Anda tidak seharusnya membawa kebiasaan dari Turki, India, Pakistan atau Lebanon, tapi Anda harus hidup berdasarkan kebiasaan di negara baru.” 

Sejak November lalu, Dewan Muslim Prancis (CFCM) sedang menggodok sebuaah deklarasi damai,sebuah pengakuan loyalitas terhadap “nilai-nilai republik.” Senin (7/12), piagam tersebut diserahkan kepada pemerintah. 

Piagam Paris yang dirangkai sesuai kesepakatan dengan Kementerian Dalam Negeri Prancis disikapi secara kritis oleh dunia Arab. Namun Abu Zadi memiliki pandang lain. “Imam memang harus menjalani penyuluhan. Ini bukan tentang mengontrol, tetapi membangun kesadaran terhadap apa yang legal dan dilarang di sebuah negara.” 

Dialog Kristen-Islam 

“Saya datang dari keluarga pengrajin kayu yang miskin,” kata Abu Zaid yang menempuh pendidikan Keislaman di Beirut Islamic University, dan lalu mendapat gelar doktoral di Universitas Santo Yosef, sebuah lembaga pendidikan Katolik di Lebanon. 

Hasil jajak pendapat seputar ikatan emosional antara negara asal dan negara penampung di kalangan migran muslim di Eropa.

“Saya meyakini dilaog Kristen dan Islam adalah dasar bagi toleransi damai,” seperti dalam kasus Prancis. 

Saat ini warga muslim Prancis yang berjumlah enam juta orang mewakili minoritas Islam terbesar di Eropa. Menurut Abu Zaid, pemerintah Prancis harus berkolaborasi dengan tokoh-tokoh muslim. “Jika tidak, orang akan merasa dilangkahi,” katanya. 

Dia mengritik langkah pemerintah menutup masjid-masjid yang diyakini menjadi lokasi penyebaran paham kekerasan. Kebijakan itu, kata dia, tidak akan menuntaskan masalah, melainkan menciptakan masalah baru. 

“Orang tidak akan berhenti salat berjamaah atau mendengar khotbah, mereka hanya akan melakukannya secara sembunyi-sembunyi.” 

Dia memahami betapa pandangannya itu mengundang kritik dan kecaman dari kaum garis keras. “Mereka akan menuduh saya lemah atau menyerah kepada pemerintah Prancis,” kata dia. 

Prancis yang sekuler mengharamkan lembaga negara mengawasi atau mengatur kegiatan agama di sekitar 2.600 masjid yang tersebar, termasuk ustad atau imam yang dipekerjakan di sana. Tanggungjawab tersebut harus diemban negara, kata Abu Zaid. 

“Sebagai orang yang bertanggungjawab dan punya pengalaman panjang, saya merasa ini adalah jalan terbaik,” katanya. (rzn/vlz)  

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya