Negara harus menggandeng minoritas agama untuk merawat perdamaian, kata seorang ulama Lebanon. Kolaborasi damai diyakini bisa berfungsi sebagai jembatan antara warga mayoritas dan kaum muslim di Eropa, terlebih Prancis.
Iklan
Pemerintah Prancis didesak menggunakan pendekatan lunak untuk mengusir ideologi khilafah di kalangan minoritas muslim. Hal itu disampaikan ulama senior Lebanon, Syeikh Mohammed Abu Zaid, dalam sebuah wawancara dengan Deutsche Welle (DW).
Menurutnya “menggunakan kekuatan dan otoritas negara hanya akan berdampak sebaliknya.”
Abu Zaid dikenal sebagai tokoh muslim moderat di Lebanon. Dia sudah menulis 18 buku yang mempromosikan Islam damai dan rajin mengkampanyekan dialog antaragama.
Bekas dosen studi Islam di Universitas Stanford, AS, itu juga termasuk yang pertama berkunjung ke Denmark usai penerbitan karikatur Nabi Muhammad oleh Jyllands Posten yang memicu demonstrasi massal, pada 2005 lalu.
Migran muslim, kata dia, harus “melihat dirinya sebagai bagian dari negeri yang mereka huni, bukan cuma sebagai pengunjung.” Menurutnya pendatang baru muslim “harus membela negara yang menyambut dan memberikan mereka kewarganegaraan.”
Dia terutama mengimbau warga muslim di Prancis yang kini disorot menyusul aksi teror pemenggalan kepala seorang guru sekolah di Paris. “Anda adalah warga negara Prancis, Anda tidak seharusnya membawa kebiasaan dari Turki, India, Pakistan atau Lebanon, tapi Anda harus hidup berdasarkan kebiasaan di negara baru.”
Piagam Paris yang dirangkai sesuai kesepakatan dengan Kementerian Dalam Negeri Prancis disikapi secara kritis oleh dunia Arab. Namun Abu Zadi memiliki pandang lain. “Imam memang harus menjalani penyuluhan. Ini bukan tentang mengontrol, tetapi membangun kesadaran terhadap apa yang legal dan dilarang di sebuah negara.”
Iklan
Dialog Kristen-Islam
“Saya datang dari keluarga pengrajin kayu yang miskin,” kata Abu Zaid yang menempuh pendidikan Keislaman di Beirut Islamic University, dan lalu mendapat gelar doktoral di Universitas Santo Yosef, sebuah lembaga pendidikan Katolik di Lebanon.
“Saya meyakini dilaog Kristen dan Islam adalah dasar bagi toleransi damai,” seperti dalam kasus Prancis.
Saat ini warga muslim Prancis yang berjumlah enam juta orang mewakili minoritas Islam terbesar di Eropa. Menurut Abu Zaid, pemerintah Prancis harus berkolaborasi dengan tokoh-tokoh muslim. “Jika tidak, orang akan merasa dilangkahi,” katanya.
Dia mengritik langkah pemerintah menutup masjid-masjid yang diyakini menjadi lokasi penyebaran paham kekerasan. Kebijakan itu, kata dia, tidak akan menuntaskan masalah, melainkan menciptakan masalah baru.
“Orang tidak akan berhenti salat berjamaah atau mendengar khotbah, mereka hanya akan melakukannya secara sembunyi-sembunyi.”
Dia memahami betapa pandangannya itu mengundang kritik dan kecaman dari kaum garis keras. “Mereka akan menuduh saya lemah atau menyerah kepada pemerintah Prancis,” kata dia.
Prancis yang sekuler mengharamkan lembaga negara mengawasi atau mengatur kegiatan agama di sekitar 2.600 masjid yang tersebar, termasuk ustad atau imam yang dipekerjakan di sana. Tanggungjawab tersebut harus diemban negara, kata Abu Zaid.
“Sebagai orang yang bertanggungjawab dan punya pengalaman panjang, saya merasa ini adalah jalan terbaik,” katanya. (rzn/vlz)
Menyusuri Jejak Islam di Jerman
Beragam masjid dan komunitas Islam, sebagian kecil tempat menarik yang dikunjungi 14 intelektual Muslim Indonesia saat studi trip "Life of Muslims in Germany". Lokasi mana saja yang mereka singgahi? Berikut rangkumannya.
Foto: Privat
Singgah di Masjid Indonesia
Masjid Al-Falah, nama masjid milik warga Indonesia yang terletak di Berlin. Masjid yang dikelola Indonesische Weisheits und Kulturzentrum (IWKZ) dulunya merupakan pub. Para Intelektual muda yang mengikuti study trip Goethe tersebut tiba tepat Sholat Jumat sehingga bisa menikmati kuliner indonesia yang dijual untuk membiayai operasional masjid. Tiap tahun 4000 Euro harus dikumpulkan secara swadaya.
Foto: DW
Mengapa Warga Indonesia Berbeda?
Ketua IWKZ Dimas Abdirama menceritakan bahwa kegiatan di Masjid lebih berfokus sebagai ruang belajar bagi mahasiswa. "Dibandingkan pendatang lainnya, kita mempunya daya pikat kepada pemerintah Jerman yang membutuhkan banyak tenaga ahli," ujar ahli bioteknologi medis itu. Ada sekitar 4000 mahasiswa Indonesia studi di Jerman. Potensi ini menurut Dimas membuat orang Indonesia mudah diterima.
Foto: DW
Melihat Toleransi di Neukölln
Lewat program "Life of Muslims in Germany", 14 kaum intelektual muda Indonesia tidak hanya diajak berkenalan dengan Muslim Indonesia. Mereka juga diajak ke Neukölln untuk melihat bagaimana umat Muslim dari beragam aliran dapat hidup berdampingan. Masjid Al-Salam NBS milik aliran Sunni itu menurut Syekh Muhammad Thaha tidak hanya digunakan sebagai tempat keagamaan tapi juga kegiatan kemanusiaan.
Foto: DW/K. Salameh
Masjid yang Terbuka
Meski mayoritas umatnya adalah Sunni, namun menurut Syekh Thaha, masjid Al-Salam terbuka untuk seluruh jamaah, termasuk Syiah. "Kami tidak memaksakan ajaran tertentu, siapapun bisa datang ke masjid ini,"katanya. Masjid ini juga terbuka bagi seluruh warga Jerman yang ingin mengenal Islam atau warga imigran yang ingin belajar bahasa Arab.
Foto: DW
Alevi, Minoritas yang Mudah Diterima
Di Jerman, mayoritas umat Islam adalah Sunni (74%), namun di posisi ke dua ditempati kelompok asal Turki bernama Alevi (13%). Menurut Claudia Dette, pemandu perjalanan kami, Alevi kelompok yang paling mudah berintegrasi setelah Ahmadiyah. Rahasianya menurut Kadin Sahir adalah karena Syariah bagi Alevi adalah tunduk mengikuti konstitusi yang ada di negara di mana mereka berada.
Foto: DW
Masjid Dalam Gereja
Ibn-Ruysd Goethe, "Masjid Liberal" yang mengakui imam perempuan di Jerman dan terletak di gereja turut disambangi rombongan. "Masjid ini hadir sebagai bentuk protes atas paham ekstrimis di Jerman. Mereka menyebut diri liberal untuk memahami Islam pada konteks sekarang. Pada titik ini mungkin kita bisa sepakat dalam rangka mengaktualkan Islam," kata Ahmad Muttaqin, salah seorang peserta study trip.
Foto: Getty Images/S. Gallup
Menangkal Radikalisme Lewat Masjid
Sebanyak 50,6% 2,2 juta umat Islam di Jerman memiliki latar belakang keturunan Turki, itulah sebabnya di salah satu masjid terbesar milik warga Turki di Berlin, masjid Sehitlik, program yang ditawarkan lebih khusus lagi. Para peserta yang disambut Pinar Cetin, pemimpin Bahira menjelaskan organisasinya bertugas untuk melakuan konsultasi demi mencegah anak muda Muslim terhindar dari paham radikal.
Foto: DW
Mari Belajar Bersama
Tak melulu mengunjungi masjid. Peserta "Life of Muslims in Germany" juga singgah ke lembaga swadaya Morus14. Sebanyak 100 sukarelawan dari berbagai latar belakang budaya dan kelompok meluangkan waktunya mendampingi dan mengajar anak-anak berlatarbelakang imigran. Program seperti ini bertujuan untuk menanggulangi masalah integrasi yang kerap menjadi pekerjaan besar di Jerman.
Foto: DW
Merawat Ingatan
Beberapa museum yang dikunjungi terkait dengan Islam, namun di Museum The Story of Berlin, para peserta berkenalan dengan sejarah Jerman. Kisah Jerman Barat dan Timur serta diskirimasi di era NAZI jadi pengingat bagaimana perbedaan dapat memicu konflik. "Kita kerap melihat sejarah hal yang jauh dari kehidupan. Sementara bagi mereka sejarah hidup bersama kita sekarang," kata Heychael berkomentar.
Foto: DW
Mudah dan Nyaman
Selama berkeliling di Berlin, para peserta hilir mudik menggunakan beragam alat transportasi, seperti kereta bawah tanah. Jadwal yang teratur serta tempat yang nyaman menjadi pengalaman berbeda yang didapat bila dibandingkan dengan transportasi di tanah air. Tak sedikit yang terheran-heran ketika mengetahui sebagian besar tahanan di Berlin justru penumpanjg yang tertangkap tidak membeli tiket.
Foto: DW
Life of Muslims in Germany
Selama hampir 2 minggu, 14 intelektual muda Muslim Indonesia dari berbagai latar belakang komunitas Islam dan profesi di Indonesia tersebut diajak merasakan seperti apa kehidupan umat Muslim di Jerman. Lewat study trip "Life of Muslims in Germany" yang digagas Goethe Insitut Indonesia, peserta dapat mengenal kebijakan Jerman atas 4,7 juta warga Muslim yang hidup di negeri itu. (ts/rzn) Ed:ap