Kolaborasi Pemuda Indonesia demi Menyambut Bonus Demografi
15 November 2019
Fase bonus demografi ditandai dengan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk nonproduktif. Diperkirakan Indonesia akan menikmati bonus tersebut pada tahun 2020 hingga 2035 dan generasi muda menjadi kunci keberhasilan Indonesia dalam menyambut fase tersebut. Bagaimana tidak, menurut statistik pemuda Indonesia ditahun 2018, 1 dari 4 penduduk Indonesia adalah pemuda.
Namun, saat ini Indonesia menghadapi tantangan berat di tengah kondisi global yang kian tidak menentu. Perkembangan teknologi yang begitu cepat dan fenomena Revolusi Industri 4.0 mau tidak mau menuntut generasi muda untuk selalu meningkatkan skill dan keterampilan mereka. Di satu sisi, kualitas Pendidikan di Indonesia dirasa belum cukup dalam mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi fenomena tersebut.
Setiap pulang ke Indonesia, saya selalu sempatkan untuk berdiskusi dengan sesama anak-anak muda, dari berbagai latar belakang, yang tidak hanya di Jakarta, namun juga ketika saya berkunjung ke daerah lain. Di beberapa tempat saya temukan cukup banyak anak-anak muda yang masih asing dengan fenomena bonus demografi. Padahal kesadaran menyambut bonus demografi dirasa penting, di samping fenomena tersebut sudah didepan mata, kita sudah berada didepan gerbang Revolusi Industri, dimana generasi muda harus selalu meningkatkan skill dan keterampilan mereka.
Dalam satu survei nasional CSIS Indonesia di tahun 2017 tentang generasi milenial (17-29 tahun), ternyata generasi muda ini cenderung inward looking, yang berarti kurangnya pandangan generasi muda Indonesia dalam membaca tren global. Peran pemuda diaspora Indonesia di sini dirasa penting untuk sharing informasi juga pandangan terkait apa yang sedang terjadi di dunia luar dan dampaknya bagi Indonesia. Pandangan terkait bagaimana etos kerja dan budaya di negara-negara maju dunia yang dapat membuat mereka melaju sedemikian cepat juga menjadi hal yang menarik untuk dibagi kesesama generasi muda di Indonesia.
Di sini, saya merasakan betul bagaimana etos kerja anak muda Jerman yang bisa “membatasi” diri, kapan tahu waktu untuk belajar dan bermain. Etos kerja seperti ini yang membuat mereka menjadi produktif dalam berkarya. Dalam satu diskusi dengan beberapa teman-teman saya di sini misalnya, ketika menjelang masa pemilihan, saya hanya mendengar bagaimana mereka mendiskusikan program-program apa yang akan dijalankan partai yang mereka dukung. Jika semangat ini ditularkan kepada anak-anak muda di Indonesia, saya yakin bahwa hal ini akan membuat proses demokrasi kita menjadi lebih baik.
Dalam beberapa diskusi saya dengan teman-teman ini, mereka cukup terkejut dengan tema apa yang menjadi keresahan anak muda di Jerman sehingga mereka turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi. Isu perubahan iklim dan kehancuran lingkungan menjadi salah satuperhatian yang serius bagi anak muda di Jerman. Bagaimana sebuah gerakan dari seorang pelajar asal Swedia bernama Greta Thunberg yang memilih bolos sekolah setiap hari Jumat untuk menyampaikan keresahan terkait perubahan iklim, semangat gerakan “Fridays For Future” ini juga menyebar ke Jerman. Anak-anak muda ini menuntut pemerintah untuk lebih serius untuk melindungi Bumi dengan kebijakan yang ramah lingkungan, seperti menuntut penghentian penggunaan bahan bakar fosil dan beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan.
Menariknya, banyak dari teman-teman dalam diskusi saya yang mulai menyadari, ketika di negara-negara maju sudah mulai membahas isu-isu progresif seperti perubahan iklim, terkadang masih banyak kita jumpai di Indonesia perdebatan-perdebatan yang kurang produktif bahkan sampai mencederai rasa persatuan dan kebhinekaan. Sebaliknya, jika ingin berkarir di Indonesia, pemuda diaspora Indonesia perlu berkolaborasi dengan baik dengan Pemuda di Indonesia.
Saya ambil contoh dalam kasus pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Dalam berbagai kasus, proses birokrasi yang berbelit-belit terkadang membuat pengembangan energi terbarukan di Indonesia terhambat. Tentunya, pemuda di Indonesia tentu mempunyai pengalaman lebih dalam menghadapi birokrasi di Indonesia dan ini hal tersebut tentunya bisa sangat membantu bagi pemuda diaspora Indonesia. Dalam beberapa kesempatan ketika berdiskusi dengan teman-teman pemuda diaspora, saya selalu mengingatkan untuk terus berhubungan baik dengan teman-teman yang ada di Indonesia. Tinggal jauh dari Indonesia bukan berarti melupakan tali silaturahmi yang sudah terjalin baik.
Dengan fenomena ketimpangan yang masih cukup tinggi di Indonesia, kolaborasi antar pemuda bisa menjadi salah satu solusi untuk mengatasi hal tersebut. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2018, tingkat partisipasi sekolah hanya sekitar 26 juta dari 64 juta jiwa total jumlah pemuda Indonesia, atau hanya 40 persen dari total jumlah pemuda Indonesia yang mengikuti proses pendidikan di Indonesia tentunya karena berbagai faktor.
Sekarang tinggal bagaimana generasi muda yang beruntung dapat merasakan bangku pendidikan berkontribusi untuk membantu mencerdaskan generasi sesamanya yang belum beruntung. Hal ini bisa dilakukan dengan banyak hal, salah satunya dengan memanfaatkan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) dengan baik di desa. Tentunya ini perlu perencanaan yang jelas, agar kegiatan KKN yang dilakukan mahasiswa tidak hanya bermanfaat untuk pembangunan desa, namun juga menjadi satu media sharing informasi kepada pemuda di desa.
Pembentukan komunitas yang menyasar pemberdayaan pemuda juga dirasa akan menjadi solusi yang baik. Ketika pulang untuk berlibur, pemuda diaspora dapat juga membantu untuk sharing pengalaman mereka ketika menempuh pendidikan, sampai kepada informasi beasiswa untuk teman-teman di Indonesia. Pentingnya semangat berkolaborasi selalu saya sampaikan ketika berdiskusi dengan teman-teman pemuda di Indonesia.
Ketika berkunjung ke Universitas Negeri Jakarta (UNJ) misalnya, saya dan teman-teman aktivis mahasiswa di sana mencoba menginisiasi terbentuknya satu forum diskusi terbuka yang membahas tentang isu-isu kepemudaan. Menariknya, diskusi terbuka ini dihadiri oleh semua Organisasi Ekstra Kampus (OKP) di UNJ , yang terdiri dari PMII, GMNI, KAMMI, dan HMI, atau yang biasa dikenal dengan sebutan kelompok Cipayung Plus, juga saya dengan kapasitas sebagai Ketua Komisi Kepemudaan di PPI Dunia, sebagai pemateri diskusi tersebut. Dimana yang menjadi moderator dalam diskusi tersebut adalah perwakilan dari BEM UNJ. Melihat semangat kolaborasi dari berbagai elemen pemuda tersebut, bahkan Rektor UNJ, Bapak Dr. Komarudin M.Si, menyambut sangat baik dan hadir di acara tersebut.
Semangat kolaborasi dalam bentuk diskusi terbuka ini ternyata menghasilkan sebuah benang merah, hal-hal apa saja yang menjadi keresahan pemuda Indonesia, dan bagaimana sesama pemuda Indonesia berkolaborasi demi menyelesaikan permasalahan tersebut.
Ke depan saya berharap bahwa semangat kolaborasi positif ini terus menyebar keseluruh lapisan pemuda di Indonesia. Pemuda Indonesia harus bahu-membahu agar bonus demografi bisa termanfaatkan dengan baik. Seperti Yuval Noah Harari dalam buku nya, Homo Sapiens, salah satu alasan mengapa manusia bisa ada sampai saat ini adalah kemampuan mereka dalam berkolaborasi.
*Narendra Ning Ampeldenta, 22 tahun, Mahasiswa jurusan Interdiziplinäre Ingenieurwissenschaften (Ilmu Teknologi Interdisipliner) di Hochschule RheinMain Wiesbaden, Jerman. Selain berkuliah, Narendra aktif menjabat sebagai Ketua Komisi Kepemudaan PPI Dunia dan Ketua Badan Pengurus Kegiatan dan Keuangan PPI Jerman.
**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di luar negeri. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.