Kebangkitan faham radikalisme juga mulai mengubah pola pikir anak-anak, klaim Komnas HAM. Jika dibiarkan, masa depan keberagaman di Indonesia terancam.
Iklan
Sebuah video yang viral di media sosial dianggap menjadi peringatan buat masa depan keberagaman di Indonesia. Di dalamnya tiga bocah bertelanjang dada dan memegang senjata tajam meneriakkan ancaman terhadap PKI. "Kami santri cilik di Tanggerang, Banten, siap menjaga ulama!," pekik salah seorangnya sembari mengacungkan celurit.
"Nilai-nilai ekstremis semakin kuat di masyarakat, termasuk anak-anak," kata Sandrayati Moniaga, Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Eksternal. "Banyak orang yang melaporkan bahwa anak-anak menolak bermain bersama teman yang tidak seiman," imbuhnya kepada media dalam sebuah jumpa pers di Jakarta, Kamis (22/2).
Video serupa sempat mencuri perhatian publik ketika sekelompok bocah melakukan pawai obor di sela-sela Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 sambil meneriakkan "bunuh Ahok!"
Menurut Komnas HAM Indonesia sedang menghadapi "masalah serius" dalam bentuk menguatnya pandangan radikal di masyarakat, termasuk anak-anak. Terutama penyalahgunaan isu agama untuk kepentingan politik ditengarai sebagai akar permasalahan. Komnas HAM mengkhawatirkan, Pilkada serentak 2018 dan Pemilu Kepresidenan 2019 akan memperkuat intoleransi serupa Pilkada DKI.
Umat yang Terbelah: Pandangan Mayoritas Muslim Tentang Syariah dan Negara
Apakah Al-Quran dan Syariah Islam harus menjadi konstitusi di negara muslim? Inilah hasil jajak pendapat yang digelar Pew Research Centre di delapan negara sekuler berpenduduk mayoritas muslim
Foto: Ahmad Gharabli/AFP/Getty Images
Malaysia
Hasil jajak pendapat Pew Research Centre tahun 2015 silam mengungkap lebih dari separuh (52%) penduduk muslim Malaysia mendukung pandangan bahwa konstitusi negara harus mengikuti Syariah Islam secara menyeluruh. Sementara 17% mewakili pandangan yang lebih moderat, yakni ajaran Al-Quran hanya sebagai acuan tak resmi penyelenggaraan negara. Sisanya (17%) menolak pengaruh agama pada konstitusi.
Foto: Getty Images/M.Vatsyayana
Pakistan
Dari semua negara berpenduduk mayoritas muslim, Pakistan adalah yang paling gigih menyuarakan penerapan Syariah Islam sebagai konstitusi negara. Sebanyak 78% kaum muslim mendukung pandangan tersebut. Hanya 2% yang mendukung sekularisme dan menolak pengaruh agama dalam penyelenggaraan negara.
Foto: Reuters/P.Rossignol
Turki
Pengaruh Kemalisme pada masyarakat Turki masih kuat, kendati politik agama yang dilancarkan partai pemerintah AKP. Hanya sebanyak 13% kaum muslim yang mendukung Syariah Islam sebagai konstitusi, sementara mayoritas (38%) mewakili pandangan moderat, yakni Al-Quran sebagai acuan tak resmi. Uniknya 36% penduduk tetap setia pada pemisahan agama dan negara.
Foto: Getty Images/C. McGrath
Libanon
Mayoritas kaum muslim Libanon (42%) yang memiliki keragaman keyakinan paling kaya di dunia menolak pengaruh agama pada konstitusi. Adapun 37% penduduk mendukung Al-Quran sebagai acuan tak resmi penyelenggaraan negara. Hanya 15% yang menuntut penerapan Syariah Islam secara menyeluruh.
Foto: J.Eid/AFP/Getty Images
Indonesia
Hingga kini Indonesia masih berpedoman Pancasila. Tak heran jika 52% kaum muslim menolak penerapan menyeluruh Syariah Islam. Namun mereka mendukung pandangan bahwa prinsip Al-Quran harus tercerminkan dalam dasar negara. Sebanyak 22% penduduk menginginkan Syariah sebagai konstitusi dan 18% menolak pencampuran antara agama dan negara.
Foto: Getty Images/O. Siagian
Yordania
Penduduk muslim di Yordania tergolong yang paling konservatif di dunia. Sebanyak 54% menginginkan Syariah Islam sebagai landasan negara. Sementara 38% menolak Syariah, namun mendukung pandangan bahwa konstitusi tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran. Hanya 7% yang memihak Sekularisme sebagai prinsip dasar negara.
Foto: S. Samakie
Nigeria
Sebagian besar kaum muslim Nigeria (42%) lebih mendukung faham Sekularisme ketimbang Syariah Islam. Di negeri yang sering dilanda konflik agama itu hanya 22% yang mengingingkan Syariah Islam sebagai konstitusi. Sementara 17% mewakili pandangan moderat, dan puas pada konstitusi yang tidak melanggar hukum Islam.
Foto: DW/Stefanie Duckstein
Palestina
Tahun 2011 hanya 38% penduduk Palestina yang mendukung Syariah sebagai konstitusi, pada 2015 jumlahnya berlipatganda menjadi 65%. Sementara 23% mewakili pandangan yang lebih moderat terkait penerapan Syariah. Hanya 8% yang menolak agama mencampuri urusan negara. (rzn/hp - Pew Research Centre, Economist)
Foto: Reuters/I. A. Mustafa
8 foto1 | 8
"Dalam jangka panjang, negara kita menghadapi masalah besar dalam bentuk pandangan ekstremis yang diproduksi secara sistematis dan bisa dimanipulasi untuk kepentingan tertentu, tidak hanya pemilu", kata Sandrayati seperti dikutip Jakarta Post.
Menguatnya tendensi radikalisme di kalangan muda muslim juga dibuktikan oleh penelitian Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Meski baru berjumlah kecil, pengaruh ideologi ekstrim bisa ditemukan pada remaja dan anak-anak. "Kalaupun ada yang ekstremis, sikap seperti itu dianut mereka yang bergabung dengan kelompok jihadis," kata Koordinator Peneliti CSRC Chaider S Bamualim kepada Kompas.
Meskipun demikian, Chaidar meyakini sikap dasar kaum muda muslim Indonesia masih bersifat terbuka dan moderat.
Tanpa Sensor: Perempuan Muslim Berbicara Soal HAM
Dalam buku berjudul Usensurert (Tanpa Sensor) penulis dan wartawan Norwegia Birgitte C. Huitfeldt menunjukkan hidup perempuan Muslim dalam dunia Islam.
Foto: Nawal El Saadawi
Mendambakan Kebebasan di Mesir
Buku itu diawali dengan penuturan dokter perempuan asal Mesir Nawal El Saadawi, yang juga penulis dan aktivis hak perempuan. Es Saadai menjelaskan, mengapa perempuan di Timur Tengah belum berhasil dalam perjuangan mereka: "Dalam sistem patriarkal, imperial dan militer, perempuan tidak bisa bebas. Kami dikekang oleh kekuasaan bukan keadilan, oleh demokrasi palsu, bukan kebebasan."
Foto: Nawal El Saadawi
Psikolog Asal Suriah dalam Pengasingan
Pakar psikologi Rafah Nached ditangkap September 2011 di Damaskus, ketika ia ingin membantu demonstran anti Assad yang menderita trauma. Dua bulan kemudian ia dibebaskan. Ia kemudian tinggal di Paris dalam pengasingan. "Masyarakat Arab menolak perubahan, karena siapapun yang tidak sepaham dengan masa, dianggap ateis dan tidak normal", kata Rafah Nached dalam buku yang ditulis Huitfeldts.
Foto: Liberation
Demokrasi Adalah Kehendak Rakyat
Shirin Ebadi adalah pengacara asal Iran, yang berjuang bagi hak-hak perempuan, anak-anak dan pengungsi. Akibatnya, pemerintah dan polisi di Iran mengancam Ebadi. 2003 ia mendapat Nobel Perdamaian. "Bagi demokrasi tidak ada Barat dan Timur. Demokrasi adalah kehendak rakyat. Jadi saya tidak mengakui ide adanya model demokrasi yang berbeda-beda," katanya.
Foto: Shirin Ebadi
Perdamaian antara Israel dan Palestina
"Pendudukan adalah sifat pria, terutama pendudukan militer. Konflik antara Israel dan Palestina diakibatkan manusia, dan kita sebagai perempuan harus mengakhiri konflik itu," demikian dikatakan anggota parlemen Palestina, Hanan Ashrawi, yang juga aktivis dan ilmuwan. Ashrawi memberikan sumbangan penting bagi perdamaian Israel-Palestina.
Foto: Hanan Ashrawi
Rasa Takut Pria terhadap Perempuan di Yaman
Amal Basha adalah feminis asal Yaman. Dalam indeks PBB tentang kesetaraan antara perempuan dan pria, negaranya ada di posisi bawah. Hak perempuan Yaman di bidang ekonomi, sosial dan budaya dibatasi hukum Shariah. Penyebabnya? "Pria takut kepada perempuan, karena perempuan adalah suara kebebasan. Perempuan tidak tertarik untuk berperang, karena perempuan bukan pedagang senjata," kata Amal Basha.
Foto: Salzburg Global Seminar
Pembunuhan Kehormatan di Yordania
Di Yordania, aktivis HAM dan feminis serta wartawan penyelidik Rana Husseini menulis tentang kekerasan terhadap perempuan. "Masyarakat Yordania
menyalahkan perempuan untuk segalanya. Membiarkan diri diperkosa dan dilecehkan, karena lahirkan anak, karena seks yang tak memuaskan, juga kalau suami tidak setia. Daftarnya masih panjang lagi." Itu penjelasannya bagi pembunuhan dengan alasan kehormatan.
Foto: Rana Husseini
Secercah Harapan di Libya?
Untuk mengakhiri perang saudara yang terus berlangsung di Libya, pria dan perempuan harus mengubah sikap, demikian pendapat Hajer Sharief, staf PBB asal Libya. "Kalau orang menengok ke rumah-rumah, orang bisa melihat para ibu, yang mengirim putra mereka ke medan perang. Walaupun ibu itu sendiri tidak mengangkat senjata, mereka ikut mendorong spiral kekerasan di Libya." Penulis: Jan Tomes (ml/hp)