1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Komunisme di Timur Tengah dan Indonesia

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
27 November 2021

Lain ladang lain belalang, lain Indonesia lain pula negara-negara Timur Tengah dalam menyikapi komunisme dan pengikutnya. Ikuti opini Sumanto al Qurtuby.

Sebuah pisang tertempel di dinding dengan pita perekat, mirip dengan instalasi komedian Maurizio Cattelan di Art Basel. Köln, Jerman, 11.12.2019.Foto: Christoph Hardt/Future Image/imago images

Seperti di Indonesia, komunisme juga pernah tumbuh subur di berbagai negara di Timur Tengah sebelum diperangi Amerika Serikat sejak era Perang Dingin, sebuah era perang global-transnasional antara "blok kapitalis” Amerika melawan "blok komunis” Soviet. Bahkan di sejumlah negara (seperti Yaman), rezim komunis dulu pernah mendominasi dan mengontrol politik-pemerintahan.

Sama seperti di Indonesia, sejarah komunisme juga sudah sangat lama di Timur Tengah. Ideologi ini berkembang sejak awal 1920-an setelah Revolusi Bolshevik tahun 1917, sebuah revolusi politik di bawah pimpinan Vladimir Lenin yang berhasil menumbangkan kekuasaan para tsar sekaligus menandai berdirinya Uni Soviet. Kawasan yang menjadi titik tolak atau pusat awal persebaran komunisme di Timur Tengah adalah Mesir, Palestina, Irak, Suriah, Yordania, Lebanon, atau Iran.

Di Arab Saudi, komunisme berkembang belakangan sekitar 1940-an atau awal 1950-an. Sejumlah spesialis kajian Arab Saudi seperti Toby Matthiesen dan Kamel al-Khatti menduga perkembangan awal komunisme di negara-kerajaan ini diperkenalkan oleh para pekerja migran dari berbagai kawasan Arab Timur Tengah yang dulu direkrut oleh para pejabat Aramco, salah satu perusahaan minyak dan gas terbesar di dunia yang berpusat di Dhahran.

Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: S. al Qurtuby

Di antara yang populer dari para imigran Arab tersebut adalah Mahmoud al-Ahwani (aktivis komunis Mesir) dan Abdullah Noor Allah (aktivis komunis Yordania). Para aktivis berhaluan kiri tersebut kemudian mengorganisir serangkaian gerakan protes terhadap pejabat Aramco yang dulu menganakemaskan para pekerja kulit putih dari Eropa atau Amerika dan menganaktirikan pekerja Arab, termasuk Saudi, dalam segala hal: gaji, tunjangan, fasilitas, benefits, dlsb.

Sejak itu, sejumlah organisasi gerakan buruh pun dibentuk. Momentum ini kemudian dimanfaatkan oleh sejumlah aktivis dan pentolan politik untuk mendirikan sejumlah orpol berhaluan komunis atau sosialis seperti yang dilakukan oleh Abdulaziz al-Sunaid yang membentuk Organisasi Komunis Arab Saudi.

Adapun para pelopor awal komunisme di Timur Tengah, antara lain, Hussein al-Rahhal, Mahmud Husni al-Urabi, Radwa al-Hillu, Fuad al-Shamali, Yusuf Yazbak, Anton Marun, Joseph Rosenthal, dan masih banyak lagi. Mereka berasal dari berbagai agama: Islam, Kristen, Yahudi. Ada cukup banyak buku yang mengulas tentang sejarah komunisme di Timur Tengah ini, misalnya, The Communist Movement in the Arab World, The Communist Movement in Syria and Lebanon, The Communist Party in Sudan, dlsb.  

Di sejumlah negara di Timur Tengah, ideologi ini masih eksis dan beroperasi hingga kini meskipun sangat terbatas populasi, peran, dan gemanya. Sebagian lagi mengalami metamorfosa menjelma menjadi ormas, orpol, atau parpol dengan nama baru. Ada pula yang "merger” dengan parpol tertentu. Misalnya, Partai Komunis Palestina (al-Hizb al-Syuyu'i al-Falistin, dibentuk tahun 1923) yang kelak berganti nama menjadi Partai Rakyat Palestina dan ikut bergabung dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) untuk melawan rezim konservatif-ultranasionalis Israel.

Komunisme Bukan Hal yang Tabu

Menariknya, meskipun komunisme pernah tumbuh dan berkembang biak di Timur Tengah, sikap, persepsi, dan tindakan masyarakat (dan pemerintah) di kawasan ini terhadap ideologi komunisme beserta aktivis dan simpatisannya sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia.

Misalnya, tidak seperti di Indonesia, masyarakat di Timur Tengah sama sekali tidak memandang "tabu” (atau "momok”) terhadap komunisme. Mereka biasa-biasa saja menyikapinya dan sebagian masyarakat bahkan cenderung "cuek” atau tidak acuh terhadap komunisme.

Oleh karena itu jangan heran, kalau simbol-simbol komunisme (seperti gambar palu arit) bisa dengan mudah dijumpai dimana-mana. Bahkan bendera komunis juga biasa dikibarkan dalam momen-momen tertentu (misalnya saat protes di Palestina dan negara-negara lainnya). 

Sejumlah buku Karl Marx atau Friedrich Engels juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Misalnya, buku The Communist Manifesto diterjemahkan oleh Al-Afif al-Akhdar berjudul al-Bayan al-Syuyu'i. Kemudian "buku babon” Das Kapital (atau Capital: A Critique of Political Economy) juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Falah Abdul Jabbar menjadi Ra's al-Mal.

Sementara di Indonesia, sejumlah kelompok atau ormas Islam militan-konservatif justru melakukan sweeping toko buku–toko buku yang menjual atau menjajakan buku-buku yang mereka anggap sebagai "buku komunis”. Tidak cukup menggerebek, sebagian bahkan melakukan aksi pembakaran terhadap buku-buku itu. Saya dengar sekelompok elite politik dan petinggi negara juga mendukung "operasi” pembersihan buku-buku yang dianggap "berbau komunis”.

Saya sendiri berpendapat tindakan seperti ini sebetulnya tidak perlu, meskipun saya bukan penggemar ideologi komunisme yang sudah usang. Selain sia-sia dan berlawanan dengan spirit demokrasi, tindakan tersebut juga sangat bias.

Jika buku-buku komunisme dianggap berbahaya sehingga harus di-sweeping, apalagi buku-buku keagamaan yang mengajarkan radikalisme, kebencian, rasisme, etnosentrisme, intoleransi, jihadisme, antikeragaman, kontranasionalisme, dlsb. Tentu buku-buku jenis ini lebih berbahaya lagi karena bisa merusak akal sehat, hati nurani, dan generasi mendatang. Kenapa buku-buku tersebut tidak di-sweeping dari masjid, sekolah, universitas, atau kantor-kantor ormas dan lembaga dakwah tertentu?

Antara Komunisme dan Ateisme

Perbedaan mendasar lain adalah masyarakat dan pemerintah di negara-negara Timur Tengah sama sekali tidak menyamakan komunisme dengan ateisme. Mereka mengadopsi, meminjam, atau mengadaptasi komunisme semata-semata sebagai "ideologi gerakan politik-ekonomi tandingan” untuk melawan supremasi otoritas politik-ekonomi lokal yang berbeda-beda kasus dan variannya dari satu negara ke negara lain. Hal itu karena tantangan yang dihadapi kelompok komunis memang berbeda-beda di setiap negara. Tantangan kelompok komunis di Palestina tentu saja berbeda dengan di Yaman, Suriah, Yordania, Mesir, Irak, Arab Saudi dan seterusnya.    

Fenomena ini tentu saja sangat kontras dengan apa yang terjadi di Indonesia dimana masyarakat (termasuk sebagian elemen pemerintah dan elit politik), khususnya umat Islam (meskipun tentu saja tidak semuanya), cenderung menyamakan komunisme dengan ateisme. Dengan kata lain, menurut mereka, komunis = ateis.

Penyamaan komunisme dengan ateisme itu bisa jadi merupakan buah atau produk dari propaganda hitam terhadap kelompok komunis yang dulu dilakukan secara masif-terorganisir oleh Presiden Suharto dan rezim Orde Baru. Terbukti pada awal-awal perkembangan komunisme di Indonesia tahun 1920an, stigma "komunis adalah ateis” tersebut belum muncul.

Padahal, sebagai sebuah konsep, filosofi, dan sistem, komunisme jelas jauh berbeda dengan ateisme. Tidak seperti ateisme yang berkaitan dengan masalah seluk-beluk perdebatan tentang ada-tidaknya eksistensi ketuhanan, komunisme lebih pada urusan sosial-politik dan ekonomi. Ateisme adalah lawan dari teisme. Kaum ateis tidak menganggap ateisme sebagai sebuah agama atau "sistem kepercayaan” (belief system). Mereka biasanya mendefinisikan ateisme sebagai "a lack of belief in gods/dieties”, bukan "a disbelief in gods/dieties” atau "a denial of gods/dieties.”

Komunisme jelas lain. Ia adalah sebuah filosofi, idiologi, dan sekaligus gerakan sosial, politik, dan ekonomi yang bertujuan untuk menciptakan sebuah "masyarakat komunis,” yaitu masyarakat egaliter tanpa kelas (clasless society) baik dalam tatanan sosial-politik maupun akses sumber-sumber ekonomi. 

Bahwa pada perkembangannya kelak, ada orang-orang ateis yang bergabung di gerbong komunis memang ya. Orang ateis–sebagaimana umat teis–memang ada dimana-mana, bukan hanya monopoli komunis saja. Kaum ateis (lagi, sama seperti kaum teis) ada yang menjadi pendukung sosialisme, kapitalisme, nasionalisme, dan isme-isme yang lain.

Kaum ateis, baik yang ateis konservatif maupun ateis libertarian, juga banyak yang anti terhadap ideologi komunisme. Mengenai seluk-beluk sejarah dan perkembangan kontemporer kelompok komunis ini, silakan simak karya-karya Gary Marks, Seymour Lipset, Paul Buhle, atau Jeff Woods. Jadi, bahwa ada "komunis yang ateis” bukan berarti bahwa "komunis itu ateis”.

Tidak Dikucilkan

Hal lain yang membedakan adalah komunis tidak dikucilkan apalagi sampai diburu hingga "lubang tikus”. Para aktivis, eks fungsionaris, atau penggemar ideologi komunisme bisa menghirup nafas bebas dan mencari pekerjaan dengan leluasa sebagaimana kaum nonkomunis.

Beberapa tahun silam, ketika Saleh Mansour wafat, sejumlah media di Arab Saudi ramai-ramai menulis berita berjudul, "Wafatnya Tokoh Komunis Saudi Terakhir". Semasa hidupnya, almarhum dikenal sebagai seorang penulis produktif, kritikus budaya, dan aktivis sosial berhaluan kiri yang sangat fanatik. Ia dikenal sebagai salah satu intelektual Saudi yang memperkenalkan ide-ide Marxisme, komunisme, dan sosialisme di Arab Saudi kontemporer, serta dekat dengan "mendiang" Soviet dan jaringan Komunis Internasional. Kedekatannya dengan Soviet dan Komunis Internasional itu disimbolkan dengan dasi warna merah yang selalu ia pakai di aktivitas publik. Meskipun semasa hidupnya ia dikenal sebagai tokoh komunis fanatik, pemerintah tidak mengapa-apakannya. Fenomena atau kecenderungan ini bukan hanya di Arab Saudi saja tetapi juga di-seantero Timur Tengah.

Saya sendiri berpendapat menganggap komunisme sebagai sebuah ideologi yang berbahaya itu seperti mimpi di siang bolong. Komunisme sudah mati. Kalaupun bisa bangkit dan hidup lagi, komunisme susah laku di pasaran. Bahkan di negara-negara yang dulu menjadi pusat komunis, ideologi ini tidak laku. Rusia dan Cina kini menikmati ideologi gado-gado: "komunisme-kapitalisme”. Yang berbahaya saat ini bagi eksisten bangsa dan negara Indonesia itu bukan ideologi komunisme tetapi ideologi islamisme yang sejak beberapa tahun terakhir telah menggerogoti sendi-sendi kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan kita. 

 

Sumanto Al Qurtuby (Pendiri dan Direktur Nusantara Institute; Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals)

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

 

 

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait