1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Komunitas “Islam Kampung” versus Jamaah “Islam Kota”

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
29 Februari 2020

Tanpa bermaksud menggeneralisasi sebuah persoalan sosial, Sumanto al Qurtuby memperhatikan ada sejumlah perbedaan karakteristik yang cukup fundamental antara komunitas “Islam kampung” dan “Islam kota”.

Wujud toleransi beragamaFoto: Christina Rushartati

Tanpa bermaksud menggeneralisasi sebuah persoalan sosial, saya perhatikan memang ada sejumlah perbedaan karakteristik yang cukup fundamental antara komunitas "Islam kampung” dan "Islam kota”. Tentu saja dimana-mana selalu ada pengecualian, tidak selamanya sama dan seragam. Selalu ada warna-warni. 

Yang saya maksud dengan komunitas "Islam kampung” (rural Islam) disini adalah warga muslim yang tinggal di daerah pedesaan atau kawasan sub-urban yang relatif sepi dan jauh dari hingar-bingar dunia perkotaan. Sementara komunitas "Islam kota” (urban Islam) adalah kaum muslim yang tinggal di kawasan kota-kota besar metropolitan (seperti Jakarta dan sekitarnya) maupun kota-kota sedang (kota-kota provinsi dan kabupaten).    

Perbadaan Muslim Kampung dan Muslim Kota

Lalu, apa perbedaan mendasar antara komunitas "Islam kampung” dengan jamaah "Islam kota”?

Pertama, warga Islam kampung tampak lebih mementingkan persoalan membangun relasi sosial yang harmonis antar-kelompok etnis dan agama. Dalam upaya merawat–atau demi menjaga – kemajemukan itu, tak jarang mereka bersedia "mengorbankan” ke-ego-an, supremasi, dan identitas primordial keagamaan (atau etnisitas) mereka.

Warga muslim kampung cenderung berpikiran sederhana tapi memiliki makna yang dalam. Bagi mereka, dalam batas tertentu, membangun toleransi dan hubungan sosial yang harmonis antar-kelompok agama dan masyarakat jauh lebih utama ketimbang bersikukuh pada persoalan doktrin teologi dan tafsir keagamaan.

Fenomena ini tentu saja sangat kontras dengan sebagian kelompok "Islam kota”, apalagi yang model Salafi, yang cenderung saklek dalam berislam. Bagi komunitas "Islam kota”–khususnya yang puritan, doktrinal, dan ketauhid-tauhidan–tafsir atas teks dan ajaran agama (Islam) yang mereka pegang dan yakini jauh lebih utama ketimbang urusan membangun toleransi atau relasi sosial dan persaudaraan yang harmonis yang mereka anggap sebagai "urusan duniawi dan kemanusiaan” yang bersifat ad hoc dan sementara, bukan "urusan ukhrawi dan ketuhanan” yang bersifat kekal dan permanen.

Dengan kata lain, komunitas "Islam kampung” lebih menomorsatukan persoalan "ibadah sosial” ketimbang "ibadah individual” yang menjadi prioritas jamaah "Islam kota”.  

Kedua, komunitas "Islam kampung” tampak lebih rileks, lentur, dan fleksibel dalam beragama ketimbang jamaah Islam kota yang cenderung tegang, kaku, dan rigid. Mungkin saja perbedaan watak ini merupakan akibat atau dampak dari pemahaman dan praktik keagamaan mereka yang berlainan, yakni, seperti dijelaskan sebelumnya, warga Islam kampung lebih mendahulukan pembangunan hubungan sosial-kemasyarakatan yang baik dan harmoni sementara jamaah "Islam kota” lebih mengutamakan relasi individual-ketuhanan yang mereka klaim lebih "syar'i” dan "Islami”.

Perbedaan watak ini kemudian melahirkan karakteristik selanjutnya, ketiga, yang membedakan antara komunitas Islam kampung dengan jamaah Islam kota, yaitu muslim kampung cenderung lebih bersifat dan berperilaku toleran, inklusif, pluralis, dan tidak terlalu fanatik dalam beragama, sedangkan jamaah Islam kota cenderung lebih intoleran, eksklusif, tidak pluralis, dan fanatik dalam memandang, memahami, dan mempraktikkan keislaman.   

Tak bisa dipungkiri banyak kelompok jamaah "Islam kota” yang sejak beberapa tahun atau dekade terakhir ini terjangkit virus intoleransi, anti-pluralisme, overdosis fanatisme, dan sentimen berlebihan terhadap umat nonmuslim, wabil khusus "umat Yesus”. Padahal, banyak umat nonmuslim yang baik hati, damai, toleran dan penuh cinta kasih.

Gejala dan fenomena overdosis fanatisme, intoleransi, dan anti-pluralisme ini juga terjadi di kalangan nonmuslim, khususnya umat "Kristen kota” (apapun aliran, denominasi, dan gereja mereka) yang memiliki sentimen berlebihan terhadap "umat Muhammad.” Padahal, banyak umat Islam yang baik hati, damai dan toleran terhadap nonmuslim.

Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: DW/A. Purwaningsih

Belajar Toleransi dan Kerukunan dari Muslim Kampung di Magetan

Sekelumit contoh dari gambaran dan fenomena komunitas "Islam kampung” yang santai, fleksibel, toleran, pluralis, dan lebih mementingkan hubungan sosial-kemasyarakatan ("ibadah sosial”) yang harmonis seperti dijelaskan diatas ditunjukkan oleh warga muslim di sebuah desa di Magetan, Jawa Timur, seperti tampak di foto ini. Masih banyak contoh lain dari fenomena "Islam kampung” di Indonesia.  

Dalam foto tersebut, tampak warga "Islam kampung” di Magetan dengan suka-rela menghadiri acara selamatan (atau selametan), kenduri (atau kenduren), doa dan ceramah yang dipimpin oleh tokoh muslim setempat dalam rangka mengenang empat puluh hari wafatnya almarhum FX Dinarto (1931–2020), seorang sesepuh dan tokoh Katolik di desa tersebut yang sangat dihormati dan disegani oleh warga, baik Katolik maupun bukan (khususnya umat Islam, Protestan, dan Kejawen).

Menurut informasi dari "shahibul musibah” (orang yang sedang kesripahan atau berduka-cita dari keluarga almarhum), ada sekitar 200an warga muslim kampung dari desa almarhum dan tetangga yang diundang di acara itu, selain 50an umat Katolik dan Protestan di desa tersebut dan sekitarnya. Oleh warga setempat–baik Muslim maupun nonmuslim–almarhum, yang wafat di usia sekitar 90 tahun, dikenal sebagai tokoh Katolik baik hati, dermawan, dan toleran.

Bagi warga muslim kampung, tidak penting apakah doa yang mereka "hadiahkan” untuk almarhum yang nonmuslim pada acara selametan tersebut sampai atau tidak ke hadirat Tuhan karena memang itu bukan urusan mereka. Yang penting bagi mereka adalah bagaimana menjaga–orang Jawa bilang–"unggah-ungguh”, "tepo seliro”, etika bermasyarakat, harmoni sosial, dan persaudaraan di kampung. 

Semasa hidupnya, menurut warga kampung, almarhum menjadi "jujugan” atau tempat warga berkonsultasi dan bertukar pikiran. FX Dinarto, sebelum wafat, dikenal sebagai pribadi yang gemar membantu dan menolong warga yang kesusahan–baik bantuan nonmaterial maupun material (harta)–tak peduli apapun agama mereka, meskipun ia bukan tergolong orang kaya secara material. Pekerjaan terakhir almarhum adalah pemilik Sekolah Dasar Negeri di sebuah kecamatan di Magetan.

Tetapi memang membantu orang lain itu tidak membutuhkan "kekayaan material”. Yang dibutuhkan cuma "kekayaan hati.” Karena itulah mengapa banyak orang kaya harta, tapi lantaran hatinya miskin, mereka enggan mengulurkan bantuan. Tentu saja akan lebih baik lagi kalau ada orang kaya harta dan hati sekaligus. Tapi yang seperti ini tergolong makhluk langka di dunia ini yang nyaris punah. Yang menggurita di Indonesia dan dunia manapun itu adalah orang yang miskin harta dan miskin hati.

Bukan hanya dermawan, almarhum juga seorang pendidik pluralis. Meskipun sebagai pendiri atau inisiator Sekolah Menengah Pertama Katolik di daerahnya, almarhum bukan hanya mendidik anak-anak Katolik.

Semasa hidupnya ia gemar menjadi "ayah angkat” untuk anak-anak yang berasal dari keluarga tak mampu atau anak-anak yatim dan/atau piatu–apapun agama mereka–guna merawat dan menyekolahkan mereka sampai mampu "berjalan sendiri” menghadapi terjalnya kehidupan.

Almarhum lakukan itu tanpa pamrih dan tanpa memilah-milih latar belakang etnis dan agama. Kelak, anak-anak pun dibiarkan tumbuh menjadi muslim, Katolik, atau Protestan, terserah pilihan mereka masing-masing. Spirit pluralisme ini diajarkan dan diwariskan ke anak-anaknya.

Selain pendidik dan dermawan, almarhum juga dikenal sangat toleran dalam beragama. Meskipun seorang Katolik yang taat, ia biarkan anak-anak tumbuh-berkembang sesuai dengan keyakinan masing-masing tanpa ada paksaan. Ia juga biarkan anak-anaknya menjalin rumah tangga dengan suami/istri dari agama-agama lain. Istri almarhum sendiri (yang juga sudah menjadi almarhumah) juga bukan Katolik, melainkan Protestan. Kita mafhum, seperti Sunni-Syiah, Katolik-Protestan juga susah berdamai apalagi dalam urusan pernikahan yang dipandang sakral. Hanya orang toleran-pluralis sejati yang mau menerima "pernikahan silang” seperti ini.

Kenapa almarhum tumbuh menjadi pribadi Katolik-Jawa yang toleran dan dermawan, melintasi batas-batas dan sekat-sekat primordial etnis dan agama?

Karena beliau teguh dalam berpendirian sebagai umat Katolik-Jawa yang harus mampu menggarami dan memberi manfaat bagi semua umat manusia. Seperti wejangannya, seperti disampaikan oleh putri almarhum, "Awake dewe iki wong Katulik,  awake dewe iki wong Jowo. Wong Katulik sing Njawani. Ojo sampek ilang jati dirine. Awake dewe iki dadi uyahing ndonya, kudu migunani kanggo sesama".

Demikian salah satu ujaran dan ajaran luhur almarhum yang perlu kita teladani bersama. Mungkin karena kebaikan, watak, dan sikap almarhum yang dermawan, toleran, dan penuh cinta kasih itulah yang mendorong kenapa banyak warga muslim kampung di sebuah desa di Magetan tersebut yang menghormati dan turut mendoakan almarhum agar "khusnul khotimah” dan damai di alam baka.

Semoga spirit toleransi, pluralisme, dan kebersamaan yang dicontohkan warga "Islam kampung” bisa menulari dan menjadi pelajaran berharga bagi jamaah "Islam kota.”

 

Penulis:


Sumanto Al Qurtuby adalah Direktur Nusantara Institute; dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi; Visiting Senior Scholar di National University of Singapore, dan kontributor di Middle East Institute, Washington, D.C. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University. Selama menekuni karir akademis, ia telah menerima fellowship dari berbagai institusi riset dan pendidikan seperti National Science Foundation; Earhart Foundation; the Institute on Culture, Religion and World Affairs; the Institute for the Study of Muslim Societies and Civilization; Oxford Center for Islamic Studies, Kyoto University’s Center for Southeast Asian Studies, University of Notre Dame’s Kroc Institute for International Peace Studies; Mennonite Central Committee; National University of Singapore’s Middle East Institute, dlsb. Sumanto telah menulis lebih dari 25 buku, puluhan artikel ilmiah, dan ratusan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Di antara jurnal ilmiah yang menerbitkan artikel-artikelnya, antara lain, Asian Journal of Social Science, International Journal of Asian Studies, Asian Perspective, Islam and Christian-Muslim Relations, Southeast Asian Studies, dlsb. Di antara buku-bukunya, antara lain, Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London: Routledge, 2016) dan Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam (London & New York: I.B. Tauris & Bloomsbury).

 

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Tulis komentar Anda di  kolom di bawah ini.