Sebanyak 28 negara dan organisasi internasional berunding di Paris buat menghidupkan kembali perundingan damai Israel dan Palestina. Uniknya perwakilan kedua negara tidak diundang.
Iklan
Sejak pecahnya perang saudara di Suriah dan krisis pengunsi di Eropa, konflik Israel dan Palestina absen dari panggung internasional. Kini sebuah konferensi di Paris berupaya menghidupkan kembali perundingan damai antara kedua negara.
Sebanyak 28 negara dan organisasi internasional diundang ke Paris, Jumat (03/06), atas permintaan pemerintah Perancis. Termasuk di antara yang hadir adalah Menteri Luar Negeri AS, John Kerry, Sekretaris Jendral PBB Ban Ki Moon dan Utusan Khusus Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini.
Konferensi tersebut bakal membahas hambatan diplomasi yang menyulitkan negosiasi kedua pihak. "Saat ini jika kita undang utusan Palestina dan Israel untuk duduk di satu meja, diskusinya cuma akan berlangsung kurang dari lima menit," tutur Menteri Luar Negeri Perancis, Jean-Marc Acrault.
Negosiasi langsung, katanya, tidak akan berhasil. Ironisnya Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu justru mengungkap sebaliknya. "Jika negara-negara yang bertemu di Paris serius menginginkan damai, mereka harus bergabung dengan saya mengajak Abu Mazen untuk datang ke negosiasi langsung," ujarnya menyebut nama panggilan Presiden Palestina, Mahmud Abbas.
Konferensi Paris ingin mengembalikan inisatif damai Arab Saudi 2002 ke meja perundingan. Insiatif tersebut mencakup kesediaan negara-negara Arab mengakui kedaulatan Israel. Sebagai gantinya Israel harus menarik pasukannya dari wilayah pendudukan 1967 dan membantu pembentukan negara Palestina.
Gagasan tersebut sempat diabaikan oleh Israel. Tapi Senin (30/6) Netanyahu mengisyaratkan perubahan sikap. Menurutnya inisatif damai Saudi "mengandung elemen-elemen positif yang bisa membantu menghidupkan kembali negosiasi konstruktif dengan Palestina."
Pemerintah Perancis berambisi memfasilitasi perundingan damai langsung antara Palestina dan Israel selambatnya akhir tahun ini.
Luka Palestina di Hari Nakba
Ketika Israel merayakan kemerdekaan, warga Palestina meratapi hari pengusiran. Perang Arab-Israel 1948 yang dikobarkan demi Palestina, menyusut menjadi konflik kepentingan para raja yang dimabuk ambisi teritorial
Resolusi Berujung Perang
Pada 29 November 1947 Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakhiri pendudukan Inggris atas Palestina dan menelurkan Resolusi 181 untuk membagi wilayah tersebut menjadi dua. Dalam sidang umum PBB itu Israel mendapat sebagian wilayah Palestina. Rencana itu diterima oleh kaum Yahudi, tapi ditolak oleh negara-negara Arab. Sikap tersebut kemudian terbukti fatal.
Foto: public domain
Tanah Harapan
Didorong oleh Holocaust dan Perang Dunia II di Eropa, warga Yahudi berduyun-duyun bermigrasi ke Palestina. Sebagian besar mengungsi secara ilegal dengan melanggar kuota tahunan yang ditetapkan pemerintah Inggris. Hingga 1947 sekitar 110.000 warga Yahudi telah menempati pemukiman-pemukiman di Palestina. Resolusi 181 akhirnya membuat konflik mustahil terbendung
Foto: public domain
Perlawanan Arab
Sehari setelah resolusi 181, kelompok militan Arab melancarkan serangan terhadap pemukiman Yahudi. Aksi protes bermunculan di komunitas-komunitas Arab dan pembunuhan menjadi hal lumrah. Konflik memuncak ketika Tentara Pembebasan Arab yang dipimpin Abdul Qadir al Husaini datang dari Mesir untuk membantu perjuangan Arab Palestina.
Senjata Tua Yahudi
Menanggapi agresi militer Arab, komunitas Yahudi yang dipimpin David Ben Gurion lalu mempersenjatai diri dan melatih gerilayawan tempur. Saat itu warga Yahudi sudah memiliki sayap militer, antara lain Lehi, Irgun dan Haganah yang kemudian bergabung menjadi Tentara Pertahanan Israel (IDF). Kendati begitu kekuatan tempur Israel saat itu masih bergantung pada senapan tua bekas Perang Dunia II
Maut di Deir Yassin
Tanggal 9 April 1948 sekitar 120 gerilayawan Irgun dan Lehi menyerang desa Deir Yassin dan membantai 107 penduduk, termasuk perempuan dan anak-anak. Desa Arab berpenduduk 600 orang itu sebenarnya sudah tandatangani pakta non agresi. Namun Deir Yassin dianggap punya nilai strategis. Sejak pembantaian tersebut, negara-negara Arab tersulut oleh amarah rakyat dan dipaksa untuk memulai invasi
Foto: public domain
Kemerdekaan Negara Yahudi
Pertengahan Mei 1948 perang saudara antara Arab dan Yahudi menjelma menjadi perang kemerdekaan ketika David Ben Gurion mendeklarasikan berdirinya negara Israel. Amerika Serikat dan Rusia segera mengakui kedaulatan negara Yahudi tersebut. Sebaliknya Liga Arab bereaksi keras dan melancarkan invasi dengan menggabungkan pasukan dari Irak, Suriah, Mesir dan Yordania.
Foto: dapd
Ambisi Teritorial Arab
Kendati memiliki kekuatan militer yang lebih mapan, pasukan Arab terpecah oleh kepentingan penguasanya. Raja Abdullah I dari Yordania (gambar) misalnya padukan kepentingan dengan Israel demi menduduki Tepi Barat Yordan. Sebaliknya Raja Farouk dari Mesir ingin menguasai wilayah selatan Palestina, antara lain Jalur Gaza. Ambisi teritorial juga dimiliki negara lain seperti Suriah.
Foto: gemeinfrei
Belanja Senjata di Masa Damai
Sempat keteteran di awal invasi Arab, Israel memanfaatkan gencatan senjata selama 28 hari untuk memperkuat diri. Mengandalkan dana sumbangan, Haganah menyeludupkan senjata dari Cekolsovakia, antara lain senapan serbu, amunisi dan pesawat tempur Avia S-199. Di akhir masa damai Israel menggandakan kekuatan tempurnya menjadi 65.000 serdadu dengan sistem alutsista termutakhir.
Foto: gemeinfrei
Damai Bertukar Kuasa
Setelah keberhasilan invasi, pasukan Arab berhenti memerangi Israel dan sibuk saling serang satu sama lain, tutur sejahrawan Suriah Sami Moubayed. Buruknya struktur militer dan minimnya transparansi membuat kekuatan Arab menjadi tumpul. Setelah lebih dari lima bulan pertempuran, Mesir sepakat berdamai dengan iming-iming mendapat Jalur Gaza dan Yordania mendapat Tepi Barat.
Foto: gemeinfrei
Bencana di Palestina
Pertempuran akhirnya memaksa 700.000 penduduk Palestina mengungsi. Peristiwa tersebut dikenang dalam sejarah Palestina sebagai hari Nakba atau bencana. Di bulan-bulan terakhir perang, pasukan Israel terutama membidik kota dan desa Arab untuk mengusir warga sipil yang tinggal di sana. Sejarahwan mencatat, setelah perang, Israel kuasai 22% wilayah Palestina yang disepakati dalam resolusi 181 PBB