1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Konferensi Iklim di Potsdam: "Karena Tahu, Kita Bertindak"

22 Oktober 2008

Perubahan iklim membutuhkan langkah yang lebih mendalam dari krisis moneter, sehingga terus ditunda-tunda. Hal itu disadari oleh para pakar yang hadir dalam konferensi iklim di Potsdam.

Direktur Lembaga Riset Iklim di Potsdam Prof. Hans-Joachim Schellnhuber (kiri) bersama Menteri Lingkungan Jerman Sigmar Gabriel.Foto: picture alliance/dpa

Laporan yang ada sebenarnya dramatis. Belum pernah suhu di Kutub Utara di musim gugur ini sepanas sekarang ini. Suhu rata-rata sudah lima derajat lebih tinggi dari biasanya. Gunung es yang mencair pun bertambah banyak. Kapal riset Jerman "Polarstern" (bintang kutub), minggu lalu dapat meneliti bagian-bagian yang selama ini tertutup es. Tetapi semua laporan yang mengejutkan itu tertutup oleh laporan-laporan dari bursa.

Tidak ada penerima hadiah Nobel, tidak ada kanselir maupun resepsi meriah di Istana Sanssouci, Potsdam. Pada tahun 2007 yang merupakan "Tahun Iklim" terdapat sejumlah tamu kehormatan, di antaranya 15 penerima Hadiah Nobel. Tapi tahun ini para pakar bersikap sederhana. Masalahnya, musim gugur 2008 diwarnai dengan krisis keuangan. Konferensi Iklim untuk ketiga kalinya di kota Potsdam hanya dihadiri oleh para pakar.

Direktur Lembaga Riset Iklim di Potsdam Prof. Hans-Joachim Schellnhuber mengemukakan: "Tentunya fatal bila dikatakan: "mau apa lagi, ada krisis keuangan dengan segala dampaknya, jadi perlindungan iklim kita tangguhkan saja 10 tahun lagi. Nah 10 tahun itulah yang nantinya kurang untuk mencegah terjadinya perubahan iklim."

Hans Joachim Schellnhuber merupakan peneliti iklim terkenal di Jerman. Sejak puluhan tahun dia memperingatkan tentang pemanasan bumi. Tetapi walaupun masalah tersebut mendapat perhatian besar, data-data yang dikumpulkan tahun ini, menunjukkan keadaan yang lebih buruk lagi dari tahun lalu. Kata Prof. Schellnhuber selanjutnya: "Semua indikasi lingkungan menunjukkan, krisis ini bukan berkurang, melainkan justru melaju. Emisi gas rumah kaca di atmosfir bertambah. Mencairnya es di Greenland dan gletser di Himalaya semakin cepat. Semua pertanda terpampang. Tetapi membaca dan memahaminya harus kita lakukan sendiri."

Oleh sebab itulah konferensi tahun ini diselenggarakan dengan motto "Karena Tahu, Kita Bertindak". Sebab banyak keputusan yang baik telah diambil, tetapi sangat sedikit yang dilaksanakan. Misalnya dengan paket perlindungan iklim, ke-27 negara Uni Eropa hendak mengurangi seperlima emisi gas rumah kaca sampai tahun 2020. Paket itu rencananya akan disahkan tahun ini juga, agar menarik Amerika Serikat dan Cina sebagai pencemar udara terbesar, untuk ikut dalam perjanjian perlindungan iklim sedunia.

Tetapi minggu ini para menteri Uni Eropa kembali terlibat silang pendapat mengenai pembagian beban. Dalam hal ini Jerman pun sepertinya tidak lagi menjadi pelopor perlindungan iklim. Demikian keluh Stefan Lechtenböhmer dari Lembaga Iklim, Lingkungan dan Energi di kota Wuppertal. Dijelaskannya: "Di satu pihak Jerman berperan dalam menetapkan sasaran di tingkat UE, tahun lalu. Tetapi dalam pelaksanaannya, banyak pihak yang memperjuangkan kepentingannya sendiri. Jadi Jerman pun sedang menunjukkan sikap memblokir dalam realisasi paket tersebut."

Misalnya Jerman menuntut pengecualian untuk sektor industri yang membutuhkan banyak energi, seperti baja dan semen. Dalam persaingan global yang ketat, perusahaan-perusahaan itu tidak mampu bertahan bila harus memenuhi ketentuan yang tercantum dalam paket perlindungan iklim. Jadi para pakar tidak yakin akan ada terobosan dalam waktu singkat. Padahal Professor Hans-Joachim Schellnhuber adalah juga penasehat Kanselir Merkel dalam masalah iklim. Direktur Lembaga Riset Iklim di Potsdam itu memperkirakan, masih akan diperlukan 20 tahun lagi sampai masalah perubahan iklim benar-benar disadari. Mungkin Perjanjian Iklim Dunia akan terwujud tahun 2028. Tahun depan para menteri dan kepala negara akan bertemu di Kopenhagen dalam KTT Iklim dunia berikutnya. (dgl)