1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Konferensi Keamanan München: Belajar dari Konflik Ukraina

William Noah Glucroft
16 Februari 2023

Konferensi Keamanan München (MSC) 2023 diadakan satu tahun sejak invasi Rusia ke Ukraina. Pelajaran apa yang bisa ditarik dari konflik itu dalam upaya membangun keamanan dan perdamaian dunia?

Konferensi Keamanan München MSC
Konferensi Keamanan München MSCFoto: Ina Fassbender/AFP/Getty Images

Konferensi Keamanan München (MSC) akan berlangsung di tengah masa-masa sulit. Invasi Rusia ke Ukraina merupakan pukulan bagi wacana yang diusung MSC, yakni "berkontribusi pada penyelesaian konflik secara damai."

Tahun lalu, para peserta konferensi tahunan itu baru saja pulang dari konferensi kemanan di München, ketika Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan invasi ke Ukraina dalam skala besar-besaran.

Perang tidak hanya menghancurkan kota-kota di Ukraina, menyebabkan ribuan orang tewas, tetapi juga mengguncang situasi keamanan di Eropa. Karena itu, tema utama MSC tahun ini adalah menavigasi realitas baru ini dan meninjau kembali "garis-garis kesalahan" global dalam upaya membangun perdamaian dan keamanan. Dalam pandangan Ketua MSC Christoph Heusgen, ancaman besar yang muncul begitu cepat di Eropa adalah adalah alasan untuk mengintensifkan dialog.

Para pemimpin negara demokrasi Barat di KTT G20 BaliFoto: Steffen Hebestre/Bundesregierung/dpa/picture alliance

Ukraina: Tragedi dan studi kasus

"Perang Rusia di Ukraina adalah serangan paling brutal terhadap tatanan berbasis aturan," tulisnya dalam Laporan Keamanan München yang dirilis pada hari Senin (13/02). Laporan itu akan menjadi kerangka kerja untuk konferensi tatap muka yang akan dibuka pada hari Jumat (17/02) dan berakhir pada hari Minggu (19/02).

Laporan setebal 176 halaman itu membahas perang di Ukraina, tetapi tidak melihatnya sebagai suatu peristiwa yang terisolasi. MSC justru akan mencoba mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih luas tentang dinamika kekuatan dan keamanan dalam komunitas internasional.

Bagi Christoph Heusgen, keamanan global secara intrinsik terkait dengan kemakmuran ekonomi, perubahan iklim, konflik kepentingan nasional, dan perasaan bahwa ada kesenjangan besar dalam tatanan dunia, yang "aturan"-nya tidak selalu berlaku sama untuk semua orang.

"Jika kita tidak mengatasi kebencian yang dirasakan negara-negara di Afrika, Amerika Latin, dan Asia terhadap tatanan internasional, yang tidak selalu melayani kepentingan mereka,” tulisnya dalam laporan itu, maka negara-negara demokrasi Barat harus berjuang keras mencari sekutu di bagian dunia lain demi mempertahankan aturan dan prinsip-prinsip utama hubungan internasional.

Pertemuan virtual negara-negara BRICS, 2021Foto: BRICS Press Information Bureau/AP/picture alliance

Banyak benturan kepentingan dan defisit kepercayaan

Laporan tersebut mencoba menunjukkan apa yang menjadi dasar invasi Rusia ke Ukraina. Mengapa banyak negara di luar lingkungan negara industri kaya yang ragu mendukung Ukraina dan mengutuk serangan Rusia? Pelajaran apa yang dapat dipetik dari konflik itu menghadapi meningkatnya ketegangan antara Amerika Serikat dan Cina di kawasan Indo-Pasifik?

Memang boleh dikatakan, sebagian besar mengecam tindakan Rusia. Namun, banyak juga negara-negara yang bersikap netral, seperti India, atau bahkan condong mendukung posisi Rusia, seperti Cina. Bagaimana pemerintahan memutuskan ke mana harus memberikan dukungan mereka? Apa saja kepentingan kompleks yang memainkan peranan?

"Kami mungkin tidak benar-benar mendukung, katakanlah, resolusi Dewan Keamanan PBB, tetapi itu tidak berarti bahwa kami mendukung Rusia,” kata Gaurav Sharma, analis keamanan India yang saat ini bekerja di Academy of International Affairs di Bonn, kepada DW. "Ketika orang abstain, itu dianggap sebagai dukungan tidak langsung. Tapi sebenarnya tidak."

India, yang bangga dengan sejarah non-bloknya dan menyebut dirinya sebagai negara demokrasi terbesar di dunia, memandang Rusia bukan sebagai sekutu, melainkan lebih sebagai "mitra strategis", kata Gaurav Sharma. Kedua negara sudah lama terlibat dalam kerja sama pertahanan dan transfer teknologi. Sedangkan AS memiliki sejarah panjang mendukung Pakistan, musuh bebuyutan India.

"Kami tidak pernah percaya, dan saya pikir tidak ada yang harus percaya, pada Amerika Serikat. Dan itu penting," kata Gaurav Sharma. "Kami memiliki defisit kepercayaan yang sangat besar." Membangun kepercayaan akan membutuhkan waktu lama, tambahnya.

Kesempatan untuk memikirkan ulang geopolitik

"Itu adalah peringatan yang cukup lantang untuk komunitas Barat, menyadari setelah invasi Rusia ke Ukraina bahwa tidak semua negara akan langsung mengecam Rusia,” kata Liana Fix, anggota Dewan Hubungan Luar Negeri di Washington, D.C., kepada DW. "Ini tidak didasarkan pada sentimen pro-Rusia ... tapi ini semacam mentalitas anti-Barat."

"Tanggapan langsung Barat terhadap perang di Ukraina tentu saja tidak membantu," demikian disebutkan dalam Laporan Keamanan München. "Alih-alih membantu negara-negara dalam mengatasi lonjakan harga pangan dan energi, Barat menegur mereka karena tidak menunjukkan solidaritas yang cukup dengan Kyiv."

"Penyeimbangan kembali hubungan ekonomi semacam itu mungkin merupakan sesuatu yang lebih berarti, daripada sekedar inisiatif diplomatik dan kunjungan-kunjungan," kata Liana Fix.

Itu berlaku tidak hanya untuk upaya Barat untuk mengalahkan Rusia di Ukraina, tetapi juga keinginan Barat untuk meredam dominasi Cina di Pasifik. AS dan Barat akan membutuhkan dukungan negara-negara non-Barat, seperti negara-negara pulau kecil yang tersebar di Pasifik, yang telah lama diabaikannya.

"Untuk pertama kalinya, negara-negara Barat perlu mengandalkan negara-negara 'Global South',” kata Liana Fix. "Untuk pertama kalinya, negara-negara tersebut dapat menggunakan pengaruh yang mereka miliki terhadap Barat."

(hp/ha)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait