1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Konferensi Libanon Tanpa Hasil

27 Juli 2006

Konferensi Libanon yang digelar di kota Roma mencoba menyatukan sikap dunia internasional terhadap situasi di Timur Tengah. Tapi perbedaan pandangan politik kembali menjadi batu sandungan.

Konferensi Libanon di Roma
Konferensi Libanon di RomaFoto: AP

Beirut kembali tenggelam di bawah hujan bom Israel dalam asap hitam dan reruntuhan. Pun ketakutan terhadap serangan rudal Kathuja milik Hizbullah terus menghantui penduduk Haiva. Sampai detik ini, Israel belum lagi tergerak untuk menempuh jalur diplomasi guna melucuti milisi Hizbullah. Sementara pada waktu yang bersamaan, jauh dari Libanon yang luluh lantak, sejumlah negara berkumpul di Roma untuk mencari solusi atas konflik di Timur Tengah. Sebuah pertemuan, yang menurut harian Perancis La Croix, terbelah dalam kepentingan politik antara Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa. Harian ini menulis:

“Hipotesa paling tajam yang dapat dihasilkan dalam pertemuan di Roma adalah desakan untuk segera menyepakati gencatan senjata. Setidaknya begitulah harapan sekjen PBB Koffi Annan. Akan tetapi peta jalan damai yang diimpikan Annan itu terbentur oleh perbedaan antara Amerika, yang ingin membiarkan Israel melucuti Hizbullah, dengan sejumlah negara Eropa yang menuntut segera dihentikannya serangan membabi buta Israel. Ketika seruan gencatan senjata sedang gencar-gencarnya diteriakkan, dunia internasional justru berjalan tertatih-tatih. Dan kelumpuhan ini dimanfaatkan oleh kedua pihak yang bertikai untuk terus melampiaskan kemarahannya dan berusaha menghancurkan satu sama lain. Tidak dapat diperkirakan. Apakah besok kengerian ini bisa diakhiri.”

Sementara harian Perancis lainnya, Liberation yang berhaluan liberal kiri menulis, ketika sorotan mengarah ke Libanon, Jalur Gaza tetap bermandikan darah. Lebih lanjut harian ini menulis:

“Tidak seorang pun pernah berilusi, bahwa seekor tikus mampu menembus gunung. Tapi itulah kenyataan yang terjadi pada pertemuan tingkat tinggi di Roma. Para Jendral di Israel betul-betul memahami, di balik sikap membisu Amerika, tersimpan dukungan kuat terhadap pemerintahan Ehud Olmert. Dan mereka bisa mengandalkannya. Bagi Israel, dukungan itu hanya membawa satu pesan penting, bahwa mereka tidak perlu terburu-buru menempuh jalur diplomasi dalam konfliknya dengan Hizbullah dan Hamas. Kegagalan pertemuan di Roma, di mana Israel tidak diundang, telah mencabut belenggu dari tangan Israel. Desakan dunia internasional untuk segera menghentikan invasi, sepertinya tidak lagi berkesan bagi pemerintah di Yerusalem. Ketika semua mata tertuju ke arah Libanon, sebuah perang berdarah sedang berkecamuk di jalur Gaza. Dan kondisi kemanusiaan di sana tidak jauh lebih baik.”

Sedangkan harian berhaluan liberal lainnya yang berasal dari Jerman, Süddeutsche Zeitung dalam komentarnya menulis, perdamaian hanya dapat dicapai dengan menempuh jalan berliku. Harian yang terbit di München ini menulis:

“Milisi bersenjata Hizbullah adalah mimpi buruk bagi stabilitas politik Libanon. Karena mereka telah membuat negara berpenduduk lebih dari tiga juta manusia ini menjadi sandra Suriah dan Iran. Dua negara yang selama ini berdiri di belakang Hizbullah. Siapapun yang menginginkan perdamaian, harus rela menempuh jalan berliku. Sebuah perjalanan, yang menurut Koffi Annan, mau tak mau harus menyinggahi Damaskus dan Teheran. Timur Tengah selama ini tidak pernah mengenal kata memberi tanpa menerima sesuatu sebagai imbalan. Oleh karena itu dunia internasional harus mendesak Israel agar mau menggelar perundingan damai dengan Palestina. Sedangkan dengan Suriah, Israel harus mengangkat tema pengembalian dataran tinggi Golan sebagai agenda utama pembicaraan. Melalui langkah ini, semua pihak dapat menjamin keamanan yang diidam-idamkan. Sayangnya, pendekatan semacam itu bertolak belakang dengan keinginan Israel.”