1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Konferensi WTO dan Pertemuan Puncak Uni Eropa

20 Desember 2005

Tema utama sorotan harian-harian internasional adalah pertemuan puncak Uni Eropa dan konferensi WTO. Kedua konferensi puncak ini, kembali menunjukkan amat tipisnya solidaritas di semua lini.

Kertua Komisi Eropa Jose Manuel Barroso dan Kanselir Angela Merkel saat menghadiri pertemuan puncak Uni Eropa
Kertua Komisi Eropa Jose Manuel Barroso dan Kanselir Angela Merkel saat menghadiri pertemuan puncak Uni EropaFoto: AP

Keduanya dinilai hanya mampu mencapai kompromi minimal. Harian ekonomi Perancis La Tribune yang terbit di Paris menulis komentar, sekali lagi egoisme yang menjadi pemenang.

"Perundingan yang berlangsung amat alot dan kadang-kadang diwarnai kata-kata tajam di Brussel, pada akhirnya hanya menghasilkan posisi politik yang sulit dimengerti orang awam. Di ujung lain dunia, yakni di Hong Kong, kelompok negara tertentu, dengan berlatar belakang egoisme, melancarkan perundingan habis-habisan, yang mencegah dapat terwujudnya harapan dua miliar manusia yang menderita. Sekali waktu, solidaritas menjadi kata yang diucapkan semua orang, dan setelah itu cepat dilupakan lagi. Negara-negara serta warga di negara yang mendapat janji solidaritas, kini memiliki semua alasan untuk tidak percaya lagi."

Harian Perancis lainnya, Le Figaro yang terbit di Paris menulis komentar, konferensi puncak WTO dan Uni Eropa sebetulnya memunculkan pertanda baik.

"Mereka yang meramalkan hal terburuk, yakni gagalnya perundingan anggaran Uni Eropa di Brussel serta konferensi WTO di Hong Kong, kali ini rupanya keliru. Untuk sementara dapat dilihat bahwa Uni Eropa sukses mencapai kompromi anggaran untuk tahun 2007 hingga 2013. Dan juga Uni Eropa yang mampu memberikan sinyal positif di Hong Kong, dimana mereka melakukan terobosan dalam perundingan subsidi pertanian, yang mendorong dilakukannya perundingan perdagangan tingkat dunia."

Harian Inggris The Times yang terbit di London menulis, kesepakatan perdagangan dunia tersebut ibaratnya sketsa yang belum final.

"Lebih baik kita jangan melihat, bagaimana kesepakatan itu dibuat. Khususnya berkaitan dengan perundingan maraton di Hong Kong, yang berakhir dengan kesepakatan yang ibaratnya sebuah sketsa. Teks dari kesepakatan akhir itu, seharusnya dapat lebih berwawasan dan berorientasi ke masa depan. Akan tetapi memang lebih bijaksana memilih sikap, jangan sampai bermusuhan dengan kelompok terkuat yang bersikap baik. Yang paling penting, dapat tercapai sebuah langkah maju dan kesepahaman, yang cukup berharga untuk tetap dipertahankan."

Harian Swiss Neue Züricher Zeitung yang terbit di Zürich berkomentar, kelompok miskin tidak memiliki alternatif selain WTO.

"Konsensus dalam pernyataan akhir, hanya merupakan acuan bagi proses perundingan berikutnya. Namun perundingan perdagangan dunia akan memperoleh sukses, jika disamping negara-negara maju, juga negara miskin dan negara berkembang siap mengolah hasil perundingan secara seimbang atau menyeluruh. Khususnya negara miskin, harus siap menjalin kesepakatan dalam perundingan di tahun depan. Sebab, bagi negara termiskin di dunia, tidak ada alternatif lagi di luar WTO."

Sementara mengomentari hasil perundingan anggaran Uni Eropa, harian Luksemburg Luxemburger Wort berkomentar, Uni Eropa membutuhkan lebih banyak Angela Merkel dan lebih sedikit Tony Blair.

"Sebelumnya, Inggris melakukan aksi blokade, yang kemudian diikuti sejumlah negara lainnya, yang menganggap Uni Eropa yang baru, terlalu mahal bagi mereka. Kritiknya terutama dilontarkan pada subsidi pertanian, yang mencapai 40 persen dari seluruh anggaran. Akan tetapi, barang siapa memotong anggaran pertanian, berarti mempertaruhkan terlau banyak. Misalnya dalam bidang jaminan penyediaan bahan pangan. Sebuah jaminan, yang bukan hanya melindungi kelompok terlemah dalam masyarakat. Pada akhirnya, yang dipertaruhkan adalah landasan dari pernyataan solidaritas, yang menjadi kewajiban utama Uni Eropa. Pokoknya, jangan sampai terjadi perubahan paradigma, dimana modernisasi justru menjadi hambatan bukannya sarana integrasi. Jadi, Uni Eropa memerlukan lebih sedikit Tony Blair dan lebih banyak Angela Merkel."