Bagi tak sedikit orang, lengsernya rezim Orde Baru bukan hanya menandai dimulainya era reformasi. Ia menandai dimulainya satu periode kekerasan religius paling kelam dalam ingatan. Berikut refeksi Geger Riyanto.
Iklan
Kala itu, ribuan jiwa meninggal. Ratusan ribu mengungsi, kehilangan semua yang dimilikinya, terutama ketenangan hidup. Ruang-ruang publik menjadi medan perang. Kini, beberapa tahun selepas konflik besar terakhir berlalu, kenangan pahit tersebut mungkin terasa agak jauh. Ambon dan Tual, dua kota yang pernah menjadi panggung ketegangan religius terburuk, kini dianggap kota paling toleran di Indonesia. Keduanya mendapatkan nilai indeks toleransi paling tinggi, ditaksir dari regulasi, respons pemerintah, peristiwa intoleransi, dan komposisi penduduknya.
Temuan Setara Institute ini mungkin cukup melegakan. Namun, saya ragu, erupsi konflik religius terjadi semata karena absennya toleransi. Kerawanan tak semata berasal dari diskriminasi yang secara telanjang ditunjukkan oleh kelompok agama satu kepada kelompok agama lainnya. Dari apa yang diajarkan oleh preseden masa silam kepada kita, apa yang tidak nampak justru lebih sebenarnya lebih mengkhawatirkan.
Perebutan Ruang Hidup
Mari kita sigi konflik Ambon sebagai contoh. Menurut Gerrit van Klinken dalam studinya Communal Violence and Democratization in Indonesia, konflik ini lebih tepat untuk dikatakan sebagai dampak perebutan kedudukan birokrasi alih-alih intrik agama.
Pada tahun 1990, Maluku memiliki 55.000 pegawai negeri sipil. Jumlah ini lebih besar bahkan dibandingkan Jawa Timur yang penduduknya 17 kali lipat dibanding Maluku. Pergeseran kekuasaan ke tangan gubernur non-militer dari jaringan ICMI, yang pada saat itu tengah memperoleh momentum dari menguatnya kelas menengah Islam di Indonesia, memicu perubahan yang cukup berarti dalam tatanan birokrasi di Ambon. Beberapa pejabat strategis beragama Protestan diganti dengan figur-figur non-Protestan.
Konflik Terburuk di Dunia
Institut Heidelberg untuk Riset Konflik Internasional (HIIK) merilis 'Barometer Konflik 2013'. Baik karena fanatisme agama, hasil bumi berharga atau gila kuasa, sepanjang tahun 2013 terjadi sekitar 400 konflik di dunia.
Foto: picture-alliance/dpa
Suriah
Pada tahun keempat perang sipil di Suriah, kekacauan masih merajalela. Negara ini terpecah antara pasukan pemerintah di bawah Presiden Bashar al-Assad, kelompok oposisi moderat, Islamis, kelompok preman dan geng kriminal. Lebih dari 100.000 orang tewas akibat konflik, dan 9 juta warga terpaksa mengungsi. Konflik ini berpotensi meluas ke negara-negara tetangga.
Foto: Mohmmed Al Khatieb/AFP/Getty Images
Afghanistan
Pertempuran berlanjut di Afghanistan setelah NATO menyerahkan kontrol keamanan ke militer lokal. Taliban dan kelompok militan Islam lainnya terus melancarkan perang terhadap pemerintah menggunakan serangan bom bunuh diri dan ranjau. Wilayah perbatasan menjadi daerah yang paling rentan kekerasan. Menurut PBB, lebih dari 2.500 warga sipil tewas di Afghanistan tahun 2013.
Foto: picture-alliance/dpa
Filipina
Selama 40 tahun lebih front pembebasan Moro di Filipina memperjuangkan kebebasan. Setelah sempat mereda, konflik kembali berkecamuk tahun 2013 saat MNLF mengumumkan kemerdekaan kepulauan di bagian selatan Filipina. Pemberontak yang berusaha mengambil alih kota Zamboanga dipukul mundur oleh militer. Lebih dari 120.000 orang terpaksa mengungsi.
Foto: Reuters
Meksiko
Narkoba, perdagangan manusia, pemerasan dan penyelundupan: Ini cara kartel di Meksiko mendapat pemasukan. Untuk melindungi aliran dana, konflik antar kartel dan dengan pemerintah begitu marak. Pertempuran kecil terjadi setiap pekan. Akibatnya ratusan kelompok preman terbentuk di berbagai penjuru negeri. Tahun 2013 korban tewas akibat konflik kartel mencapai 17.000 orang.
Foto: picture-alliance/dpa
Nigeria
Kelompok Islamis Boko Haram ingin memberlakukan hukum Syariah di Nigeria. Untuk mencapai target ini, kelompok tersebut terus menyerang umat Kristen dan Muslim moderat. Dalam gambar, kerabat korban umat Kristen menggali kuburan usai sebuah serangan. Nigeria juga mempunyai pertempuran lain: petani Kristen bentrok dengan penggembala ternak Muslim terkait lahan subur.
Foto: picture-alliance/dpa
Sudan
Selama 10 tahun lebih beragam kelompok etnis Afrika bertempur di wilayah Darfur, Sudan, melawan pasukan pemerintah dan sekutunya. Dalam konflik, suplai air dan lahan subur menjadi taruhan. Ratusan ribu warga tewas akibat pertempuran dan jutaan lainnya terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Foto: picture-alliance/dpa
Somalia
Konflik antara pejuang al-Shabab dan militer di Somalia telah berlangsung selama 8 tahun. Dengan bantuan pasukan PBB dan Uni Afrika, pemerintah Somalia berhasil mengatasi gempuran Islamis. Meski begitu, pejuang al-Shabab tetap mengontrol wilayah selatan negeri. Al-Shabab bertanggung jawab atas sejumlah serangan bom di ibukota Mogadishu tahun 2013.
Foto: Mohamed Abdiwahab/AFP/Getty Images
Sudan Selatan
Tiga tahun setelah merdeka, Sudan Selatan tetap menjadi negara yang didominasi konflik dan medan dua pertempuran. Pejuang yang loyal terhadap wakil presiden bertempur melawan pasukan presiden. Militer juga menghadapi pertempuran lain. Di negara tetangga, Sudan, pasukan Sudan Selatan mendukung upaya otonomi dari dua provinsi yang kaya minyak bumi.
Foto: Reuters
Republik Demokratik Kongo
Di Kivu sepanjang tahun 2013 militer terus-terusan berhadapan dengan kelompok pemberontak M23. Setelah negosiasi damai dengan pemerintah, para pejuang kelompok itu terpecah menjadi kelompok-kelompok berbeda. Akhir tahun 2013 pemerintah Republik Demokratik Kongo mengumumkan kekalahan pemberontak. M23 telah menyatakan siap berjuang secara politik.
Foto: Melanie Gouby/AFP/GettyImages
Mali
Di Mali, pejuang Islamis berupaya merebut kekuasaan. Tahun 2012, sejumlah wilayah di bagian utara negeri berhasil direbut. Alhasil, Perancis ikut turun tangan membantu pemerintah Mali dengan pasukan dan persenjataan, serta serangan darat dan udara untuk menaklukkan pasukan Islamis. Pasukan helm biru kini bertugas menjaga keamanan, namun serangan dan bom bunuh diri terus berlanjut.
Foto: picture-alliance/dpa
10 foto1 | 10
Terlepas dari motivasi sang gubernur sendiri, di sebuah wilayah yang kehidupan sosialnya bertumpu kepada pekerjaan serta proyek dari pemerintahan dan kelompok Protestan dianggap memegang sektor ini sejak lama, penggantian pejabat semacam itu rentan ditafsirkan sebagai upaya menyingkirkan kelompok ini.
Situasi ini diperkeruh dengan persepsi semakin maraknya kelompok pendatang menguasai perdagangan di Ambon dan membludaknya jumlah anak muda di bawah usia di bawah usia 25 tahun, yang kesulitan mendapatkan pekerjaan serta kepastian hidup.
Dilatarbelakangi kondisi demikian, desas-desus bahwa umat Protestan secara sistematis hendak didepak dari tanahnya pun berkembang. Kendati secara kronologis konflik Ambon diawali pertikaian antara desa yang tak jarang terjadi di Maluku, kegamangan yang terlanjur meruyak ini membantu kekerasan mengalami ekskalasi yang keterpelesatannya tak pernah diduga-duga.
Artinya, identifikasi picik diri terhadap kelompok religius tertentu serta kegeraman terhadap kelompok religius lain menyeruak tidak dengan sendirinya. Ia menjadi pilihan yang terasa paling tepat bagi orang awam sekalipun ketika mereka kehilangan keamanan eksistensialnya.
Pola-pola kekerasan
Kecenderungan ini dapat kita simak pula pada pola-pola kekerasan di desa dan kota seputaran Ambon yang dihimpun Jeroen Adam. Desa Liang yang berpenduduk Muslim bersengketa dengan Waai yang berpenduduk Kristen lantaran persoalan batas desa. Masing-masing desa bersikukuh desa lain adalah sekumpulan orang asing yang menduduki wilayah yang pada hakikatnya milik desa mereka. Warga Kristen di kampung Kaitetu, pada kasus lain, diusir dari tanah yang digarapnya selama beberapa generasi karena dianggap menempati tanah yang awalnya dimiliki kampung berpenduduk Muslim Hila.
Artinya, kalaupun identitas Kristen atau Islam mengedepan dalam kasus-kasus ini, ia biasanya dieksploitasi untuk memperkuat identifikasi bahwa kelompok tertentu merupakan orang asli atau orang asing, berhak atau tidak atas suatu wilayah. Setelah diusir, pohon-pohon orang Kaitetu dikupas agar secara adat mereka tak berhak lagi atas tanah yang dikelolanya dan, menurut Adam, tindakan ini memperlihatkan modus mendasar konflik antara desa Kristen dan Muslim yang ditelitinya: penghidupan.
Di bawah tabir kekerasan bermotif agama
Pada saat konflik Ambon memuncak, motif semacam ini terselubung di bawah tabir kekerasan bermotif agama. Motif perebutan ruang hidup ini, memang, cukup samar. Ia membuncah lebih telanjang pada konflik-konflik di ruang perkotaan.
Salah satu hal yang menggugah emosi para pemuda Kristen di Ambon, penelitian K. Von Benda-Beckmann yang menunjukkan pemandangan: nyaris dimonopolinya sektor transportasi informal oleh kelompok Muslim. Selepas kerusuhan Ambon, jasa becak di kota ini dikuasai oleh para pemuda Kristen.
Pandangan-pandangan ini, tentu saja, tidak dengan sendirinya mengatakan bahwa sentimen agama sama sekali tidak mengambil andil dalam konflik yang bergulir. Konflik Ambon tak akan memburuk hingga sedemikian moreng apabila simbol-simbol agama tidak turut tergulung ke pusaran kekerasan. Kendati tak selalu diawali niat menistakan agama lain, dampak simbolik dari kerusuhan semacam tak pernah bisa dikendalikan. Terbakarnya rumah ibadah, yang awalnya adalah ekses tak disengaja, mudah saja ditafsirkan sebagai serangan terhadap kelompok yang simbol religiusnya terbawa-bawa.
Baik para pemuda yang kebetulan melintas area kerusuhan maupun mereka yang berada di pulau lain dan menonton kerusuhan ini dari media, panggilan membela agama akan mengubah massa acak menjadi tambahan kekuatan yang memperkeruh konflik yang sudah mendidih.
Dan lagi-lagi kita tak bisa menjamin tebalnya toleransi pada masa tenang akan mencegah sentimen agama dari memperkeruh pertikaian di masa pergolakan. Ambil cerita Hamid. Hamid, nama samaran anak korban konflik Ambon yang diwawancara Human Rights Watch, dipaksa melihat adik perempuannya dipanah dan rumahnya dibakar. Setelah lolos dari amukan massa dengan mengaku namanya Albertus, ia mengambil bensin. Apa yang terpikir dalam kepala kecilnya hanyalah membalas dendam—membakar gereja terdekat.
Perbatasan Paling Berbahaya di Dunia
Konflik yang berkecamuk menjadikan sejumlah kawasan perbatasan serupa ladang pembantaian. Kemanapun anda pergi, jauhi kawasan berikut ini.
Foto: picture-alliance/dpa
India dan Pakistan
Garis demarkasi sepanjang 2900 kilometer yang membagi India dan Pakistan telah mengalami tiga perang selama empat dekade terakhir. Sekitar 115.000 nyawa melayang di kawasan ini. Sebagian besar korban jiwa berasal dari daerah Kashmir, kawasan sengketa paling berbahaya di dunia.
Foto: AP
Yaman dan Arab Saudi
Perbatasan sepanjang 1400 kilometer yang membelah dua negara ini dinilai berbahaya lantaran keberadaan pemberontak Houthi di utara dan Al-Qaida di semenanjung Arab. Sejak tahun 2003 Arab Saudi membangun pagar pembatas seniliai miliaran Dollar AS untuk membatasi gerak kelompok bersenjata dan menghadang arus pengungsi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Jamali,
Korea Selatan dan Utara
Perbatasan kedua negara termasuk yang dijaga paling ketat. Sebanyak dua juta serdadu mengawasi garis demarkasi sepanjang 240 kilometer tersebut. Rangkaian eskalasi kekerasan antara kedua negara sejak tahun 1953 sejauh ini telah menelan hampir seribu nyawa.
Foto: picture alliance/AP Photo
Amerika Serikat dan Meksiko
Penyeludupan obat bius adalah momok terbesar yang menghantui perbatasan Meksiko dan Amerika Serikat. Sejak 2007 hampir 20.000 orang dibunuh dalam perang narkoba di sekitar garis demarkasi sepanjang lebih dari 3000 kilometer tersebut.
Foto: Gordon Hyde
Afghanistan dan Pakistan
Perbatasan dua negara sejak lama dikuasai hukum rimba. Selain sengketa wilayah yang ditandai dengan konflik bersenjata antara militer Afghanistan dan Pakistan, wilayah ini juga dipenuhi pengungsi dan menjadi tempat persembunyian kelompok teror Taliban dan Al-Qaida. Sejak 2004 Amerika Serikat melancarkan sekitar 300 serangan pesawat nirawak yang membunuh lebih dari 2000 terduga teroris.
Foto: AP
India dan Bangladesh
Kedua negara berbagi garis demarkasi terpanjang kelima di dunia dengan lebih dari 4000 kilometer. Tanpa banyak mendapat perhatian dunia internasional, perbatasan India dan Bangladesh termasuk yang paling berbahaya di dunia. Sejak tahun 2000 tentara India sudah menembaki mati setidaknya 1000 warga Bangladesh yang mencoba mengungsi ke jirannya tersebut.
Foto: AFP/Getty Images
Sudan dan Sudan Selatan
Perang saudara yang berlangsung antara utara dan selatan selama 22 tahun telah merenggut sedikitnya 1,5 juta korban jiwa. Sejak Sudan Selatan merdeka, kelompok pemberontak lain muncul di perbatasan kedua negara. Sejak 2011, sudah lebih dari 1500 meninggal dunia akibat perang tersebut. Sementara 500.000 penduduk terusir dari kampung halaman sendiri.
Foto: Getty Images/AFP/A.G. Farran
Rusia dan Ukraina
Garis demarkasi sepanjang lebih dari 2000 kilometer yang membagi kedua negara banyak disorot selama perang saudara di timur Ukraina. Rusia yang mendukung pemberontakan kelompok separatis sering menggunakan perbatasannya untuk memasok senjata atau mengintimidasi militer Ukraina. Kawasan ini juga rawan buat pelancong lantaran maraknya kelompok kriminal.
Foto: picture-alliance/dpa
Israel dan Suriah
Perang yang melanda Suriah ikut berdampak pada ketegangan di perbatasan Israel. Kendati termasuk garis perbatasan paling pendek di dunia, yakni cuma 80 kilometer, kawasan tersebut seringkali menjadi saksi konflik bersenjata yang menewaskan belasan ribu orang.
Foto: AFP/Getty Images
9 foto1 | 9
Apakah seorang anak seperti Hamid memilih menjadi Kristen atau Muslim yang diliputi kebencian? Tidak. Ia dipaksa. Situasi semacam yang dialami Hamid adalah spiral kekerasan yang dapat menggoreskan kebencian tak terkira pada insan paling toleran sekalipun.
Pentingnya distribusi sumber penghidupan
Apa yang hendak disampaikan oleh tulisan ini, kendati demikian, bukanlah toleransi tak memiliki andil membangun masyarakat yang damai. Hanya saja, apa yang sama sekali tak boleh luput diperhatikan juga adalah pendistribusian dari sumber-sumber penghidupan kelompok-kelompok masyarakat.
Selama ini, sumber-sumber penghidupan merupakan piala yang diperebutkan dan dikapling melalui jaringan etnis atau agama tertentu. Dan, dari preseden getir yang ada, pola pemilahan semacam itu ringkih.
Dan pada saat kekerasan terlanjur pecah, toleransi itu sendiri saya ragu dapat menanggulanginya. Manakala bahasa yang sudah dipakai adalah bahasa kekerasan, tak ada bahasa lain yang nampaknya bisa menimpalinya kecuali bahasa yang sama—kekerasan.
Penulis:
Geger Riyanto, esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.
@gegerriy
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Sengketa Wilayah Paling Berdarah di Bumi
Ribuan orang harus melepas nyawa demi mempertahankan atau berebut sepetak tanah di Bumi. Inilah konflik perbatasan paling mematikan di dunia saat ini.
Foto: Marco Longari/AFP/Getty Images
Laut Cina Selatan
Enam negara berebut dua gugusan pulau di Laut Cina Selatan: Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei dan Taiwan. Konflik seputar salah satu jalur dagang paling gemuk di dunia ini belakangan semakin memanas. Kepulauan Spratly pernah dua kali menjadi medan pertempuran antara Cina dan Vietnam, yakni tahun 1974 dan 1988. Terakhir kali kedua negara bertempur, Vietnam kehilangan 64 serdadunya.
Foto: imago/Westend61
Nagorno Karabakh
Sejak Perang Dunia I Armenia dan Azerbaidjan sudah saling bermusuhan. Perseteruan itu berlanjut saat kedua negara berebut Nagorno Karabakh, wilayah subur seluas pulau Bali. Antara 1988 dan 1992, Armenia dan Azerbaidjan terlibat konflik yang menewaskan lebih dari 35.000 serdadu dan warga sipil. April 2016 perang kembali berkecamuk selama empat hari. Lebih dari 100 orang dinyatakan tewas
Foto: Getty Images/B. Hoffman
Kashmir
Sejak 1989 India berperang melawan kelompok bersenjata yang disokong Pakistan di Jammu Kashmir. Sejak saat itu lebih dari 21.000 gerilayawan tewas dan sekitar 5000 pasukan India gugur dalam tugas. Perang di Jammu Kashmir merefeleksikan konflik wilayah antara India dan Pakistan yang sebagiannya juga direcoki oleh Cina. Hingga kini konflik Kashmir masih berlanjut tanpa jalan keluar
Foto: picture-alliance/dpa/J. Singh
Semenanjung Krimea
Semenanjung di Laut Hitam ini sebenarnya kenyang konflik. Kekaisaran Rusia pernah bertempur melawan koalisi Kesultanan Usmaniyah yang didukung Inggris dan Perancis di abad ke19. Pada 2014 silam Rusia kembali unjuk gigi dengan menyokong pemberontakan melawan Ukraina. Kini Krimea menyatakan diri merdeka dan menjadi negara boneka Moskow.
Foto: picture-alliance/ITAR-TASS
Preah Vihear
Kamboja dan Thailand saling serang berebut kawasan Preah Vihear antara 2008 hingga 2011. Lebih dari 40 orang tewas, termasuk warga sipil. Wilayah di sekitar candi Preah Vihear ini sudah menjadi sengketa sejak Perang Dunia II. Tahun 1962 pengadilan internasional mengakui klaim Kamboja atas kompleks candi yang dibangun pada abad ke 11 itu. Namun Thailand tetap mengklaim kawasan di sekitarnya
Foto: picture-alliance/dpa
Dataran Tinggi Golan
Wilayah pegunungan yang membelah Israel dan Suriah ini sudah sering membuahkan perang antara kedua negara. Pertama tahun 1967 pada Perang Enam Hari, dan terakhir tahun 1973 ketika Israel bertempur melawan koalisi Arab dalam Perang Yom Kippur. Dataran Tinggi Golan diminati karena letaknya yang strategis. Sejak 1967 kawasan subur ini dikuasai oleh Israel.
Foto: Reuters/B. Ratner
Sahara Barat
Sejak 46 tahun Maroko bertempur melawan Republik Sahrawi yang mengklaim seluruh Sahara Barat sebagai wilayahnya. Hingga kini sebagian besar kawasan sengketa seluas dua kali pulau Jawa ini masih dikuasai Maroko. Menurut catatan sejarah, sejak awal perang sudah 21.000 nyawa melayang.
Foto: DW/A. Errimi
Pulau Malvinas/Falkland
Digerakkan oleh rasa nasionalisme, Argentina 1982 menduduki pulau Malvinas yang dikuasai Inggris. Akibatnya perang berkecamuk dan hampir 1000 serdadu meninggal dunia. Malvinas alias Falkland adalah konflik peninggalan era kolonialisme. Kepulauan seluas Nusa Tenggara Barat itu sudah diperebutkan oleh Spanyol dan Inggris sejak abad ke18
Foto: picture alliance/dpa/F. Trueba
Osetia Selatan & Abkhazia
Lebih dari 500 serdadu dan warga sipil tewas ketika Rusia mencaplok wilayah Georgia dan mendeklarasikan negara boneka. Abkhazia sudah bertempur demi kemerdekaan sejak awal 90an. Saat itu kelompok separatis melakukan pembersihan etnis Georgia. Lebih dari 10.000 orang tewas dan ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi. Perang etnis juga terjadi di Osetia Selatan antara 1989 hingga 1998.