1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Konflik Libya Pasca Era Gaddafi

22 Agustus 2011

Setelah tanda-tanda berakhirnya era Gaddafi semakin tampak, dengan berhasilnya kelompok pemberontak menembus ibukota Tripoli, media cetak Eropa mempertanyakan akhir konflik di Libya.

Konflik di Libya isyaratkan keberhasilan kelompok pemberontakFoto: dapd

Mengenai situasi di Libya harian Jerman Frankfurter Allgemeine Zeitung menulis

"Isyarat paling kuat bahwa waktu Gaddafi hampir berakhir, setidaknya dari segi politis, adalah semakin banyak pejabat tinggi yang lama setia terhadap rezim dan pimpinannya, melarikan diri ke luar negeri atau membelot ke pihak pemberontak. Ini menunjukkan kembali kebenaran dari peribahasa tikus-tikus lari meninggalkan kapal yang karam. Tapi juga kecurigaan akan adanya intrik-intrik. Perundingan di balik layar, kompensasi bagi pimpinan suku, persaingan dalam pemerintahan di tingkat provinsi. Itu semua menimbulkan dugaan bahwa konflik di Libya, juga setelah lengsernya Gaddafi, masih belum akan berakhir.

Harian Inggris The Times Libya masih jauh dari hasil akhir. Lebih lanjut harian ini menulis

"Meskipun para pemberontak bersama-sama bersorak-sorai di jalan-jalan Tripoli, akhir konflik ini masih jauh dan belum pasti. Sikap percaya diri yang baru ditemukan dan organisasi pemberontak, dapat terpecah ke dalam perang kekerasan memperebutkan kekuasaan dan kericuhan di dalam partai antara suku-suku yang bersaing dan pimpinan militer. Pekan-pekan mendatang akan menentukan apakah Libya, dalam tantangan pembangunan kembali pasca Gaddafi, dapat tetap bersatu, atau jatuh ke dalam anarki dan negara tanpa undang-undang, jika penghancuran rezim lama diganti dengan persaingan di antara kelompok islamis, pimpinan suku, satuan militer dan oportunis, untuk mengisi kekosongan kekuasaan.“

Menjelang berakhirnya konflik di Libya, harian Italia Corriere della Sera mempertanyakan siapa yang menang di Libya

"Jika perang di Libya tampaknya benar-benar berakhir, kita tahu siapa yang kalah. Yakni penguasa Muammar al-Gaddafi, klan keluarganya, mitra-mitranya dan semua pihak di luar negeri yang masih percaya akan kemenangan diktator tersebut. Tapi siapa yang memenangkan perang itu, hanya sedikit yang kita ketahui. Pemberontak berjuang dengan berani, tapi mereka adalah sempalan-sempalan kecil yang terkumpul dan mengalami perkembangan luar biasa, setelah operasi militer NATO menunjukkan kemungkinan kemenangan semakin besar. Jadi siapa? Pendukung operasi militer? NATO? Yang pasti, hasil yang masih belum jelas pertempuran di Libya akan memperlemah politik barat di kawasan Afrika Utara yang bergolak dan di Timur Tengah. Akibat terkuras krisis keuangan, tampaknya kartu penugasan militer bagi Uni Eropa dan Amerika Serikat, sudah habis. Yang tersisa tinggal ceramah demokrasi dan mengancam dengan sanksi-sanksi. Dan itu diketahui benar oleh kekuatan islamis mulai dari Mesir sampai Iran."

DK/ML/dpa/AFP