1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kapal Cina Masih Bertahan di Laut Natuna Utara

Detik News
7 Januari 2020

Bakamla mengatakan masih ada kapal-kapal Cina yang bertahan di sekitaran Laut Natuna Utara. Sebelumnya juru bicara Menteri Luar Negeri Republik Rakyat Cina, Geng Shuang, menegaskan pihaknya punya hak di perairan Natuna.

Indonesien Karte Nord Natuna Meer
Foto: Reuters/Beawiharta

Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya Achmad Taufiqoerrochman mengatakan masih ada dua kapal frigate Cina di perairan Natuna. Kapal-kapal tersebut masih bertahan di sekitaran perairan Utara Natuna.

"Yang jelas tadi sudah laporan Menlu bahwa masih ada dua frigate mereka di sekitar situ, ada satu yang di luar ada dua yang perkuatan di atas. Jadi mungkin akan ada pergantian dari mereka," kata Taufiq usai rapat koordinasi khusus di Kemenko Polhulam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (07/01).

Meski begitu, Taufiq menuturkan komunikasi masih terus berjalan dengan kapal-kapal Cina yang bertahan itu. Orkestratif pun diperlukan untuk menjalankan operasi yang diiringi dengan diplomasi.

"Enggak, tetep komunikasi tetep jalan tapi sama isinya. Intinya begini walaupun secara legal kita tidak mengakui itu. Kalau itu berdasarkan sejarah nggak akan pernah ketemu, tetapi apapun itu yang ternyata ada di lapangan adalah dia punya klaim di sana. Jadi kalau itu tidak selesai ya kapan pun akan seperti ini. Makanya kemarin saya sampaikan harus ada orkestratif antara operasi dengan diplomasi," tuturnya.

Taufiq menegaskan sudah mengerahkan kekuatan yang cukup besar dan tidak akan ada negosiasi dalam bentuk apapun. Bakamla berkaca dari kasus yang terjadi di Filipina, Cina disebut memiliki kekuatan besar meski berdasarkan landasan internasional sudah kalah.

"Kita kerahkan kekuatan besar pun ya tetep aja seperti itu karena masalahnya di situ. Walaupun secara tegas kita tidak akan bernegosiasi. Tidak ada tawar-menawar karena kita sudah benar. Tapi ingat pada saat Filipina juga mengajukan pengadilan internasional Cina kalah, artinya landasannya gugur kan. Tapi apa yang terjadi ya tetep aja kan, karena dia punya kekuatan. Oleh karena itu untuk mendukung diplomasi kita hadir di sana," tegasnya.

Untuk itu, Bakamla akan terus berupaya melakukan yang terbaik di perairan Natuna. Salah satunya dengan mengimbangi strategi dan pergerakan kapal-kapal Cina.

"Ya kita imbangi strateginya mereka," pungkasnya.

Baca jugaKapal Cina Masuk Natuna, Ahli Hukum: Otoritas Perikanan RI Perlu Dilibatkan

Tunggu arahan Presiden

Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto memilih jalan damai dalam menghadapi persoalan di perairan Natuna dengan Cina. Prabowo disebut masih akan menunggu arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menentukan langkah selanjutnya.

"Langkah selanjutnya tentu menunggu arahan dari Presiden karena keputusan politik ada di tangan Presiden," kata Staf Khusus Bidang Komunikasi Publik dan Hubungan Antarlembaga Menhan RI, Dahnil Anzar Simanjuntak, Selasa (07/01).

Dahnil menjelaskan beberapa permintaan dan saran Prabowo yang telah diberikan dalam menyikapi masalah Natuna. Salah satu permintaan Prabowo adalah soal kemudahan bagi nelayan untuk melaut di perairan Natuna.

"Namun yang jelas Pak Menhan sudah meminta dan menyarankan agar Bakamla, Polisi Kelautan, KKP untuk meningkatkan patrolinya, termasuk secara khusus meminta KKP mempermudah kapal-kapal nelayan agar bisa berkegiatan menangkap ikan secara maksimal," sebut Dahnil.

Dahnil menyebut Prabowo ingin KKP meninjau ulang kebijakan yang mempersulit kapal nelayan untuk melaut di Natuna Utara. Langkah Prabowo ini, kata Dahnil, terkait dengan upaya de facto.

"Perlu dikaji lagi kebijakan-kebijakan sebelumnya yang mempersulit kapal-kapal nelayan kita untuk berkegiatan di Laut Natuna Utara tersebut. Ini demi upaya de facto laut Natuna dipenuhi dan diramaikan dengan aktivitas nelayan kita," sebut Dahnil.

Cina klaim perairan Natuna

Silang pendapat Cina dan Indonesia tentang klaim perairan Laut Natuna belum selesai. Setelah Indonesia menegaskan klaim Cina bertentangan dengan hukum internasional yang sah, Cina tetap menganggap perairan Laut Natuna bagian dari negaranya.

Indonesia berpijak pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Pada 2016, pengadilan internasional tentang Laut Cina Selatan menyatakan klaim 9 Garis Putus-putus sebagai batas teritorial laut Negeri Tirai Bambu itu tidak mempunyai dasar historis.

Lalu, apa kata China?

"Pihak Cina secara tegas menentang negara mana pun, organisasi, atau individu yang menggunakan arbitrase tidak sah untuk merugikan kepentingan Cina," kata juru bicara Menteri Luar Negeri Republik Rakyat Cina, Geng Shuang, dalam keterangan pers reguler, 2 Januari 2020, dilansir dari situs Kementerian Luar Negeri RRC, Jumat (03/01).

Geng berbicara menanggapi keterangan Kemlu RI pada Selasa (01/01) silam. Indonesia menyatakan klaim Cina terhadap Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tidak punya dasar yang sah dan tak diakui UNCLOS. Indonesia menegaskan bahwa klaim 9 Garis Putus-putus dari China telah dimentahkan Pengadilan Arbitrase Laut Cina Selatan untuk menyelesaikan sengketa Filipina vs China (South China Sea Tribunal 2016).

"Saya menjelaskan posisi Cina dan dalil-dalil isu tentang Laut Cina Selatan sehari sebelum kemarin dan tak ada gunanya saya mengulangi lagi," kata Geng dalam keterangan pers tertulis berbentuk tanya-jawab itu.

"Saya ingin menegaskan bahwa posisi dan dalil-dalil Cina mematuhi hukum internasional, termasuk UNCLOS. Jadi apakah pihak Indonesia menerima atau tidak, itu tak akan mengubah fakta objektif bahwa Cina punya hak dan kepentingan di perairan terkait (relevant waters). Yang disebut sebagai keputusan arbitrase Laut Cina Selatan itu ilegal dan tidak berkekuatan hukum, dan kami telah lama menjelaskan bahwa Cina tidak menerima atau mengakui itu," tutur Geng.

Baca jugaPengamat: Klaim ZEE Indonesia di Natuna Utara Jangan Sekadar di Peta Saja

Sebelumnya, Indonesia telah merilis keterangan untuk menanggapi klaim Cina atas bagian teritorial Indonesia. Ini adalah rentetan debat usai masuknya kapal nelayan dan kapal aparat (coast guard) Cina ke Laut Natuna. Klaim Cina atas bagian perairan Natuna dinyatakan Indonesia sebagai klaim sepihak (unilateral) belaka.

"Klaim historis RRT (RRC) atas ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) dengan alasan bahwa para nelayan Cina telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982. Argumen ini telah dibahas dan dimentahkan oleh Keputusan SCS Tribunal 2016. Indonesia juga menolak istilah 'relevant waters' yang diklaim oleh RRT karena istilah ini tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982," kata Kemlu RI.

UU penanganan laut tumpang tindih

Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan ada tumpang tindih dalam menangani persoalan kelautan di Indonesia. Dia menyebut ada 24 undang-undang yang mengatur urusan di laut.

"Sekarang masih berjalan pembahasannya tetapi kesimpulan sementara dari yang seluruh pembicaraan itu memang ada tupang tindih dalam beberapa segi di dalam penanganan lautan kita. Ini sudah didiskusikan tentu akan bertambah-bertambah. Itu pertama ditemukan 17, hari ini di meja saya tercatat 24 UU yang menyangkut itu. Laporan pertama itu 17 sesudah dianalisis muncul 24 ditambah 2 peraturan pemerintah yang juga agak tumpang tindih," kata Mahfud usai melaksanakan rapat koordinasi khusus di Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (07/01).

Mahfud mengatakan UU tersebut memiliki filosofi yang bagus dan benar. Namun, dia menilai perlu ada sinergi agar aturan tidak tumpang tindih.

"Ketika dibuat undang-undang itu filosofinya benar semua, bagus, tetapi sekarang perlu sinergitas. Sehingga kita berpikir mau membuat tentang omnibus tentang kelautan itu entah nanti cukup di PP, bisa kok omnibus dengan PP itu. Atau kah sampai ke undang-undang itu tergantung hasil diskusi. Tetapi di dalam praktik penanganan kelautan kita itu didasarkan pada kewenangan berbagai undang-undang yang berbeda-beda," tuturnya.

Dia menilai tumpang tindih ini bisa menimbulkan persoalan. Salah satunya jika ada masalah hukum yang berada di bidang kelautan.

"Misalnya ada satu penanganan hukum di satu tempat udah selesai ditandatangan tiba-tiba ada instruksi lain yang merasa berwenang melepaskan itu sehingga lepas, itu beberapa kali terjadi," ujarnya.

Mahfud menyebut tumpang tindih terjadi lantaran masing-masing elemen memiliki tugas dan fungsinya masing-masing. Mahfud mengaku pemerintah ingin menuntaskan masalah kelautan termasuk soal keamanan.

"Itu kan masalahnya masing-masing merasa punya tugas dan tidak salah secara filosofi dan secara ini tetapi secara operasional memang bukan masalah," ujarnya.

"Kita akan tangani masalah kelautan kita termasuk sekaligus mengatur masalah keamanannya, mengatur masalah pertahanannya, masalah kekayaan lautnya dan sebagainya nanti semua sedang dibahas lalu akan mengerucut ke mana. Tetapi Insyallah dalam tahun 2020 ini sudah clear lah ya. Karena presiden menginstruksikan itu sejak 2,5 tahun yang lalu," pungkas Mahfud. (rap/vlz)

 

Baca selengkapnya di: Detik News

Kabakamla: Masih Ada 2 Kapal Frigate China di Perairan Natuna

Tentukan Langkah Selanjutnya soal Natuna, Prabowo Tunggu Arahan Jokowi

Klaim Natuna, China: RI Terima atau Tidak, Kami Berhak di Situ

Menko Mahfud: Ada 24 UU Penanganan Laut yang Tumpang Tindih